Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin | Republikasi dari eLSA Online

Dalam “Justice and Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation” (halaman 86-92), Naim Stifan Ateek menyoroti tiga tema utama dari Alkitab yang bisa digunakan oleh kelompok Kristen Palestina khususnya untuk membangun Teologi Pembebasan. Ketiganya adalah kisah Nabot dan Tuhan yang Adil, Nabi-nabi Ekstatis (palsu) sebagai peringatan bahaya, serta tema jeritan pengungsi.

Kisah tentang Nabot termaktub dalam 1 Raja-raja 21. Nabot memiliki tanah (lahan anggur) di Yisreel, tak jauh dari Beisan. Tanah itu, tentu sangat mahal dan berharga karena warisan leluhur. Tak hanya berharga tanah Nabot di Yisreel juga adalah suci. Di Yisreel, tanah Nabot itu bersanding dengan istana Raja Ahab yang memerintah pada 869-850 Sebelum Masehi (SM). Raja Ahab berkehendak memperluas istananya dan ingin membeli tanah Nabot. Karena tanah itu merupakan warisan dari leluhurnya, Nabot menolak tawaran Ahab.

Sikap Nabot menjadikan Ahab murka. Rupanya, uang tak mampu menaklukkan sikap dan keyakinan Nabot. Hingga kemudian, Ratu Isebel, istri Raja Ahab, mengusulkan untuk memfitnah Nabot karena dianggap menghina Allah dan Raja. Nabot didakwa melakukan penistaan terhadap Tuhan sekaligus mencemarkan nama baik Raja. Tindakan Ahab turut melibatkan para “tua-tua dan pemuka (elders and nobles).” Tak lama kemudian, Nabot dan anak laki-lakinya dihukum mati. Tanah yang diidamkan raja pun dicaploknya dengan mudah.

Allah kemudian memerintahkan Nabi Elia, menemui Ahab. Nabi Elia datang kepada Ahab untuk menentang sang raja yang lalim itu. “Di tempat anjing telah menjilat darah Nabot, di situ jugalah anjing akan menjilat darahmu,” begitu firman Tuhan disampaikan melalui Elia. Tak lama setelah pertemuan Elia dan Ahab di kebun anggur tersebut, sang raja itu terbunuh dalam peperangan dan Ratu Isebel juga mati mengenaskan.

Kata Ateek, tema dalam kisah Nabot menghadirkan pelajaran atas konsekuensi ketidakadilan. Keadilan Allah memberikan harapan kebebasan bagi yang tertindas (liberation to the oppressed). Teologi Pembebasan, seturut kisah ini, adalah tentang hak milik sekelompok orang yang tak bisa direbut paksa oleh penguasa politik atau agama. Penindasan terhadap masyarakat, betapapun jalur itu dilewati melalui penegakan hukum, bertentangan dengan keadilan Tuhan. Perlawanan atas perampasan tanah, yang sering juga ditemukan pada hak milik masyarakat adat, tak hanya tentang hak tetapi juga panggilan iman.

Cerita berikutnya adalah tentang nabi-nabi yang ekstatis. Mereka adalah nabi-nabi yang kerap bernubuat di lingkaran istana. Nubuat itu seringkali dilakukan untuk kepentingan dirinya, bukan Tuhan. Ini merupakan sambungan dari cerita Raja Ahab yang penting untuk dijadikan sebagai inspirasi moral, terutama dalam konteks Israel-Palestina, termasuk nilai-nilai yang menjadi acuan konstruksi Teologi Pembebasan.

Raja Ahab hendak merencanakan penyerangan terhadap orang-orang Aram. Ia mendapatkan bantuan dari koleganya di Israel Selatan, Raja Yosafat. Pada masa Israel kuno, sebelum perang dilakukan, para raja mencari nubuat dari Allah. Begitu juga yang dilakukan oleh Ahab dan Yosafat. Mereka berdua mendengar empat ratus orang nabi di lingkaran kerajaan bernubuat bahwa raja akan menang. Nabi-nabi penguasa ini setuju dengan darurat militer Raja Ahab atas Aram dan dianggapnya sesuai dengan kehendak Tuhan.

