Oleh: Ahsan Jamet Hamidi (Anggota Dewan Pengarah Sekber KBB)
Satu tahun lalu, para pegiat isu kebebasan beragama dan berkeyakinan bertemu di Wisma PGI, Cisarua, Bogor. Tidak ada yang terlalu istimewa dalam pertemuan rutin tahunan itu, mengingat pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan juga rutin terjadi setiap tahun.
Selalu ada yang baru dalam setiap pertemuan—mulai dari cerita tentang pola pelanggaran dan penanganan kasus oleh negara, identitas pelaku, hingga motif pelanggaran yang disampaikan oleh pelaku, serta analisis tentang keterkaitan antara isu pelanggaran KBB dengan peristiwa politik lain yang sedang menyertainya.
Hemat saya, peristiwa pelanggaran KBB itu tidak selalu berdiri sendiri. Ada saja keterhubungan dengan peristiwa lain yang menyertainya. Oleh karena itu, para pelaku pelanggaran KBB acap mengalihkan motif tindakan sebenarnya dengan pernyataan-pernyataan heroik, bertindak seolah-olah untuk menegakkan hukum, menyelamatkan akidah, dan banyak slogan mulia lainnya. Meskipun motif yang disembunyikan itu mudah dibaca, namun sulit untuk dibuktikan. Sehingga, tidak jarang jika temuan itu sering diabaikan oleh mereka yang berwenang menangani perkara.
Pertemuan tahunan seperti ini efektif sebagai medium untuk menumpahkan kegelisahan, berbagi cerita, pengalaman, serta kepedihan dan kejengkelan. Tidak berhenti pada ajang bercerita, tetapi juga pada aksi dalam merumuskan strategi dan tindakan bersama ke depan.
Ada dinamika yang berbeda dalam setiap pertemuan, namun saya memahami ketika ada peserta yang marah atau frustrasi, karena apa yang selama ini diperjuangkan bersama kawan-kawan lain seolah berjalan di tempat. Toh, pelanggaran KBB itu terus terjadi. Ia hanya berpindah tempat, meskipun rupa dan modusnya tetap sama. Hal yang paling menyesakkan dada adalah ketika peristiwa nyata yang terjadi di depan mata dibiarkan. Para pihak yang seharusnya mampu bergerak untuk mencegah dan menindak pelaku, ternyata berlaku sebaliknya. Mereka terkadang diam, membiarkan tindakan kecil hingga membesar dan merugikan banyak korban.
Apa yang bisa lebih dilakukan oleh Sekretariat Bersama Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan? Seolah apa yang kita perjuangkan selama ini seperti “menggarami air laut”: tidak berbekas dan tidak tampak hasil konkret-nya. Tanya seorang teman yang belum banyak tahu soal Sekber KBB.
Saya mengajaknya untuk melihat realitas tentang isu lain yang nasibnya kurang lebih sama. Sama-sama diperjuangkan oleh masyarakat sipil secara serius, namun hasilnya juga kurang lebih sama—seolah jalan di tempat.
Misalnya, perjuangan WALHI yang sudah dibangun sejak tahun 1981. WALHI begitu keras memperjuangkan advokasi untuk kelestarian lingkungan di Indonesia dengan berbagai cara. Perjuangan yang sudah berlangsung lebih dari 44 tahun itu, bisa menghasilkan apa? Kerusakan lingkungan masih berjalan dengan semakin ganas.
Bagi saya, pertanyaan serampangan itu diajukan seolah tanpa beban: menggampangkan persoalan, minus penghargaan, sekaligus mengabaikan proses perjuangan yang dilakukan oleh orang lain. Lumrah jika terasa menjengkelkan.
Pertanyaan serupa juga sering disampaikan kepada para pegiat di LBH-LBH yang selama ini gigih memperjuangkan pembelaan hukum terhadap warga miskin teraniaya. Tidak kalah menyakitkan juga pada ICW yang tercatat sangat keras memperjuangkan gerakan antikorupsi. Apa hasilnya? Korupsi oleh pejabat negara terus terjadi, bukan?
Saya tidak akan melarang orang lain untuk bertanya demikian. Sesinis apa pun, harus saya terima. Tetapi, ada hal yang meringankan saya untuk mengabaikan pertanyaan sinis seperti itu. Salah satunya adalah bahwa WALHI, ICW, LBH adalah lembaga independen yang selama ini tidak didukung oleh uang yang diperoleh dari pajak si penanya.
Kembali pada isu tentang tetap suburnya pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Saya memahami, meskipun tidak mentoleransi setiap pelanggaran yang terjadi. Saya menganalogikan dengan lembaga kepolisian, yang masih tetap didukung oleh negara meskipun kejahatan akan terus menerus terjadi. Apakah kehadiran polisi lantas membuat kejahatan berada pada titik nol?
Sekber KBB bukan seperti lembaga kepolisian yang selama ini didukung penuh oleh anggaran belanja negara. Pegawainya digaji, fasilitas operasional diberikan, jaminan kesehatan dan kebutuhan keluarga dipenuhi, bahkan jaminan pensiun di hari tua pun disediakan.
Menuntut Sekber KBB untuk bertindak lebih dari apa yang bisa dilakukan selama ini—apalagi jika berharap menihilkan adanya praktik pelanggaran KBB—adalah harapan yang berlebihan.
Hemat saya, dalam konteks advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, arena perjuangan Sekber KBB adalah pada wilayah pencegahan. Itu berlaku pada ranah edukasi, promosi, pendokumentasian kasus yang dengan itu harapannya bisa tumbuh kesadaran dan sikap kritis warga. Dengan upaya itu, maka sikap toleran, saling menghargai, dan menerima perbedaan dengan lapang antar sesama dapat tumbuh, sehingga proses terwujudnya kemaslahatan hidup bersama bisa dipenuhi.
Mengonsolidasikan para aktor yang selama ini aktif memperjuangkan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi perhatian Sekber KBB. Upaya lain yang terus diusahakan adalah membuka dialog untuk mendorong aparatur negara agar lebih aktif dalam menjalankan perannya dalam mencegah dan menindak pelaku pelanggaran KBB.
Hanya sebatas itu? Tidak juga sesederhana itu dong pertanyaannya. Seolah apa yang sudah dilakukan selama ini ringan sekali.
Apa yang telah diperjuangkan bersama selama ini adalah bentuk konkret dari ketersediaan sumber daya yang ada.
Sebelum mengajukan pertanyaan simpel seperti itu, lebih baik saya akan bertanya: bagaimana Sekber KBB menemukan sumber daya untuk menjalankan seluruh kegiatan yang selama ini dilakukan? Kontribusi apa yang bisa saya berikan agar Sekber ini bisa terus bekerja bersama-sama dengan kawan-kawan satu perjuangan?
Jauh dari keinginan untuk menilai keberhasilan ataupun sebaliknya terhadap jalannya misi besar yang diemban oleh Sekber KBB, saya memilih untuk mengapresiasi kawan-kawan yang sehari-hari mengampu tugas di dalam wadah ini secara ikhlas.
Ke depan, mari kita pikirkan bersama agar kinerja Sekber KBB bisa memenuhi harapan baik kita bersama. Pastinya, Sekber KBB bukanlah organ negara yang memiliki kuasa untuk mendapat sumber dana dari mana-mana.
Leave a Reply