Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

ISFORB dalam 7th Conference on Human Rights 2024

Konferensi hak asasi manusia tahun 2024 diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Tahun ini The Conference on Human Rights telah memasuki edisi ke tujuh dan mengusung tema “7th Conference on Human Rights: Human Rights and Sustainable Development in Asia and the Pacific”. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ISFORB mengelola panel agama dan hak asasi manusia (religion and human rights) pada konferensi hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh Universitas Jember dan Universitas Sidney. Khusus untuk tahun ini, ISFORB tidak hanya mengelola panel agama dan hak asasi manusia, tetapi juga mengelola diskusi publik dengan tema “KUA untuk semua Agama: Keterbukaan atau intervensi?”.

Pada konferensi tahun 2024, ISFORB memberikan bantuan perjalanan dan penginapan bagi 10 orang alumni Felloship KBB. Para penerima bantuan tahun ini dipilih berdasarkan hasil seleski makalah yang akan dipresentasikan pada konferesni hak asasi manusia di Malang pada tanggal 28-29 Agustus. Tema-tema yang di presentasikan oleh penerima bantuan ISFORB secara umum berhubungan dengan isu-isu kebebasan beragama atau berkeyakinan. Panel ini mempertemukan para akademisi dari berbagai universitas, baik dari Indonesia maupun luar Indonesia untuk mengeksplorasi hubungan yang rumit antara agama, hak asasi manusia, dan pelaksanaan hukum di berbagai wilayah.

Zulfan Taufik dari Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi meneliti fenomena aktivisme digital pemuda lintas agama dan mengaitkannya dengan kebebasan beragama di Sumatera Barat. Penelitiannya berfokus pada upaya kelompok pemuda lintas agama, dalam memanfaatkan platform daring untuk mempromosikan kebebasan beragama di wilayah yang memiliki pengaruh Islam yang kuat. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian Taufik menemukan adanya peran platform media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok dalam membentuk wacana publik tentang kebebasan beragama, menawarkan peluang dan hambatan untuk dialog dan advokasi lintas agama di Sumatera Barat.

Makalah Cholida Hanum dari UIN Salatiga dan Tri Wibowo dari UIN KH. Saifuddin Zuhri membahas masalah Undang-undang penodaan Agama di Indonesia yang berimplikasi pada diskriminasi terhadap perempuan. Hanum dan Wibowo menggunakan pendekatan hukum normatif untuk memeriksa peristiwa tuduhan penodaan agama yang digunakan secara tidak proporsional terhadap perempuan, terutama mereka yang berasal dari agama minoritas. Mereka melihat adanya kerentanan ganda yang dihadapi oleh perempuan yang terpinggirkan baik karena jenis kelamin maupun afiliasi agama. Hanum dan Wibowo berargumen bahwa kerangka hukum saat ini, termasuk KUHP yang baru saja disahkan, melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dengan kedok melindungi sentimen agama, dan menyerukan reformasi hukum yang mendesak untuk mengatasi ketidakadilan sistemik ini.

Djunawir Syafar dari IAIN Sultan Amai Gorontalo menyoroti bagaimana sekolah dapat menciptakan lingkungan inklusif yang menghormati hak-hak beragama semua siswa disebuah sekolah di Gorontalo. Melalui metode observasi, dokumentasi, wawancara, dan tinjauan literatur, Syafar menunjukkan bahwa kebijakan internal sekolah yang berakar pada hak asasi manusia secara efektif membantu pemenuhan hak pendidikan agama siswa dari berbagai latar belakang agama.

Destriana Saraswati mengeksplorasi proses advokasi kebebasan beragama di Indonesia. Melalui studi kasus terhadap advokasi yang dilakukan oleh Jaringan Gusdurian di Jawa Timur, makalah Saraswati menggambarkan kompleksitas keterlibatan negara dan aktivisme organisasi sosial ketika proses advokasi konflik agama sedang dilakukan. Meski begitu, penelitian Saraswati menyoroti upaya advokasi yang berhasil dilakukan oleh kelompok Gusdurian, dalam konflik atas penggunaan sebuah kapel yang telah dilarang oleh pemerintah setempat. Saraswati menggarisbawahi potensi advokasi non-litigasi untuk mengatasi pembatasan yang diberlakukan negara terhadap praktik-praktik keagamaan, dan memberikan model bagi upaya serupa di wilayah lain.

