Ringkasan:
● Perlu redefinisi konsep minoritas sebagai persoalan struktural berbasis relasi kuasa.
● Regulasi dipandang krusial untuk memastikan identitas dan kelompok rentan tidak mengalami diskriminasi.
● Mahasiswa didorong memperluas ruang intelektual di luar kampus guna memperkuat kepekaan sosial.
Republikasi dari elsaonline
Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) Semarang bekerja sama dengan Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Kota Bandung serta Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) UIN Bandung menyelenggarakan Seminar dan Bedah Buku Politik Minoritas di Indonesia: Identitas, Negosiasi, dan Regulasi. Acara tersebut berlangsung di Aula Pascasarjana UIN Bandung pada 8 Desember 2025.
Kegiatan yang menghadirkan sekitar 50 mahasiswa ini berlangsung hangat dan interaktif. Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan kritis yang diajukan sepanjang diskusi. Direktur ELSA, Tedi Kholiludin, dalam paparannya menegaskan pentingnya keberanian mahasiswa untuk keluar dari zona nyaman intelektual. Menurutnya, pengetahuan tidak cukup dikembangkan hanya dari ruang kelas, melainkan perlu diperkaya melalui eksplorasi dan dialog di luar ruang akademik formal.
“Istimewanya ilmu pengetahuan adalah ia bisa tumbuh dari mana saja. Mazhab Frankfurt muncul dari diskusi kelompok kecil, bukan dari gedung megah atau bangku kuliah,” ujarnya memberi contoh.
Salah satu poin penting dari diskusi buku tersebut adalah perlunya konsepsi ulang dalam memahami kategori-kategori ilmiah, terutama istilah “minoritas”. Tedi menekankan bahwa minoritas tidak harus dipahami sebagai kelompok kecil secara statistik.
“Kami memaknainya berbeda: minoritas adalah mereka yang terhambat dalam mengakses hak-hak kewarganegaraan. Minoritas itu lahir dari relasi kuasa—menggeser definisi dari statistik ke struktur. Ada diferensiasi, kesadaran subjek, dan sering kali kelompok itu disengaja dibuat kecil melalui narasi sosial,” jelasnya.
Akademisi UIN Bandung, Reza F. Nazar, menguatkan perspektif tersebut. Ia menekankan pentingnya melihat identitas dan peran negara dalam regulasi yang seharusnya menjamin tidak adanya diskriminasi. Menurutnya, membaca negara berarti mencermati bagaimana kekuasaan bekerja—mana regulasi yang hegemonik dan mana yang tidak.
“Spirit yang perlu dibangun adalah egalitarianisme, terlepas dari agama, etnis, atau jenis kelamin. Faktanya, masih ada agama dan kelompok-kelompok sosial yang hak-haknya belum sepenuhnya terakomodasi negara. Karena itu, memposisikan regulasi menjadi sangat penting,” tegasnya.
Reza juga menambahkan bahwa bagi mahasiswa, kemampuan membaca regulasi bukan hanya penting secara konseptual, tetapi juga krusial dalam penelitian. “Salah satu kunci kekuatan buku ini ada di subjudulnya: sejauh mana para penulis mampu menempatkan regulasi sebagai pintu masuk analisis,” tambahnya.
Dr. Yayan M. Royani, mewakili YPK ELSA, menyampaikan bahwa sejatinya mahasiswa harus lebih aktif menjelajahi ruang-ruang intelektual di luar kampus, memperluas perspektif, serta memaknai isu minoritas sebagai persoalan struktural yang menuntut kepekaan akademik sekaligus keberpihakan pada nilai-nilai keadilan.
Editor: Andrianor











Leave a Reply