Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Membela Kebebasan di Indonesia: Belajar dari YLBHI sebagai Poros Gerakan Sosial

Pada Jumat (25/7), Sekretariat Bersama (Sekber) Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) kembali menggelar diskusi bulanan virtual bertajuk “Membela Kebebasan di Indonesia: Belajar dari Pengalaman YLBHI.”

Diskusi ini menghadirkan empat narasumber utama: Tim Mann, penulis buku Defending Legal Freedoms in Indonesia; Heri Pramono dari LBH Bandung; Fitria Sumarni dari Divisi Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia; serta sambutan pembuka oleh Pratiwi Febri dari YLBHI. Diskusi dipandu olehAlifa Ardhyasavitri dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube PUSAD Paramadina.

Membaca YLBHI Lewat Lensa Cause Lawyering

Tim Mann memaparkan hasil risetnya dalam buku Defending Legal Freedoms in Indonesia, yang menelusuri evolusi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pasca-1998. Ia menyebut bahwa LBH dapat dipahami melalui konsep cause lawyering—penggunaan hukum untuk mendorong perubahan sosial, bukan sekadar menjalankan praktik hukum formal. “Kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat dilihat sebagai cause atau tujuan dalam konsep cause lawyering,” ujar Tim.

Menurut Tim, berbagai faktor struktural mendukung strategi cause lawyering LBH, seperti jaminan HAM dalam konstitusi, pembentukan Mahkamah Konstitusi, independensi pengadilan, dan kebebasan pers. Namun, LBH sempat mengalami krisis pasca-Reformasi: “krisis identitas (antara berkolaborasi dengan negara atau tetap di posisi bersebrangan), funding yang menipis, perkembangan masyarakat sipil (lahir CSO CSO baru), serta konflik kepemimpinan dan kelemahan dalam manajemen organisasi.”

Meski sempat berupaya mengambil strategi keterlibatan dengan negara, misalnya dengan mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum dan bekerja sama dengan kepolisian, strategi ini dinilai tidak memuaskan karena “kegagalan reformasi di kepolisian.” Tim menyimpulkan, “LBH perlu kembali ke strategi cause lawyering seperti pada masa Orde Baru dengan memperkuat pendekatan oposisi serta fokus pada pengorganisasian dan pemberdayaan hukum masyarakat.”

Data dan Strategi LBH Bandung

Heri Pramono dari LBH Bandung menambahkan dimensi empiris dari lapangan. Selama tujuh tahun terakhir (2018–2025), LBH Bandung mencatat berbagai kasus pelanggaran KBB. “Dari tahun 2018–2019, penolakan secara intens dilakukan oleh ormas-ormas,” jelas Heri. Namun, sejak 2020, pelanggaran lebih banyak dilakukan oleh negara. “Berlanjut pada tahun 2021–2025, tindak pelanggaran KBB justru lebih intens dilakukan oleh perangkat-perangkat negara seperti kepala daerah hingga lembaga negara.”

Ia juga menyoroti regulasi diskriminatif yang masih berlaku seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006, serta Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011. Menurutnya, “UU ITE” juga turut memperburuk situasi kebebasan beragama, terutama dalam konteks digital.

Adapun strategi yang digunakan LBH Bandung antara lain: “peningkatan kesadaran, ajang pendidikan hukum kritis bagi masyarakat, mengangkat wacana, membangun koalisi, memberi tekanan pada perubahan hukum dan sosial, serta memberdayakan masyarakat.”

Perspektif Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Fitria Sumarni dari JAI membandingkan konsep public interest lawyer dan cause lawyer. Jika yang pertama menekankan kepentingan publik umum, maka yang kedua “menekankan juga keberpihakan pada komitmen moral dan politik para cause lawyer untuk memihak kelompok yang termarjinalkan menggunakan strategi hukum yang mendorong perubahan sosial.”

YLBHI, menurut Fitria, telah menempuh jalan panjang mendampingi JAI. Ia menjelaskan, “YLBHI hadir ketika JAI menggugat ketidakadilan dan aturan-aturan yang membatasi dari pemerintah dan ormas serta menjadi teman seperjuangan dalam hal pernyataan solidaritas dan advokasi publik, perlindungan hak beragama, koalisi advokasi KBB, serta edukasi hukum dan pemberdayaan komunitas.”

Baginya, kerja advokasi LBH adalah “bentuk kerja kemanusiaan.” Ia menegaskan: “Kehadiran LBH pada korban-korban diskriminasi tidak hanya mengadvokasi namun sebagai saudara yang turut membersamai. Ini memberikan kekuatan moral yang luar biasa serta sebagai bekal untuk terus berjuang dalam ruang demokrasi yang terkadang masih terasa sempit.”

Fitria merinci sejumlah pelajaran baik dari kiprah YLBHI:

  • Konsistensi dalam strategi cause lawyering
  • Tidak terpaku pada litigasi, tetapi aktif membangun narasi publik dan memberdayakan komunitas
  • Komitmen dan keberanian menghadapi tekanan publik dan ancaman keamanan
  • Membangun koalisi dan kolaborasi
  • Mengajak komunitas sebagai subjek aktif
  • Kaderisasi yang melahirkan aktor-aktor penting dalam gerakan hukum dan HAM

Namun ia juga mencatat pelajaran buruk: “Realistis bahwa hukum terutama litigasi bukan satu-satunya jalan. Banyak contoh gugatan ditolak, putusan tidak berpihak, dan kasus-kasus terabaikan.” Selain itu, LBH “distigma dan menjadi target tindak kekerasan dan kriminalisasi,” serta “kehilangan dukungan mayoritas ketika pembelaan berbenturan dengan arus utama atau ketika narasi tidak populer.” Di atas semua itu, tantangan advokasi jangka panjang adalah “pendanaan dan sumber daya.”

Membangun Gerakan Sosial Lintas Strategi

Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya melihat advokasi HAM dan KBB sebagai gerakan sosial yang melintasi batas antara hukum dan politik, negara dan masyarakat. Seperti ditegaskan Tim Mann, “Kasus YLBHI juga menunjukkan bahwa litigasi saja sebagai bentuk advokasi tidak akan cukup. Litigasi perlu dikombinasikan dengan pengorganisasian masyarakat, pembangunan koalisi yang beragam, aksi massa, kampanye media, dan seterusnya.”

Koalisi Advokasi KBB dan para narasumber sepakat: dalam situasi demokrasi yang makin sempit, kerja-kerja pembelaan hak-hak dasar harus kembali membumi di komunitas, menyatu dalam gerakan, dan berdiri teguh pada keberpihakan. YLBHI, dengan segala dinamika sejarahnya, menjadi contoh hidup tentang bagaimana strategi hukum dapat menyatu dalam kerja politik kemanusiaan.