Penulis: Putri Nur Habibah | Ilustrasi: Wikimedia
Diskusi Virtual Bulanan Koalisi Advokasi KBB Indonesia April 2025 mengangkat tema “Memukul-Balik Tren Otokratisasi: Belajar dari Pangkalan Data “Damai Pangkal Damai.” Tujuan utamanya untuk menyoroti ketidakefektifan aksi “Indonesia Gelap” di kwartal pertama tahun 2025, berbeda dengan aksi “Garuda Biru” pada 22 Agustus 2024 yang berhasil memutar balik otokratisasi pada masa itu. Kemerosotan mutu demokrasi wajib dikontrol dan berlanjut.
Maka dari itu, melalui diskusi virtual ini, Diah Kusumaningrum (Dosen FISIPOL, Universitas Gadjah Mada); Dandhy Dwi Laksono (Jurnalis Investigasi dan Filmmaker); dan Asfinawati (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) menjadi narasumber dan Ismail Al-’Alam (Sekber Koalisi Advokasi KBB) membersamai selaku moderator.
Topik ini akan dikupas secara kritis mulai dari apa yang bisa dipelajari dari rangkaian perlawanan nirkekerasan tersebut? Metode-metode apa yang dapat dipelajari dan dilatih demi keberlanjutan, ketersebaran, serta meningkatkan intensitasnya? Apa saja yang bisa dipelajari dari aksi perlawanan nirkekerasan lain di dunia? Apa peran advokasi KBB untuk memperkuatnya?
Pada kalimat pembukanya, Diah mengajak individu yang mengaku cinta demokrasi perlu giat belajar mengenai hal ini agar efektif mendorong balik bila terjadi otokratisasi. Diah mengenalkan proyek pangkalan data yakni “Damai Pangkal Damai” yang merekam rangkaian nirkekerasan yang terjadi di era reformasi (1999-sekarang).
Tidak hanya merekam nirkekerasan, proyek ini secara rutin menerbitkan infografis mingguan mengenai 198 metode aksi nirkekerasan, mengeluarkan kaleidoskop bulanan perlawanan nirkekerasan di berbagai negara, merilis refleksi tahunan perlawanan nirkekerasan di dunia, merilis siniar PNS (Pekerja Nirkekerasan Sehari-hari) secara berkala.
“Kita suka lupa bahwa esensi dari perlawanan nirkekerasan adalah menimpakan dilemma action pada lawan, supaya lawan terpaksa berhitung ulang ongkos sosial, ongkos politik, ongkos ekonomi, ongkos moral, kalau dia meneruskan kekerasan dan kerusakan yang ditimbulkannya.” Pungkas Diah.
Diah turut memberi contoh dari ongkos-ongkos yang dia maksud, salah satunya pada film Dirty Vote. Film ini ditujukan bagi calon voters berpikir ulang mengenai ongkos golput, ongkos pilih calon A, ongkos pilih calon B, dan seterusnya. Menyandingkan ongkos-ongkos tersebut dengan nama-nama dalam film tersebut, mau tetap business as usual atau mau menyangkal data-data yang terpapar dan mendiskreditkan film tersebut.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa perlawanan yang jitu itu ketika dapat menempatkan lawan pada dua pilihan yang sama-sama buruk. Diah menganalogikan perlawanan nirkekerasan sama halnya dengan bela diri jiu-jitsu, dimana lawan dikalahkan atas kekuatannya sendiri.
Portal berita Kompas pernah mencatat sekitar 1.300an aksi nirkekerasan dalam setahun. Berdasarkan data-data dari sumber lain, aksi nirkekerasan mengalami penurunan akhir-akhir ini. Ini menjadi tanda tanya besar, mengapa hal ini bisa terjadi? Kategorisasi dari aksi nirkekerasan yang utama terbagi menjadi tiga, yakni Protes dan Persuasi (hanya mengekspresikan ketidaksetujuan; poster, demonstrasi, hastag, panggung seni), Nonkooperasi (berpartisipasi dalam menolak hal yang tidak disetujui; boikot, mogok), intervensi (berusaha menghentikan sesuatu yang tidak disetujui; blokade, pendudukan, berkemah).
Tren nirkekerasan di Indonesia mengalami penurunan pada jumlah, intensitas, repertoar, serta titik terbatas, dan sekutunya mengambang. Sehingga kebutuhan yang diperlukan adalah infrastruktur perlawanan dan disiplin nirkekerasan.
Dandhy Laksono selaku orang dibalik film sexy killers mengakui bahwa film tersebut memvisualkan konsep oligarki dengan sederhana. Dandhy turut berpendapat mengenai dilemma action yang disinggung Diah, bahwa kenyataannya target justru memilih terbuka dan menahan malu. Mereka tidak peduli dengan persepsi publik dan ukuran-ukuran yang dianggap sebagai moral compass.
“Peradaban kita secara umum bergerak menuju standar yang berbeda dari sebelumnya, yang dalam sejarah belum pernah ada orang tebal muka seperti Netanyahu, Trump, Jokowi.” Ucap Dandhy.
Membalas pendapat Dandhy, Diah setuju bahwa pemimpin-pemimpin saat ini banyak yang tebal muka. Saking tebalnya, mereka sudah tidak tersentuh dengan upaya dilemma action, namun perlu diperhatikan bahwa hal ini juga sudah terjadi dari zaman dulu.
Maka dari itu, bukan upayanya yang salah, namun lebih kepada siapa yang menggaungkan dilemma action ini. Agar lebih mudah dipahami, Diah menganalogikannya sebagai seorang penyanyi. Ada lagu yang jika dinyanyikan oleh musisi A tidak akan menarik perhatian atau berpengaruh pada khalayak luas, namun jika dinyanyikan musisi B bisa membuat hati seseorang bergetar, turut meresapi maknanya hingga menangis.
Berlanjut pada narasumber selanjutnya, Asfinawati menegaskan bagaimana pentingnya belajar dari kelemahan dan memberdayakan tidak hanya komunitas yang bersifat mayoritas saja. Transformasi aktor dalam konflik masyarakat yang dipaparkan Asfinawati berawal dari korban, penyintas, pembela (komunitasnya atau komunitas lain), aktor gerakan sosial, hingga menjadi pemimpin dalam gerakan sosial.
“Sesuatu yang taktis itu strategis, karena orang yang megang naskah pidatonya presiden bisa mengarahkan pidatonya kayak gimana. Nah taktis yang strategis yang paling sederhana misalnya aksi ketika undang-undang TNI itu, kita janjian pagi (misalnya) dan datengnya siang, dan sayangnya momen pengesahannya pagi.” Ungkap Asfinawati.
Asfinawati setuju bahwa dari segi cara perlawanan nirkekerasan sudah baik, namun melakukan cara tersebut belum benar (kurang terstruktur).
Leave a Reply