Penguatan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) memerlukan peran aktif semua pihak, termasuk ketika berhadapan dengan konflik yang melibatkan agama. Cara-cara mengelola konflik, seperti mediasi dan negosiasi, penting menjadi keterampilan para birokrat, pemuka agama, dan penggiat masyarakat sipil.
Untuk itu, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina kembali menggelar Lokalatih Mediasi Lintas-Iman. Berlangsung di Hotel Luminor, Kota Bogor, 30 peserta dari kalangan pemerintah daerah, tokoh agama, dan aktivis masyarakat sipil mengikuti lokalatih sepanjang 22-26 Januari 2024 ini. Pemerintah Kota Bogor, Pusat Mediasi Nasional, dan FKUB Kota Bogor ikut terlibat sebagai penyelenggara bersamanya.
Dalam sambutannya, Senin pagi (25 Januari 2024), Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiharto menekankan pentingnya mediasi sebagai penyelesaian sengketa di tengah masyarakat. Ini karena konflik merupakan hal tak terhindarkan di tengah masyarakat, sementara upaya menyelesaikannya tak melulu harus menempuh jalur hukum yang merujuk regulasi dan aturan. “Yang terpenting dan menantang adalah bagaimana mengidentifikasi kepentingan,” kata Bima.
Kemampuan seorang mediator dalam mengidentifikasi kepentingan para pihak, tambah Bima, amat ditentukan oleh pengalaman. Dengan mengalami langsung dinamika di tengah masyarakat, sebagaimana terjadi di Bogor selama masa kepemimpinannya, ia menyadari bahwa menemukan kepentingan seseorang atau suatu kelompok bukanlah hal yang mudah.
Karena itu, ia mendukung lokalatih ini dan rencana pelembagaan mediasi di Kota Bogor, mengingat para peserta adalah mereka yang terbiasa terjun di tengah masyarakat. Ia mengangkat contoh keberhasilan mediasi konflik rumah ibadah di Bogor, GKI Yasmin, yang mencapai kesepakatan setelah para pihak menempuh mediasi.
Perpaduan Teori dan Keterampilan
Selama lima hari, seluruh peserta mendapatkan pembekalan teoritis dan keterampilan yang diujikan dalam beberapa kali simulasi. Di hari pertama, Direktur Pusat Mediasi Nasional (PMN), Fahmi Shahab, menjelaskan apa yang dimaksud dengan mediasi, ciri-cirinya, dan bagaimana prosesnya berlangsung.
Sebagai negosiasi yang melibatkan seorang mediator untuk memfasilitasinya agar efektif, mediasi merupakan langkah yang lebih murah dengan hasil yang lebih memuaskan para pihak. Meski demikian, Fahmi mewanti-wanti agar mediator tidak menjanjikan hasil memuaskan di tahapan awal mediasi. Hal ini berlaku baik bagi kasus ringan apalagi yang berisiko tinggi. “Mediator tidak bisa menjadi saksi, atau diperkarakan, jika kasus berisiko,” ucapnya.
Dengan berpegang pada posisi itu, seorang mediator harus memiliki wawasan teoritis tentang mediasi. Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, mediasi mengajak para pihak duduk bersama membahas masalah mereka dan saling menegosiasikannya. “Dari tiga jenis pendekatan dalam mengelola sengketa, yakni kekuatan, hak, dan kepentingan, mediasi merupakan pendekatan kepentingan,” kata Wakil Direktur PUSAD Paramadina, Husni Mubarok.
Pendekatan ketiga ini, kata Husni, merupakan pendekatan yang mengharapkan hasil menang-menang. Ini berbeda dari pendekatan kekuatan yang mengandalkan ketundukan pada pemimpin untuk hasil menang-kalah atau kalah-kalah, juga berbeda dari pendekatan hal yang patuh pada aturan hukum untuk menemukan kepastian siapa yang benar dan siapa yang salah. “Meski mediasi berorientasi pada hasil menang-menang sehingga diharapkan bisa sekaligus memperbaiki hubungan para pihak, ia membutuhkan kesabaran karena waktu yang ditempuhnya bisa sangat lama,” tambah dia.
Setelah memahami dasar teoritis atas jenis-jenis pendekatan itu, peserta diajak mengenal memahami bentuk-bentuk mediasi yang baik dan buruk, serta mengasah keterampilan khusus seperti mendengar dan bertanya untuk menggali informasi kepentingan dan kebutuhan para pihak, serta merangkumnya dengan baik. Semua keterampilan itu, ditambah pengetahuan tentang prosedur dan tahapan mediasi, menjadi bahan yang diujikan secara bertahap dalam beberapa simulasi di hari-hari setelahnya.
Beberapa contoh kasus, dari tingkat keluarga sampai antaragama, menjadi bahan simulasi tersebut. Tujuannya adalah melatih para peserta untuk menganalisis konflik, menerapkan keterampilan mediator, dan memahami konflik yang beragam dan berjenjang.
Pentingnya Kode Etik
Hal lain yang tak kalah penting bagi seorang mediator adalah memegang teguh kode etik, yakni tidak berpihak, tanpa benturan kepentingan, menjaga rahasia, independen, dan memperlakukan para pihak dengan setara.
“Kesulitan kerap terjadi pada para agamawan, karena perannya selama ini adalah pihak yang dimintai jawaban atas suatu masalah,” kata Husni. Dengan ‘melepas jubah agamawan’ dan menjalani peran baru sebagai mediator, seseorang perlu mengacu pada kode etik tersebut dan mendorong semua penyelesaian masalah muncul dari para pihak. Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi pelembagaan mediasi oleh aktor lintas-iman.
Dengan mengundang pegawai pemerintah daerah dan aktor-aktor agama mengikuti lokalatih ini, PUSAD Paramadina berharap mereka menjadi lebih terampil ketika menghadapi konflik, di samping peran mereka selama ini yang terbiasa menggunakan pendekatan kekuatan (Pemda) dan hak (pemuka agama). Mereka yang bekerja memediasi dengan menjunjung kode etik, terkhusus dalam konflik-konflik agama, adalah pekerja perdamaian (peace workers) yang penting bagi relasi agama dan demokrasi.
Leave a Reply