Yosafat tak bisa menerima begitu saja nubat dari para nabi tersebut. Ia kemudian memastikan kepada Ahab, apakah memang sudah semua nabi memberikan nubuatnya. Ahab mengatakan bahwa ada satu nabi lagi yang belum ditanya, Mikha bin Yimla. Rupanya, Ahab sengaja tidak meminta nubuat kepada Mikha, karena dalam sejarahnya, ia tak pernah memberikan nubuat yang baik soal Ahab, tapi justru sebaliknya. Yosafat mengingatkan Ahab bahwa sebaiknya Mikha tetap dipanggil.

Di istana, Mikha menyampaikan nubuat dengan tanpa tedeng aling-aling. Kata Mikha, akan ada malapetaka atas seruan perang dari Ahab. Raja marah besar dan seketika seorang nabi kerajaan menampar wajah Mikha. Ahab memerintahkan agar Mikha ditangkap karena nubuatnya tak berpihak pada kerajaan. Akhir cerita, Ahab mati di peperangan melawan orang-orang Aram.

Mikha bin Yimla adalah contoh bagaimana iman menjadi suara kenabian saat melawan ketidakadilan. Ia tidak tinggal diam untuk menyuarakan kebenaran, meski harus berbeda dengan mayoritas nabi-nabi ekstatis. Mikha adalah contoh, bahwa teologi pembebasan itu tidak hanya tentang ibadah dan doa, tetapi mewujudnyatakannya dalam tindakan untuk menegakkan kebenaran.

Tema berikutnya adalah tentang jeritan para pengungsi (the cry of refugee). Ateek mengutip Mazmur 42 dan 43 sebagai sandaran Alkitabiah tentang seruan atau tangisan nyata dari orang-orang Palestina sebagai pengungsi. Mazmur 42 dan 43 menggambarkan kerinduan yang mendalam akan keadilan dan pemulihan di tengah penderitaan dan pengasingan.

Pemazmur telah terusir dari tanah airnya. Sebagai pengungsi yang tinggal di Yordania atau Lebanon, ia mengenang masa bahagia bersama tetangga, sahabat, komunitas untuk beribadat dengan lagu-lagu dan pujian bagi Allah. Ia mengenang kehidupan yang penuh kebahagiaan melalui pelbagai perayaan sukacita.

Keadaan itu, tak didapatinya kini. Mereka dibuang dari negaranya, diusir dari rumahnya, hidup dengan serba keterbatasan dan putus asa, menderita dengan penuh nestapa. Kenangan akan Palestina begitu indah dan membahagiakan, namun di saat yang sama, romantisme itu yang membuat mereka sulit menerima keadaan masa kini. Satu-satunya harapan adalah Allah. Percaya pada Yang Maha Kuasa merupakan satu-satunya cara menuju masa depan yang baik. “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (Mazmur 42: 2-3).

Pemazmur berdoa kepada Allah untuk membela hak-haknya, menyadari bahwa ketidakadilan telah terjadi, bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang tak beriman, pembohong dan tidak adil. “Berilah keadilan kepadaku, ya Allah, dan perjuangkanlah perkaraku terhadap kaum yang tidak saleh! Luputkanlah aku dari orang penipu dan orang curang!” (Mazmur 43:1)

Mazmur ini hendak menyatakan bahwa iman Kristen tidak bisa dipisahkan dari perjuangan keadilan. Jika Tuhan dalam Mazmur mendengar jeritan pengungsi, maka Tuhan yang sama juga mendengar jeritan Palestina dan berdiri di pihak mereka. Teologi Pembebasan Palestina, karenanya, bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang iman yang berjuang demi keadilan dan hak untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka.