Lokakarya Jaringan Ulama Perempuan Indonesia di Yogyakarta membahas fiqih disabilitas, stigma sosial, kekerasan, dan kolaborasi lintas sektor untuk pemenuhan hak difabel.
Ringkasan:
● Ulama perempuan mendorong pembentukan fiqih disabilitas demi akses ibadah yang inklusif dan bermartabat.
● Penyandang disabilitas menghadapi stigma sosial, keterbatasan akses, dan minim dukungan meski kebijakan formal tersedia.
● Kolaborasi ulama, pemerintah, dan komunitas difabel dibutuhkan untuk membangun keulamaan yang adil dan kontekstual.
Republikasi dari Yayasan Fahmina
Lokakarya Jaringan Ulama Perempuan Indonesia yang digelar di Kampus UNU Yogyakarta menjadi ruang perjumpaan lintas pengalaman: penyandang disabilitas, ulama perempuan, akademisi, aktivis, kalangan pesantren, hingga pemerintah daerah. Forum Konsolidasi Ulama Perempuan yang diinisiasi oleh Yayasan Fahmina dan Center for GEDSI UNU Yogyakarta ini menunjukkan bahwa isu disabilitas bukanlah wacana abstrak, melainkan pengalaman hidup nyata yang sering kali pahit, penuh stigma, dan minim dukungan. (11/12/2025)
Fasilitator lokakarya, Marzuki Wahid, membuka diskusi dengan menekankan pentingnya saling mengenal. “Ternyata di ruangan ini ada akademisi, perwakilan pesantren, aktivis, pemerintah, dan organisasi penyandang disabilitas. Banyak kerja yang sudah dilakukan, tetapi belum saling terhubung,” ujarnya. Kesadaran inilah yang menjadi titik awal kolaborasi.
Alat Bantu adalah Tubuh Itu Sendiri
Pengalaman personal disampaikan oleh Nuning (Kohana), seorang pengguna kursi roda. Ia menceritakan bagaimana bantuan kursi roda dari pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna. “Baru beberapa hari lalu ada bantuan kursi roda, tetapi ukurannya terlalu besar. Alat bantu ini adalah bagian dari diri saya sendiri,” katanya. Penyesuaian alat bantu bukan perkara sepele, melainkan soal martabat dan kemandirian.
Kisah serupa datang dari berbagai sudut. Himawan Susanto dari SIGAP Bantul menyoroti pendampingan difabel korban kekerasan seksual yang masih minim perhatian. Sementara itu, Dwi Nugroho dari Pertuni DIY berbagi tantangan pendidikan dan prospek kerja bagi tunanetra. Ia menyebutkan bahwa hampir 80 persen tunanetra bekerja sebagai pemijat, sehingga pelatihan keterampilan menjadi penting agar mereka mampu bersaing dengan non-difabel.
Di sekolah luar biasa (SLB) Islam tempatnya mengajar, sekitar separuh siswa memiliki disabilitas majemuk: tunanetra, tuli, tunadaksa, hingga grahita sekaligus. “Isu masa depan mereka belum banyak dibicarakan. Jika orang tua sudah tidak ada, siapa yang akan mendampingi?” tanyanya.
Stigma Sosial dan Peran Ulama
Pengalaman keluarga disampaikan oleh Majidah, warga Yogyakarta. Ia bercerita tentang anggota keluarganya yang difabel; memiliki keunikan dan kelebihan, namun sering dianggap aib oleh masyarakat. Menurutnya, peran ulama sangat penting dalam mengubah cara pandang jemaah. “Dalam pengajian, kiai lebih didengar. Jika ulama bicara tentang inklusivitas, anak-anak ini bisa tumbuh tanpa rasa minder,” ujarnya.
Pandangan ini diperkuat oleh Mismahasin dari MUI dan FKUB DIY yang menekankan perlunya jejaring dakwah inklusif. Ia mencontohkan pelatihan mubaligah untuk mengajar mengaji bagi tunanetra serta dukungan kelompok difabel di berbagai daerah. Namun, upaya ini masih bersifat sporadis dan membutuhkan penguatan jejaring agar isu fiqih disabilitas menjadi arus utama.
Kebijakan Ada, Implementasi Tertatih
Melalui jajak pendapat interaktif, peserta menilai respons pemerintah terhadap pemenuhan hak disabilitas. Hasilnya beragam, tetapi mayoritas menilai pemerintah “tidak responsif”. Riki Saleh dari Dinas Sosial DIY menjelaskan bahwa kebijakan secara legalitas formal sudah tersedia melalui Perda dan Pergub, termasuk program kabupaten/kota ramah disabilitas. Namun, ia mengakui masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya.
Hal serupa disampaikan oleh Presna yang menilai bahwa kebijakan secara tekstual sudah progresif, tetapi belum sepenuhnya melindungi hak difabel di lapangan. Sementara itu, Irma mengkritik minimnya masjid milik pemerintah yang ramah disabilitas, meski beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) sudah mulai berbenah.
Organisasi Keagamaan dan Fiqih Murunah
Ketika ditanya tentang respons organisasi keagamaan, kritik muncul lebih tajam. Petra dari jejaring pesantren menyebutkan masih banyak pesantren yang menolak santri difabel karena dianggap mahal dan rumit. “Padahal, asalkan mau belajar, aksesibilitas tidak selalu mahal,” sanggah Nuning.
Marzuki Wahid mengingatkan perlunya mengkritisi dikotomi “normal” dan “tidak normal” dalam wacana keagamaan. Perspektif inilah yang kemudian mengarah pada pentingnya fiqih murunah—fiqih yang lentur, kontekstual, dan berpihak pada pengalaman difabel.
Agenda Mendesak Ulama Perempuan
Lokakarya ini merumuskan sejumlah agenda mendesak bagi ulama perempuan: rumah ibadah ramah disabilitas, modul dakwah inklusif, pelatihan bahasa isyarat, hingga pengembangan fiqih disabilitas yang mencakup aspek ibadah, reproduksi, munakahat (pernikahan), muamalah, waris, dan kepemimpinan perempuan disabilitas.
Isu kekerasan seksual terhadap difabel juga menjadi perhatian serius, sebagaimana disampaikan oleh perwakilan Fatayat dan Solidaritas Perempuan. Kerentanan berlapis sebagai perempuan sekaligus difabel menuntut pendampingan yang sensitif dan berperspektif keadilan.
Menutup forum, Marzuki Wahid menegaskan bahwa perjuangan ini adalah proses panjang. “Yang kita lakukan hari ini adalah membedah kekurangan agar bisa merumuskan solusi bersama,” ujarnya. Lokakarya ini bukanlah akhir, melainkan langkah awal menuju keulamaan yang benar-benar memanusiakan penyandang disabilitas secara utuh. [] (ZA)
Editor: Andrianor











Leave a Reply