Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Paus yang “Membangun Jembatan”

Kredit foto: Dhemas Reviyanto / Antara News Agency

Penulis: Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina; Koordinator Dewan Pengarah Sekber KBB) | Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 27 Februari 2016, dengan judul yang sama.

Saling komentar antara Paus Fransiskus dan Donald Trump, yang luas diberitakan, mengungkap gagasan penting soal tugas agamawan “membangun jembatan” (perdamaian). Dengan sumberdaya yang ada pada mereka, para agamawan dapat mencontoh Paus dalam memperjuangkan gagasan ini – agar agama jadi rahmat, bukan laknat, bagi manusia.

Dalam kampanyenya sebagai salah satu calon kandidat presiden Amerika Serikat (AS), Trump menyatakan ingin membangun tembok yang memisahkan AS dan Meksiko. Ditanya komentarnya atas pernyataan itu, Paus menjawab, “Seseorang yang hanya berpikir tentang membangun tembok, di mana pun, dan bukan membangun jembatan, bukanlah orang Kristen.” Disebut demikian, Trump balik menyerang, “Bagi seorang pemimpin agama, mempertanyakan iman seseorang itu tak patut.”

Tak penting benar siapa menang atau kalah di situ. Tak gampang juga mengukurnya. Sambil mengutip satu survei, John Sides, gurubesar ilmu politik George Washington University, malah menyatakan bahwa mayoritas rakyat AS sudah kadung lebih suka pada Paus (69%) ketimbang Trump (34%) (Washington Post, 19/2/2016). Perbedaan ini ditemukan tidak hanya di kubu pemilih Partai Demokrat, tapi juga di kubu Independen dan Republikan.

Yang lebih penting, jangan-jangan Paus bisa menyampaikan gagasan itu dengan tanpa beban, tanpa perhitungan untung-rugi, karena dia pemimpin agama. Posisi ini bertentangan dengan posisi Trump: pengusaha-politisi yang ingin dipilih dalam pemilu. Apalagi, sebagai outlier dalam politik Washington, Trump harus mengeritik kemapanan dengan sangat keras!

“Bridging” dan “Bonding”

“Membangun jembatan” jelas tak mudah. Gagasan ini menjadi populer (lagi) ketika Robert Putnam mempertebal konsep social capital, dalam Making Democracy Works (1994). Tersedianya modal sosial yang kuat, yang dicirikan oleh trust di antara satu dan lain orang atau kelompok, akan memperkuat kerjasama dan, akhirnya, tujuan dan kepentingan bersama.

Belakangan, dalam Bowling Alone (2000), Putnam lebih merinci dua cara kita melihat modal sosial: bonding dan bridging. Keduanya terkait soal dengan siapa, atau kelompok mana, kita membangun jembatan, karena identitas orang (kelompok) juga berlapis. Untuk kepentingan yang berbeda, Paus dan Trump mencerminkan panggilan ke dua modus modal sosial ini.

Bonding mengacu kepada jejaring sosial di antara kelompok-kelompok homogen. Modal sosial ini sangat penting bagi kelompok-kelompok marginal untuk bersekutu dalam jejaring lebih besar untuk kepentingan bersama. Misalnya, dalam sejarah awal perjuangan menegakkan hak-hak perempuan, feminisme internasional lebih fokus pada pendekatan “Perempuan dalam Pembangunan”, di mana inisiatif pembangunan disalurkan khusus kepada kaum perempuan (hak-hak reproduksi, pendidikan perempuan, dll.). Hal ini memperkuat jejaring mereka, yang memfasilitasi pencapaian cita-cita bersama mereka.

Bonding juga diterapkan dalam rangka penguatan kapasitas kelompok-kelompok rentan lain seperti masyarakat adat, petani dan lainnya. Mereka bekerja bersama atas dasar kepentingan bersama. Kekuatan yang diperoleh dari keanggotaan in-group ini mendorong agensi bersama memperjuangkan kepentingan bersama.

Bonding juga berguna sebagai jaring pengaman sosial untuk menjaga kepentingan anggota dari invasi kelompok lain. Ketika negara gagal menyediakan layanan-layanan pokok, modal sosial berbasis hubungan keluarga atau suku akan bisa memenuhinya di waktu-waktu sulit.

Tapi bonding juga punya sisi gelap. Ia dapat mendorong terjadinya praktik-praktik diskriminatif berbasis kecurigaan, intoleransi, dan kebencian pada kelompok lain. Selain itu, bonding dapat memperkuat sistem patronase vertikal, di mana modal sosial digunakan untuk menumbuhkan nepotisme dalam rangka mencapai kepentingan kelompok sendiri. Di sini, bonding merampas kesempatan kelompok lain untuk memperoleh layanan negara atau memperjuangkan kepentingan secara adil.