Nella Sumika Putri membahas dampak dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap kebebasan beragama, terutama kelompok minoritas. Tulisan Nella fokus pada kriminalisasi pelanggaran-pelanggaran moral seperti perzinahan dan kumpul kebo. Analisisnya memperlihatkan aturan-aturan moralitas yang ada di KUHP berakar pada nilai-nilai agama mayoritas. Karena adanya keadaan tidak proporsional dalam pengaturan masalah moralitas tersebut, berakibat pada kelompok minoritas agama yang praktik dan keyakinannya tidak selaras dengan interpretasi moralitas arus utama agama yang diadopsi dalam KUHP. Putri berpendapat bahwa kerangka hukum ini berisiko semakin meminggirkan kelompok-kelompok minoritas dan menyerukan pendekatan yang lebih inklusif dalam pembuatan undang-undang yang menghormati sifat pluralistik masyarakat Indonesia.

Muhammad Lutfi Hakim dari IAIN Pontianak meneliti tentang sengketa hak asuh anak yang memiliki orang tua berbeda agama. Lutfi Hakim menggunakan pendekatan sosio-legal untuk menganalisis putusan pengadilan agama sebagai cara memahami proses hakim dalam menafsirkan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak”. Lutfi Hakim menemukan bahwa ketika sengketa perebutan anak terhadi di pengadilan agama, hakim lebih memprioritaskan hak asuh diberikan pada orang tua yang beragama Islam. Jadi, kepentingan terbaik bagi anak tidak dihubungkan atas pilihan seimbang dan setara, melainkan keberpihakan atas latar belakang agama Islam. Dalam studinya, Ia memunculkan pertanyaan penting tentang ketidakberpihakan sistem hukum dan perlunya penafsiran yang lebih seimbang yang benar-benar melayani kepentingan terbaik anak.

Tulisan Efa Ida Amaliyah mengeksplorasi kontroversi seputar mahasiswi bercadar di universitas-universitas di Indonesia. Tulisan Efa fokus pada diskriminasi yang dihadapi oleh para mahasiswi yang memilih untuk mengenakan niqab diruang publik kampus. Melalui pendekatan deskriptif Efa meneliti kebijakan beberapa universitas yang membatasi ekspresi keagamaan mahasiswa. Penelitiannya menyoroti adanya ketegangan antara penertiban pakaian yang dilakukan oleh universitas dengan kebebasan beragama. Efe berargumen bahwa universitas seharusnya melindungi kebebasan berekspresi beragama dan menghindari praktik-praktik diskriminatif yang menstigmatisasi mahasiswa.

Makalah Suhadi Cholil melihat bagaimana wacana kebebasan beragama dan hak asasi manusia didebatkan pada Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959. Melalui pendekatan sejarah dan melihat pada dokumen-dokumen sidang Majelis Konstituante, Suhadi memaparkan secara rinci seputar perdebatan para anggota sidang Majelis Konstituante merumuskan kebebasan beragama dan hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Penelitian Suhadi menawarkan konteks sejarah yang penting dalam memahami perkembangan wacana-wacana kebebasan beragama dan hak asasi manusia di Indonesia. Melalui pendekatan kesejarahan ini, Suhadi melihat wacana-wacana kebebasan beragama dan hak asasi manusia kemudian berimplikasi terhadap situasi kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia saat ini.

Mohd Fadhil membahas promosi hak asasi manusia di ruang publik sekolah di Pontiana. Penelitian Fadhil melihat adanya upaya generai muda di Pontianak untuk mengkampanyekan hak asasi manusia melalui platform toleransi keberagaman. Fadhil melihat adanya fenomena gerakan progresif berkaitan dengan promosi hak asasi manusia yang dilakukan generasi muda di sekolah. Melalui ingatan akan sejarah dan narasi keberagaman, Fadli melihat kampanye hak asasi manusia cukup berhasil mewarnai gerakan toleransi di Pontianak, yang sebelumnya di dominasi oleh kelompok tua yang lebih konservatif dalam melihat wacana toleransi.

Terakhir, Yogi Febriandi dari IAIN Langsa yang melakukan penelitian tentang peran Qanun nomor 4 tahun 2016 dalam melembagakan intoleransi beragama di Aceh. Penelitiannya berfokus pada hambatan hukum dan sosial yang dihadapi oleh kelompok minoritas agama di Aceh, ketika terjadi perselisihan rumah ibadah. Yogi berargumen bahwa keberpihakan negara terhadap agama mayoritas, yang dapat dilihat secara gamblang dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2016 menjadi alasan kuat masyarakat untuk memaksa menutup rumah ibadah minoritas agama.

Keseluruhan makalah yang dipresentasikan ini nantinya akan diterbitkan dalam jurnal yang dikelola oleh ISFORB dan CRCS Universitas Gadjah Mada.