Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Pengalaman Komunitas Peace Maker Kupang Mengadvokasi Rumah Ibadah

KOMPAK Kehidupan damai di Batuplat, Kupang, terusik oleh desas-desus mengenai keberadaan Masjid Nur Musafir. Meski masjid ini berdiri sejak 2003, warga yang mayoritasnya beragama Kristen menyuarakan penolakan. “Mereka khawatir kalau masjid itu menjadi besar dan bahkan difungsikan sebagai pondok pesantren,” kata relawan komunitas Peace Maker Kupang (KOMPAK), Zarniel Woleka.

Ia menyampaikan pengalaman KOMPAK dalam mengadvokasi rumah ibadah di Kupang dalam Diskusi Virtual Bulanan Koalisi Advokasi KBB Indonesia, edisi Desember 2024, Jumat, 20 Desember 2024, melalui Zoom. Turut hadir sebagai penanggap Uskup Agung Ende, Flores, Mgr. Paulus Budi Kleden, dan Partnership Officer Peace Generation, Adriana Anjani. Acara ini dimoderatori oleh Alifa Ardhyasavitri dari Sekber KBB.

“Di tahun 2008, pihak masjid mendapat hibah Pemkot Kupang, lalu mengurus IMB dan terbit pada 2011. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh petahana Walikota Kupang saat itu, tetapi pemuda GMIT menolak,” ungkap Zarniel. Alasan penolakan mereka adalah karena masjid tidak memenuhi syarat 90 jamaah dan dukungan 60 warga sekitar, sesuai Peraturan Bersama Menteri. “Angka 90 dipahami mereka sebagai jemaah di Batuplat saja, padahal pengguna masjid juga datang dari kelurahan lain,” ungkapnya, yang saat itu menjadi Sekjen Pemuda Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Selain itu, para penolak juga meragukan rekomendasi dari Ketua FKUB. bagi mereka, rekomendasi itu hanya sepihak, tidak terbit dari rapat di FKUB.

Di tengah kondisi penolakan yang kian panas, MUI setempat sampai mengeluarkan fatwa menghentikan pembangunan masjid. “Warga yang menolak memberi intimidasi, melempari rumah ketua tatasan, mencabut papan nama masjid, menuntut GKI Yasmin (di Bogor-red) untuk diizinkan pembangunannya jika Masjid Batuplat ingin lanjut dibangun,” ucap Zarniel. Sebagian warga juga menyebar isu bahwa pihak masjid melakukan penipuan, lewat pemalsuan tanda tangan bantuan sosial untuk menjadi dukungan pembangunan masjid. Warga yang awalnya mendukung jadi menarik dukungan.

Dalam kondisi inilah KOMPAK berdiri di tahun 2012. Pengurusnya terdiri dari orang muda lintas agama. Pada saat itu, mereka baru terbiasa berdiskusi soal keberagaman. “Kami tidak tahu seperti apa itu advokasi KBB, tidak punya pengalaman menyelesaikan konflik apalagi terkait pendirian rumah ibadah,” ungkapnya. Para pengurusnya adalah ‘garis keras’ di masing-masing agamanya.

“Yang mereka lakukan kemudian adalah asesmen mengenai pandangan masyarakat mengenai masjid,” tambah dia. Mereka mendatangi para penolak, dari rumah ke rumah. Mereka melatih pemuda lintas agama di Batuplat. Mereka bisa berjumpa dengan ketua yayasan yang menjadi panitia pembangunan, lalu mendatangi tokoh masyarakat Kristen. “Pada sebuah kesempatan, kami membuat buka puasa bersama Ketua Umum PGI yang dihadiri pihak penolak juga,” ungkapnya. Suasana mulai mencair sehingga KOMPAS berani mencari dukungan ke Kesbangpol, Ombudsman, DPRD Kota, DPRD Provinsi, dan Departemen Agama.

Pada 2 Juli 2013, terjadi pertemuan panitia pembangunan masjid, warga termasuk yang menolak, tokoh agama, dan FKUB. “Hasilnya, mereka menyetujui pembangunan masjid, asalkan administrasi IMB dilengkapi,” ucap dia. KOMPAK bersama Tim 9 yang terdiri dari Kasat Intel Polresta, Kasi Intel Kejaksaan, Intel Koramil, Ketua MUI Kota Kupang, Perwakilan Gereja Katolik, PHDI, GMIT diwakili oleh pendeta Jemaat Pohon Nias, FKUB, dan Kepala Kesbangpol kota Kupang, mengadakan pemerintah dan pihak masjid memproses pengurusan izin dengan benar dari awal lagi, memulihkan kepercayaan masyarakat.

“Inilah yang menjadi modal kami di tahun 2014 untuk bergerak secara nasional,” kata Zarniel. Mereka berhasil menghubungi Komnas HAM, KontraS, dan Sobat KBB. “Setelah itu strategi berubah, yakni menggalang dukungan tokoh termasuk yang menolak. Kami mengumpulkan ulang dukungan, hingga dari 150 KK mendapatkan 75 dukungan,” ucapnya. “Dengan panitia berkunjung ke masjid, warga lebih terbuka menyuarakan kekhawatirannya.”

Di Oktober 2015, Komnas HAM datang dan berhasil menerbitkan rekomendasi. Beberapa bulan setelahnya, di tahun 2016, warga yang sebelumnya menolak jadi bersuara meminta Walikota menerbitkan IMB. di bulan April di tahun yang sama pun pembangunan berlanjut.

Menanggapi paparan Zarniel, Romo Budi menekankan pentingnya faith, fraternity, dan compassion. “Dengan faith, kita meyakini agama kita masing-masing, tetapi dengan fraternity, kita menyadari bahwa kita semua adalah bersaudara,” kata Romo Budi. Ia menambahkan, jika persaudaraan itu diperkuat dengan compassion (welas asih), maka kita bisa lebih berdamai dan saling mendukung. “Kecurigaan antara agama terjadi ketika fraternity dan compassion hilang,” pungkasnya.