Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Urgensi Revisi Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tempat Ibadah di Aceh

Sumber: Wikipedia

Penulis: Yogi Febriandi (Ketua Gusdurian Aceh dan anggota ISFoRB)

Setelah 10 tahun pelaksanaan Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tempat Ibadah, muncul wacana untuk mengevaluasi sejumlah pasal di dalamnya. Wacana ini berasal dari KontraS Aceh dan didukung oleh FKUB Provinsi Aceh. Fokus utama evaluasi terletak pada pasal-pasal yang mengatur wewenang FKUB dan perizinan tempat ibadah, yang masih mengandung ambiguitas.

Qanun ini bertujuan untuk menjaga keteraturan, kenyamanan, serta kerukunan umat beragama dalam menjalankan ibadah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1. Namun, seperti halnya aturan lain yang tidak memiliki penjelasan konkret dan rinci, pelaksanaannya justru tidak sejalan dengan tujuan awal.

Mengutip dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun oleh KontraS Aceh, beberapa pasal bermasalah antara lain Pasal 1 yang tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan “ketertiban umum”; Pasal 13 dan 14 yang masih ambigu dalam mengatur syarat administratif dan teknis; serta Pasal 19 yang mengecualikan umat Islam dari persyaratan pendirian tempat ibadah—ketentuan yang dinilai diskriminatif dan mencederai prinsip kesetaraan dalam kebijakan publik. Pasal 26, yang mengatur penyelesaian perselisihan melalui musyawarah masyarakat, juga tidak dilengkapi mekanisme atau prosedur yang jelas, sehingga membuka ruang ketidakpastian dan ketidakadilan dalam penyelesaian konflik.

Favoritisme Negara

Selain permasalahan pasal-pasal di atas, terdapat isu lain terkait favoritisme negara terhadap agama tertentu, serta ketidaksesuaian antara perlindungan tempat ibadah dalam Qanun dan KUHP 2023.

Favoritisme negara tercermin secara eksplisit dalam bagian penjelasan Qanun yang menyatakan bahwa tujuan pengaturan tempat ibadah adalah untuk “menjaga toleransi” serta “mengawasi penyiaran agama” tanpa izin pemerintah. Pernyataan semacam ini menunjukkan bahwa aspek kerukunan dan ketertiban lebih diutamakan dibandingkan pengakuan dan perlindungan atas hak dasar individu, yaitu kebebasan beragama—termasuk hak mendirikan tempat ibadah tanpa diskriminasi.

Sebagaimana diketahui, konstruksi pemerintahan di Aceh berbasis pada syariat Islam, yang memengaruhi cara pandang terhadap hak beragama dan peran negara dalam menjaminnya. Hal ini tampak jelas dalam penjelasan umum Qanun, yang mengklasifikasikan agama mayoritas dan minoritas sebagai kerangka pelayanan akses tempat ibadah.

Penjelasan Qanun juga menekankan pendekatan berbasis “kerukunan”. Konsekuensinya, pembatasan hak beragama terhadap kelompok minoritas kerap dibenarkan atas nama menjaga kerukunan dan menghindari konflik sosial.

Pendekatan ini juga terlihat pada Pasal 19, yang mengecualikan umat Islam dari syarat administratif dalam pendirian tempat ibadah. Selain tidak seimbang, pasal ini juga tidak jelas dalam implementasi. Kasus Masjid Muhammadiyah di Sangso, Bireuen, menjadi contoh nyata bagaimana ketentuan ini bermasalah di lapangan.

Padahal, prinsip kesetaraan menuntut agar negara menjadi penjamin keadilan dan pelindung hak setiap warga negara, bukan aktor yang memperkuat dominasi kelompok mayoritas.

Perlunya Sinkronisasi dengan KUHP

Selain masalah substansi, Qanun Nomor 4 Tahun 2016 perlu disinkronkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Dalam KUHP baru, terdapat dua pasal yang melindungi hak beribadah: Pasal 302, yang melarang upaya menghalangi seseorang beribadah; dan Pasal 303, yang melarang perusakan atau pemusnahan tempat ibadah.

Perbedaan mendasar antara Qanun dan KUHP terletak pada pendekatan normatif. Qanun memandang tempat ibadah melalui kacamata kerukunan sosial, sementara KUHP menempatkan kebebasan beragama sebagai hak individu yang wajib dilindungi secara aktif oleh negara. Perbedaan ini berdampak praktis terhadap penanganan konflik keagamaan.

Qanun hanya menyebut “perselisihan” dalam konteks pendirian tempat ibadah, seolah-olah keberadaan tempat ibadah harus tunduk pada persepsi masyarakat lokal. Pendekatan ini rawan disalahgunakan oleh kelompok mayoritas untuk menekan hak kelompok minoritas atas nama “ketidakharmonisan”, meski tanpa pelanggaran hukum.

Sebaliknya, KUHP memberikan perlindungan eksplisit terhadap individu dan tempat ibadah. Pasal 302 dan 303 mengenakan sanksi pidana terhadap siapa pun yang menghalangi kegiatan peribadatan atau merusak tempat ibadah. Ini mencerminkan komitmen negara terhadap hak asasi manusia.

Tanpa sinkronisasi antara Qanun dan KUHP, akan muncul dilema normatif dan praktis. Bayangkan sebuah tempat ibadah belum memenuhi syarat administratif menurut Qanun, namun sedang digunakan untuk ibadah. Jika terjadi serangan yang menyebabkan kerusakan atau penganut tidak dapat beribadah, pelaku dapat dipidana berdasarkan KUHP. Unsur pidana Pasal 302 dan 303 tetap terpenuhi, tanpa perlu mempertimbangkan legalitas bangunannya. Masalah izin adalah tanggung jawab negara, bukan justifikasi untuk kekerasan.

Qanun menyarankan penyelesaian secara musyawarah (Pasal 26), namun KUHP secara tegas menyebut tindakan kekerasan sebagai tindak pidana. Ketidakhadiran koordinasi antara kedua kerangka hukum ini menciptakan inkonsistensi dalam penegakan hukum.

Penutup

Evaluasi terhadap Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tidak cukup hanya meninjau aspek prosedural dan administratif. Revisi juga harus menyentuh aspek substansial dan sinkronisasi dengan KUHP. Langkah ini penting untuk menciptakan kebijakan pengaturan tempat ibadah yang lebih adil, akomodatif, dan tidak menimbulkan tumpang tindih atau ketimpangan implementasi di Aceh.