Penulis: Ahsan Jamet Hamidi | Anggota Dewan Pengarah Sekber KBB
Dalam sebuah grup WhatsApp, ada seseorang yang gemar memposting video atau tulisan yang menurutnya adalah usaha dakwah untuk menegakkan kebenaran dan meniadakan kemungkaran. Penyebaran copas-an itu diakui sebagai jihad melalui media sosial menurut versinya. Konten video dan narasi yang disebarkan terkadang sangat provokatif. Isinya berupa ajakan untuk kembali pada pemurnian agama, mengikuti tuntunan dan praktik keagamaan persis seperti yang dulu dilakukan oleh Nabi.
Ajakan kembali pada kemurnian tersebut terkadang dikemas dengan kurang cermat. Ada ketidaksesuaian antara ucapan yang disampaikan oleh sang aktor dalam video dengan narasi yang ditulisnya. Mungkin, pilihan itu sengaja dilakukan agar apa yang ia sebarkan menarik perhatian orang lain. Pilihan hurufnya berkapital, dengan warna terang dan mencolok.
Bagi pengguna media sosial, sebaran secara masif konten-konten seperti itu akan direspons secara beragam. Ada yang penasaran dengan isinya, lalu membukanya, kemudian baru bersikap—bisa percaya, bisa sebaliknya. Ada juga yang langsung tidak percaya dan langsung menghapusnya.
Konten narasi tulisan dan video yang disebarkan berisi ajakan agar umat Islam menjauhi praktik ibadah yang dinilai tidak murni, seperti yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Nabi. Misalnya, ajaran tentang beribadah lebih intens di bulan Sya’ban. Pada bulan persiapan Ramadhan ini, umat Muslim dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah untuk menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih dan siap secara spiritual. Keyakinan akan ajaran itu tidak berlaku secara umum. Ada juga yang menganggap bahwa ajaran itu adalah perbuatan yang sebenarnya tidak meneladani Nabi secara utuh.
Salah satu ciri kelompok ini adalah kerap menyebarkan pesan yang isinya menyalah-nyalahkan praktik ibadah yang dilakukan oleh orang lain. Mereka mendasarkan sikapnya pada dalil-dalil kitab suci. Pastinya, mereka telah merasa paling benar, paling murni, dan pemahaman keagamaannya dikesankan sebagai yang paling sesuai dengan praktik dan ajaran Nabi. Praktik ibadah orang lain yang tidak sesuai dengan diri dan kelompoknya akan dianggap sesat, tidak sesuai dengan perbuatan atau perkataan yang pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi.
Saya memprotes perilaku kawan di grup WA tersebut. Hemat saya, perilaku menyalah-nyalahkan itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu relasi persaudaraan dalam beragama. Saya memintanya untuk lebih bijaksana, melihat dengan cermat substansi dan efek yang ditimbulkan dari praktik dan perilaku orang yang dia persalahkan. Adakah keburukan dari praktik ibadah mereka? Adakah kerugian dan rasa tidak nyaman yang ditimbulkannya pada lingkungan sekitar? Menggunakan parameter gangguan itu, tolong dipertimbangkan dalam menilai praktik ibadah orang lain.
Saya tidak menggunakan parameter dalil agama yang orientasinya pada salah dan benar, halal dan haram. Mengapa begitu? Karena perdebatan soal itu tidak akan pernah ada habisnya. Meskipun demikian, ada rasa tidak nyaman dan sangat mengganggu yang langsung bisa dirasakan sebagai reaksi atas postingan dan sikap yang disebarkan oleh mereka yang sudah merasa paling benar itu.
Lalu apa yang terjadi? Saya dicap sebagai pribadi yang melawan ajaran tentang prinsip agama, yaitu “amar ma’ruf nahyi munkar” (perintah untuk menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan). Saya bertanya ulang, jika seseorang sudah bertekad menegakkan prinsip itu, lantas bolehkah menggunakan segala cara, termasuk menyalah-nyalahkan, meski hal itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain? Menurut mereka, prinsip beragama itu harus hitam-putih, tidak ada tawar-menawar, kebenaran harus disampaikan dengan cara dan dalam situasi apapun. Saya diam, menghargai pendapatnya.