Modal sosial kedua, bridging, diperlukan untuk mengatasi sisi gelap ini. Ia mengacu kepada jejaring sosial di antara kelompok-kelompok sosial yang heterogen. Bridging memungkinkan kelompok-kelompok berbeda saling berbagi informasi, pengalaman, gagasan, bahkan inovasi. Lewat modal sosial ini, kelompok-kelompok berbeda dapat membangun konsensus bersama.

Bonding dan bridging tak harus saling bertentangan. Bridging memperlebar modal sosial dengan meningkatkan apa yang disebut Francis Fukuyama (2004) sebagai “radius of trust”. Jika radius trust pada yang pertama cukup sempit, hanya di antara kelompok-kelompok masyarakat yang homogen, maka bridging bisa menumbuhkan modal sosial yang didukung oleh kelompok-kelompok lebih luas dan heterogen. Untuk inilah jembatan harus dibangun.

Politisi versus Agamawan?

Dalam kasus Paus vs. Trump, yang terakhir berseru agar rakyat AS memperkuat bonding di antara mereka sendiri. Untuk itu, tembok fisik dapat dibangun untuk memisahkan AS dari Meksiko. Dia juga pernah berseru agar AS hanya menerima pengungsi asal Timur Tengah yang beragama Kristen, karena sebagian besar rakyat AS Kristen. Karena alasan ini, sejumlah kaum Muslim menyatakan hendak pindah dari AS jika nanti Trump terpilih sebagai presiden!

Masyarakat AS saya sebut homogen? Pada dirinya sendiri, AS tentu saja bukan masyarakat yang homogen. Tapi dengan paranoia yang dihembuskan Trump, AS sedang dikerangkakan sebagai bangsa yang tengah diserang oleh semua pihak di luarnya, termasuk negeri yang jauh lebih kecil tetapi kebetulan menjadi tetangganya seperti Meksiko. Trump sedang mengembangkan perasaan bersama “USA versus The Rest!”

Di seberang Trump berdiri Paus Franciskus, yang menyerukan solidaritas umat manusia, memperkokoh modal sosial bersama lewat bridging, melampaui tembok-tembok. Dia sedang mengampanyekan ekumenisme, ukhuwwah insaniyah, melawan nasionalisme sempit.

Dan Paus tak kekurangan sumberdaya untuk menyatakan seruannya di atas – dan mengamalkannya. Berkat Paus-lah langkah-langkah perdamaian antara AS, negerinya Trump, terkuat di dunia, dengan Kuba, musuh besarnya, dimulai kembali, sesudah musuhan selama 50 tahun! Dan berkat perannya itu, baik Presiden AS Barack Obama maupun Presiden Kuba Raul Castro menyampaikan ucapan terimakasih!

Apa sumber-sumber kemampuan Paus Franciskus sebagai agen perdamaian? Apakah karena dia agamawan, bukan politisi, yang akan hitung-hitungan?

Diperlukan riset sendiri untuk menjawab pertanyaan di atas. Tapi dalam studinya yang sudah menjadi klasik, Intermediaries in International Conflict (2013 [1992]), Thomas Princen menyebut lima kapasitas yang dimiliki Gereja Katolik Vatikan dan memungkinkannya tampil sebagai mediator yang kredibel: memiliki legitimasi moral; dapat menjaga netralitas; dapat menjangkau opini publik dunia; memiliki jaringan informasi dan kontak; dan dapat menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang bertikai. Kesimpulan itu diperoleh sesudah mempelajari peran Gereja Katolik dalam memediasi konflik Argentina dan Chili (1978-1984).

Penting dicatat: meskipun sebagai lembaga Gereja Katolik memiliki lima kemampuan di atas, tak semua Paus bisa memainkan kepemimpinannya dengan baik, sebagai agen, leader, yang memperjuangkan perdamaian. Untungnya, Paus Franciskus adalah leader dengan visi dan komitmen besar seperti itu.

Kata The Guardian (17/12/2014), tak kurang dari 18 bulan waktu yang dihabiskan Paus dan timnya untuk memperjuangkan agar pembicaraan soal pertukaran tawanan perang terjadi antara AS dan Kuba terjadi – dan dengan itulah langkah-langkah perdamaian dibicarakan lagi. Bagi Presiden Obama sendiri, ini tak kurang dari “satu babak baru dalam hubungan di antara bangsa-bangsa Amerika.”

Akhirnya, sudah terlalu sering kekuatan agama sebagai agen perdamaian disepelekan. Kini saatnya inisiatif-inisiatif seperti yang dilakukan Paus Franciskus di atas memperoleh apresiasi setinggi-tingginya. Apa sumber-sumber kekuatannya perlu dipelajari, dan lessons learned diambil darinya.***