Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

IAKN Manado Gelar Bedah Buku Terbaru Sekber KBB

Peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia, khususnya sejak Reformasi, masih terus terhadi. Secara umum, pelanggaran tersebut biasanya terkait hal pendirian rumah ibadah (antar dan intra agama), pembatasan terhadap kelompok yang disebut aliran sesat, dan kriminalisasi terhadap mereka yang disebut melakukan penodaan agama.

Tiga bentuk pelanggaran tersebut dijelaskan oleh Direktur PUSAD Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, dalam bedah buku Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia: Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum di Aula Utama Institut Agama Kristen Negeri Manado, Rabu, 20 November 2024. Pembicara lainnya adalah Ketua Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado, Ali Amin; Wakil Dekan III Fakultas Teologi IAKN Manado, Natalia Olivia Kusuma Dewi Lahamendu; dan dosen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Edwien Moniaga.

Ihsan menjelaskan akar pelanggaran tersebut pada tegangan isu kebebasan dan kerukunan. “Kecenderungannya jelas, yakni ketegangan antara hak kelompok (kebebasan) dan hak individual (kerukunan). Di UUD, istilah yang muncul justru merdeka,” tuturnya. Ia menegaskan, istilah merdeka tersebut merujuk pada kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut kepercayaannya. Di zaman Orde Baru, paradigma kerukunan dilakukan oleh militer dan tangan besi. Di masa Reformasi, pengelolaannya lebih soft, tetapi masih cenderung melakukan perukunan.

Sebagai penanggap, Ali Amin mempertanyakan pa yang dimaksud kebebasan. “Sepertinya, karena para penulis membayangkan para pembacanya sudah memahami begitu saja arti kebebasan beragama, akhirnya istilah itu malah belum begitu jelas di buku ini,” kata dia. Ia juga menyoroti bagian terakhir buku, tentang perbandingan konsep Nilai Asia yang menjaga komunialitas masyarakat Asia. “Bab terakhir dari buku ini, yang membahas Nilai Asia, terlalu melompat tanpa membahas perbandingan dengan Barat,” ungkapnya.

Natalia menyoroti sisi yang menjadi tantangan dari situasi keberagamaan kita. “Tantangannya adalah menjaga kebebasan dan kerukunan. Secara konseptual, agama dipahami sebagai civil society, yang bisa berkontribusi atau justru melawan konsep kebebasan ini,” ungkapnya. Dalam banyak kasus transmigrasi, tambah dia, kehadiran masyarakat pendatang dipolitisasi menjadi persoalan kebijakan minoritas. “Jadi, kebebasan rentan dibawa ke wacana politik keagamaan,” tambahnya.

Edwin melihat buku ini dari sudut pandanganya sebagai akademisi hukum. “Buku ini adalah penelitian sosiohistoris tentang tiga istilah, yakni Kebebasan Umat Beragama, Kerukunan Umat Beragama, dan Moderasi Beragama. Ketiganya menjadi paradigma,” kata dia. Dalam konteks hukum, ketiganya bergerak dari hukum represif dan hukum responsif. “Peraturan Daerah tentang Mediasi di Bogor merupakan contoh hukum responsif, karena menekankan ide kebebasan dan kerukunan di masyarakat,” ungkap Edwien.