Kembali Pada Hakikat
Saya menghormati gerakan mereka dalam dakwah untuk pemurnian agama seperti yang digelorakan oleh kawan di grup WhatsApp tersebut. Di dalam sebuah komunitas, wajar jika seseorang harus membangun eksistensi dirinya, salah satu caranya dengan memposting hal-hal seperti itu. Saya menoleransi sikap mereka yang merasa sudah sangat yakin bahwa pemahaman keagamaan merekalah yang paling benar, sesuai dengan perilaku dan ajaran Nabi.
Saya memaklumi ketika mereka merasa paling sahih di antara sekian banyak varian pemahaman keagamaan yang beragam. Namun demikian, ekspresi keyakinan itu akan menjadi masalah ketika mereka sampaikan dengan sikap menyalahkan pemahaman, keyakinan, dan praktik keagamaan orang lain yang tidak seirama dengan mereka.
Hemat saya, ketika ada orang yang merasa tidak nyaman karena telah disalah-salahkan, bukan berarti ia sedang melawan kebenaran mutlak sesuai dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Mengapa tuduhan itu tidak selalu bisa dibenarkan? Karena praktik keagamaan orang yang dipersalahkan itu juga memiliki dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Untuk menakar kebenarannya, tentu tidak bisa dilakukan secara hitam-putih, menurut ukuran pemahaman dirinya saja.
Semoga praduga saya tidak keliru, bahwa praktik keagamaan umat Islam yang hidup di zaman ini sejatinya hanyalah meniru praktik keagamaan orang lain. Orang lain itu pun juga meniru generasi sebelumnya yang terus bermuara pada sahabat Nabi dan Nabi sendiri. Masalahnya, praktik ibadah para sahabat dan Nabi itu sudah berlangsung selama ribuan tahun lalu.
Siapakah yang paling tahu akan keotentikan sebuah ajaran agama? Semua mendaku paling murni, paling otentik, dan paling benar, sesuai dasar hukum agamanya masing-masing. Lalu, siapakah sejatinya yang paling berhak menjadi hakim yang bisa memutuskan kebenaran secara mutlak atas berbagai klaim kebenaran tersebut?
Jangan-jangan, kebenaran dari praktik peribadatan yang saya jalani selama ini baru sampai pada tingkat merasa atau paling tinggi meyakini bahwa itu sudah benar. Kebenaran paling mutlak akan diputuskan oleh Allah, sebagai hakim yang Maha Adil di kehidupan akhirat nanti. Di dunia ini, saya hanya sebatas merasa, meyakini, dan berharap bahwa praktik keagamaan yang saya lakukan selama ini bisa sesuai dengan kehendak dan ridho Allah.
Sikap dan perasaan ini terus saya pelihara sebagai peneguhan bahwa saya hanyalah makhluk Allah dengan tingkat pengetahuan yang sangat terbatas. Untuk itu, rasanya malu jika harus merasa paling benar, lalu menyalah-nyalahkan orang lain.
Semoga orientasi keagamaan saya tidak bertujuan untuk menyalah-nyalahkan orang yang memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yang berbeda dengan saya. Menghormati segala perbedaan praktik peribadatan yang dilakukan dengan beragam cara oleh umat Islam adalah keniscayaan. Mempraktikkan prinsip “amar ma’ruf nahyi munkar” (perintah untuk menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan) bisa dilakukan secara proporsional, dalam artian tetap harus menggunakan tata krama sehingga substansinya tersampaikan dan orang lain tidak tersinggung.
Hemat saya, kebajikan ajaran agama haruslah dipraktikkan dan disyiarkan dengan cara yang baik dan bijak sehingga mampu menumbuhkan kemaslahatan bagi kehidupan bersama yang sarat dengan perbedaan.
Leave a Reply