Jum’at, 28 Februari 2025, Sekber Koalisi KBB bersama Pusad Paramadina mengadakan diskusi virtual bulanan dengan mengangkat topik “Mengenal GUSDURian Lebih Dekat: Memperjuangkan Pentingnya Keragaman dan Perdamaian”. Topik ini membahas organisasi masyarakat yang telah aktif berkecimpung dalam menjaga keragaman di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Siti Munawaroh (Jaringan & Advokasi Seknas GUSDURian); Imam Maliki (Korwil GUSDURian Jawa Timur); dan Ahsan Jamet Hamidi (Muhammadiyah, Koalisi Advokasi KBB) selaku pemantik diskusi. Melalui platform Zoom dan Youtube, acara tersusun mulai dari pembukaan oleh Alifa Ardhya (PUSAD Paramadina) selaku moderator, sambutan oleh Ismail Al-‘Alam (Sekber Koalisi Advokasi KBB), pemaparan dari para pemantik diskusi, sesi tanya jawab, dan diakhiri dengan penutupan.
Pada pemaparan pertama, Siti Munawaroh mengenalkan Jaringan Gusdurian sebagai jaringan kerja individu yang terinspirasi oleh teladan, nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur. Ini merupakan sebuah gerakan yang dinaungi Yayasan Bani KH. Abdurrahman Wahid dan telah tersebar hampir merata di Indonesia serta beberapa di luar negeri. Jaringan Gusdurian terbentuk atas kesepakatan para sahabat dan murid Gus Dur untuk meneruskan nilai-nilai dan perjuangannya dalam menjaga iklim perdamaian di Indonesia. Selama 15 tahun berkiprah, Jaringan Gusdurian mengadaptasi teori Susan Walsh antara lain Resilience, Respect, dan Rights untuk mempertahankan keberlanjutannya.
Visi dari Jaringan Gusdurian adalah “Terwujudnya kemandirian masyarakat melalui Jaringan Gusdurian yang berdaya berdasarkan NPK (Nilai, Pemikiran, dan Keteladanan) Gus Dur”. Siti Munawaroh menuturkan bahwa Jaringan Gusdurian tidak terlibat politik praktis. Isu prioritas yang menjadi perhatian Jaringan Gusdurian meliputi penguatan toleransi dan perdamaian; keadilan ekologi; penguatan hukum, keadilan dan HAM; ketangguhan keluarga; perempuan dan anak; pendidikan berkualitas dan membebaskan; peningkatan kualitas demokrasi; dan keadilan ekonomi. Gerakan ini fokus pada tindakan preventif, namun jika terjadi kasus pelanggaran, mereka memiliki upaya-upaya untuk menanggulanginya.
Berlanjut pada pemaparan kedua, Imam Maliki berbagi pengalamannya selaku Korwil Jaringan Gusdurian Jawa Timur dalam mengadvokasi permasalahan grassroots di Mojokerto. Permasalahan ini diakibatkan oleh adanya penolakan warga desa terhadap mayat non-muslim yang dikubur di pemakaman setempat. Awalnya pemakaman diizinkan dengan syarat tidak menggunakan nisan salib, tidak mengadakan upacara atau doa dari pendeta, dan tidak boleh lewat melalui pintu masuk makam. Sehari kemudian, timbul surat penolakan atas nama Ulama-Kyai setempat untuk merelokasi makam mayat non-muslim di luar desa tersebut.
Imam Maliki yang menerima laporan ini menilai bahwa hal ini tidak sejalan dengan prinsip nilai gerakan di Gusdurian. Imam Maliki beserta teman-teman gusdurian berupaya menolong pihak terdiskriminasi mulai dari mengunjungi dan mendampingi keluarga korban diskriminasi, melakukan mediasi bersama kapolresta setempat, serta memviralkan peristiwa melalui jaringan yang lebih luas untuk mendapat dukungan. Usaha yang penuh lika-liku ini membuahkan hasil dimana mayat tetap direlokasi namun di tempat baru yang khusus di desa tersebut serta jaminan bagi keluarga korban agar terpenuhi hak-haknya di kemudian hari.
“Perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi belaka. Ini yang menjadi dorongan kami kenapa kami kuat, kami meyakini Gus Dur selalu membersamai kami dimanapun perjuangan itu kami lakukan. Jadi temen-temen jangan pernah putus asa, selalu ada jalan jika kita membela atas nama kemanusiaan.” Pungkas Imam Maliki di akhir pemaparannya.
Pada kesempatannya, Ahsan Jamet Hamidi menyampaikan kesan baiknya sebagai seorang Muhammadiyah yang juga tergabung dalam Jaringan Gusdurian. Ahsan mengutarakan bahwa meskipun Jaringan Gusdurian merupakan prakarsa dari pegiat NU, beliau melihat bahwa di dalamnya tergabung berbagai individu dengan latar belakang yang beragam. Ahsan berpendapat bahwa ini merupakan nilai lebih yang harus dipertahankan, dimana Gusdurian mampu merangkul semua orang dengan berbagai latar belakang agama dan keormasan. Dalam pemaparannya, Ahsan mengapresiasi komitmen yang dimiliki Jaringan Gusdurian yang tidak semua LSM miliki, yakni intens memberikan pendampingan secara langsung di masyarakat. Pada kesan terakhir, Ahsan menyampaikan bahwa jalan yang ditempuh Jaringan Gusdurian selalu berdasarkan konstitusi negara yang telah disepakati bersama. Menurut beliau, perjuangan para Gusdurian bukan semata-mata berpihak pada suatu kubu melainkan menjalankan konstitusi yang menjamin hak-hak individu.
Berpindah ke sesi tanya-jawab, para pemantik diminta untuk memberi pandangan terkait pembubaran ormas HTI dan FPI. Menurut Siti Munawaroh, Gusdurian secara umum mengecam tindakan tersebut karena pembubarannya bersifat represif. Bagi Gusdurian, hal ini termasuk pelanggaran KBB karena tindakan ini tidak melalui prosedur peradilan yang harus ditempuh. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan tindakan represif bagi ormas-ormas lainnya. Beliau juga turut menanggapi pertanyaan terkait bagaimana Jaringan Gusdurian menyikapi keadaan Indonesia akhir-akhir ini. Gusdurian secara aktif mengikuti perkembangan situasi darurat di Indonesia dan cukup vokal mengecam isu-isu yang berkaitan dengan kemanusiaan.
“Saya kira kalimat yang pas untuk advokat, jangan pernah merasa menjadi penyelamat bagi masyarakat kita yang tertindas atau terdiskriminasi, tapi temanilah mereka dalam membangun ruang aman dan nyaman. Dan pastikan kita tidak sedang memberikan penghakiman kepada yang lain, tapi kita memberikan persepsi mencari kesamaan, bukan mencari perbedaan.” Ungkap Imam Maliki pada closing statementnya.
“Saya ingin menyoroti keadilan tidak akan datang sebagai hadiah cuma-cuma, tapi perlu diperjuangkan secara bersama-sama.” Sambung Siti Munawaroh.
“Saya berdoa semoga kawan-kawan Gusdurian tetap konsisten seperti saat ini.” Sahut Ahsan Jamet Hamidi mengakhiri sesi diskusi.
Leave a Reply