Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Save Aru, Kisah Sukses Gerakan Sosial Lintas Agama dalam Advokasi Lingkungan

Ada banyak gerakan advokasi lingkungan yang berdasarkan motivasi agama, tapi tak banyak yang dirintis dari wilayah konflik. Hal ini yang menjadikan Gerakan Save Aru unik. Diskusi Virtual Bulanan Sekretariat Bersama Koalisi Advokasi KBB Indonesia (Sekber KBB) mengundang sosok penting di balik Save Aru, Pdt. Jacky Manuputty, untuk membagikan pengalamannya dalam diskusi bertajuk Menjaga Lingkungan, Memperkuat Kerukunan: Dari Maluku untuk Indonesia dan Dunia, Jumat, 29 November 2024, di Zoom Meeting.

Selain Jacky, kedua narasumber lainnya adalah Direktur CRCS-UGM Samsul Maarif dan Anggota Sekber KBB, Utami Sandyarani. Acara ini dipandu oleh Alifa Ardhyasavitri dari Sekber KBB.

Dalam pemaparannya, Jacky yang baru saja dilantik menjadi Ketua PGI ini menjelaskan latar konflik di Maluku. “Sejak 1999, dan secara sporadis hingga 2011, konflik antar umat Islam dan Kristen terjadi di maluku dengan pelbagai dinamika, varian, dan dampaknya. Upaya merajut relasi kelompok masyarakat yang terpecah menggunakan seluruh media, pendekatan berbasis budaya, dan melihat apa yang menjadi tantangan bersama untuk dikelola,” kata dia.

Bersama tokoh lain dari kedua agama, ia merintis dialog untuk mengatasi masalah yang ada, mulai dari menghormati kemanusiaan, mempromosikan kritik sosial, dan menguatkan kelompok agama untuk melawan sumber kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan, dan intoleransi. “Inilah dialog kehidupan,” tambahnya.

Dalam konteks Maluku, dialog antaragama berlangsung dalam konteks yang rumit dan sensitif, apalagi jika membicarakan identitas agama. “Kami mencari titik sambung dan titik singgung yang memungkinkan dialog berlangsung.

“Ada identitas kolektif seperti Pela Gandong, tetapi kami juga menghadapi persoalan bersama. Pemuka agama dari para tetua sampai anak muda berjumpa untuk mendalami persoalan bersama pasca konflik,” ungkap Jacky. Kedekatan antar individu mulai terbangun untuk mengelola isu bersama. Mereka juga berefleksi bagaimana agama melihat isu tersebut.

Ketika muncul permintaan advokasi dari Masyarakat Adat Aru, yang lahannya direbut korporasi besar untuk kebun dan pabrik gula, Jacky sudah punya sumber daya. “Dari orang muda yang berprofesi sebagai blogger, musisi, sastrawan, dan penari. Mereka bukan aktivis lingkungan. Namun, kami sadar advokasi saat ini tidak bisa semata-mata mengandalkan aktivis lingkungan,” terang dia.

Mereka mulai bergerak secara kreatif dalam kelompok-kelompok kecil, berdasarkan kemampuan mereka. “Sebagai contoh, para sastrawan menggalang tiga buku puisi untuk Aru, yang ditulis para sastrawan dari Aceh hingga Papua,” ungkapnya.

Kampanye kreatif dan variatif tersebut berhasil menggalang dukungan nasional dan internasional. “Ada studi tentang bagaimana Save Aru sebagai advokasi melalui media sosial bisa berhasil. Ini menjadi kisah sukses pasca konflik, bahkan para penggiatnya bergerak lebih lanjut untuk advokasi yang lain. Mereka bergerak secara lintas agama tanpa harus mempertanyakan keyakinan satu sama lain,” pungkasnya.

Narasumber lain, Samsul Maarif yang akrab disapa Anchu, menjelaskan perspektif interseksionalitas untuk melihat keterkaitan isu Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) dengan hal lain, termasuk lingkungan.

“KBB harus dibaca sebagai perspektif dekolonisasi, ketika terdapat struktur dunia yang tidak adil. Industrialisasi memisahkan manusia dari alam, di mana alam menjadi objek kekuasaan dan penguasaan. Pembedaan ini menciptakan peradaban tinggi dan peradaban rendah, di mana peradaban tinggi dijustifikasi oleh sains yang benar sementara peradaban rendah disebut sains yang salah,” terang Anchu.

Konstruksi tentang peradaban tinggi itu kemudian membentuk paradigma agama dunia, di mana konsep agama di sana merujuk pada sebentuk politik pengelolaan agama yang mendukung klaim-klaim struktur kolonial itu. Alternatifnya, bagi Anchu, adalah paradigma agama leluhur, di mana relasi manusia dan alam adalah relasi antar subjek.

“Dalam perspektif ini, semua subjek berkontribusi pada kosmos (keteraturan) secara bersama-sama. Inilah bentuk dekolonisasi yang menjadi agenda untuk menolak reproduksi patriarki, ageisme, rasisme, dan pemisahan manusia dan alam. Dalam konteks Aru, panggilan bekerja sama mempertahankan lingkungan menunjukkan bagaimana beragama adalah berekologi. Praktik ritual beragama adalah bagian dari melindungi alam,” ungkapanya.

Dari sudut pandang anak muda, Utami Sandyarani yang akrab disapa Tami menjelaskan, isu krisis iklum bisa berdampak ke banyak hal. “Efek krisis iklim bisa berdampak pada isu kemiskinan, pluralisme, disabilitas, dan gender, karena kelompok lemah akan menjadi yang paling terdampak ketika harus mengakses sumber kehidupan,” ungkap Tami.

Tami menyoroti banyaknya gerakan perdamaian di dunia dan Indonesia digerakkan oleh semangat keagamaan. “Dalam Konferensi KBB 2023, kita sepakat gerakan KBB perlu terlibat dalam gerakan lingkungan,” ujarnya. Beberapa literatur pun menunjukkan gerakan lingkungan anak muda dan faktor-faktor yang menentukannya.

“Pertama, faktor individu seperti minat, kesempatan, dan keterpanggilan. Kedua, faktor interaksi sosial di mana terdapat komunitas dan sosok panutan yang bekerja dalam panjang. Ketiga, inklusivitas dan ruang aman untuk mengekspresikan pandangan mereka,” terang dia. Tami lantas memproyeksikan ketiganya dalam konteks Save Aru.

“Agama punya kekuatan non material yang memberi dasar moral, memicu dan memotivasi anak muda untuk peduli pada lingkungan. Interaksi sosial terjadi pada gerakan keagamaan, terutama dalam ibadah berjamaah dan ceramah. Inklusivitas juga terjadi karena mempertemukan anak muda lintas agama yang berbeda agama,” kata Tami. Agama, dalam kasus Save Aru, meningkatkan keterhubungan spasial. “Isu lingkungan terjadi di wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan dan agama bisa menggalang dukungan,” pungkasnya.