PADA 25-27 Januari 2022, mengambil tempat di Wisma Remaja PGI di daerah Puncak, Jawa Barat, telah berlangsung workshop “Refleksi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia”. Hadir dalam acara ini 45 orang peserta (sebagiannya tidak lengkap mengikuti semua acara), yang mewakili banyak lembaga yang selama ini bergerak dalam advokasi KBB di Indonesia. Jumlah peserta ini melampaui jumlah undangan semula, yang antara lain menunjukkan besarnya minat peserta untuk hadir dalam acara ini.
Meskipun sebagian besar peserta berasal dari Jawa, karena ada banyak hambatan terkait pandemi Covid-19 untuk melibatkan peserta dari luar Jawa, mereka berasal dari beragam latar belakang: Organisasi Masyarakat Sipil, akademisi, peneliti, lembaga-lembaga negara yang relevan seperti Komnas HAM, dan lembaga-lembaga donor. Kegiatan workshop diadakan untuk mencapai empat tujuan: (1) Melakukan refleksi bersama untuk memahami situasi Indonesia saat ini dalam konteks advokasi KBB; (2) Memahami beragam paradigma dalam memperjuangkan KBB di Indonesia; (3) Mengidentifikasi aneka pendekatan dan wilayah kerja dalam memperjuangkan KBB di Indonesia; dan (4) Menyusun agenda bersama dalam mengadvokasi KBB di Indonesia. Semuanya dilatarbelakangi kesadaran bersama bahwa situasi KBB di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, meskipun Reformasi di Indonesia sudah berlangsung lebih dari dua dekade.
Sebagai bahan awal untuk diskusi, workshop diawali dengan paparan hasil studi pemetaan/pembelajaran advokasi yang dilakukan PUSAD dan CRCS. Studi PUSAD menunjukkan beberapa contoh advokasi yang berhasil di tingkat nasional (misalnya, standar akreditasi sekolah, Yayasan Cahaya Guru) dan tingkat lokal (Perbup Kulonprogo, PUSHAM UII; RPJMD Toleransi di Bogor, Imparsial). Faktor yang dianggap menentukan keberhasilan advokasi tersebut adalah: pemetaan aktor yang baik; pengerahan sumber daya yang efektif (dana, jaringan, keahlian); pemanfaatan berbagai kanal (eksekutif, legislatif); dan fleksibilitas dalam merespons situasi/perubahan.
Sementara itu, studi atas pengalaman advokasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Tasikmalaya, Jawa Barat, menunjukkan kompleksitas dan keragaman advokasi KBB (dari segi isu, wilayah kerja, jenis kebijakan yang disasar, audiens yang disasar, pendekatan, paradigma, dsb.). Dengan kompleksitas ini, sulit dan tidak diharapkan ada pendekatan/strategi yang paling sempurna untuk segala situasi/kasus. Butir penting lainnya adalah pentingnya kombinasi “pendekatan kultural” dan advokasi legal, meskipun pada titik tertentu advokasi bisa terbatasi oleh regulasi nasional (dalam hal ini, SKB tentang JAI 2008). Yang diperlukan adalah saling memahami dan sinergi di antara organisasi yang berbeda-beda itu dalam mendorong perubahan.
Penjelasan dan hasil workshop ini bisa dibaca dalam Risalah Pertemuan Advokasi KBB.
Leave a Reply