RKUHP (versi September 2019) memiliki satu bab khusus yang berjudul “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Dua kandungan utamanya adalah “penodaan” atau permusuhan terhadap agama dan beberapa tindakan lain yang mengganggu hak untuk beragama atau beribadah. Dalam Naskah Akademik RKUHP (2015), di awal pembahasan bab tersebut, istilah yang digunakan adalah blasphemy dan “offenses relating to religion” dengan rujukan pada beberapa negara. Menurut Naskah tersebut, persoalan ini perlu diatur karena agama merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat di Indonesia; yang ingin dihindari adalah “perbuatan tercela dengan tidak menghormati agama atau umat beragama yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, atau umat beragama yang bersangkutan, termasuk terhadap sarana ibadah.”
Dalam paparannya di Konferensi tentang Hukum Penodaan Agama (Agustus 2020)1, Heiner Bielefeldt (Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, 2010-2016) menyampaikan bahwa “penodaan agama” (blasphemy) atau ujaran yang memusuhi agama memang terjadi—ada orang-orang yang memang ingin melukai perasaan keagamaan orang lain, dan ada orang yang terluka. Meskipun demikian, menurutnya, suatu UU pidana tentang penodaan agama adalah jawaban yang keliru atas persoalan itu. UU semacam itu tidak menyelesaikan masalah, justru memunculkan banyak masalah lain, sebagaimana akan dibahas di bawah. Karenanya, menurutnya, perlu dicari jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif.
Paparan ini mengusulkan jawaban baru itu, untuk memperbaiki pasal-pasal terkait dalam RKUHP. Salah satu sumber penting yang menginspirasi jawaban itu adalah Resolusi Dewan HAM PBB No. 16/18 (2011) tentang melawan intoleransi, yang diinisiasi oleh Organisasi Kerjasama Islam, dimana Indonesia menjadi anggotanya. Sumber lain yang lebih terinci adalah Rencana Aksi Rabat untuk untuk pelarangan advokasi kebencian nasional, rasial dan keagamaan (2012).
Bagian pertama dari tulisan ini menunjukkan beberapa masalah dalam legislasi mengenai tindak pidana terkait agama, sebagaimana halnya Naskah Akademik RKUHP, juga menunjukkan konteks di luar Indonesia sebagai perbandingan dan sumber pelajaran. Bagian kedua menunjukkan alternatif berbeda untuk mencapai tujuan pengaturan tersebut, untuk mengatasi kekurangan-kekurangan pengaturan tindak pidana terkait agama yang ada dalam RKUHP kini.
Leave a Reply