Di atas kertas, sejak era demokratisasi 1998 Indonesia bisa dibilang mengalami kemajuan dari sisi instrumen perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari kehadiran tiga dokumen yang dimaksudkan untuk memperkuat jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, seperti TAP MPR No. XVII/MPR/1998; UU No. 39/1999 tentang HAM, dan juga Amandemen UUD 1945.
Namun implementasi hak asasi manusia, termasuk KBB di dalamnya, sepertinya masih harus menempuh jalan terjal. Koalisi Masyarakat Sipil untuk KBB mencatat bahwa regulasi tentang KBB, implementasi perlindungan KBB, dan perspektif gender dalam KBB adalah tiga isu utama yang menghantui jaminan perlindungan atas hak KBB sepanjang 2017-2021. Dalam rentang tahun yang sama, misalnya, terekam sekitar 866 peristiwa pelanggaran KBB baik dalam bentuk pembatasan ruang atau tempat ibadat, ujaran kebencian, dan juga pelaporan atas nama penodaan agama. Tentu saja banyak faktor yang menyumbang saham atas wajah suram KBB ini, salah satunya adalah rendahnya tingkat literasi mengenai KBB.
Pada 27 November 2022, sejumlah akademisi yang terhimpun dalam wadah alumni Fellowship KBB CRCS UGM, mendeklarasikan Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) atau Jaringan Akademisi Indonesia untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. “Kami melihat bahwa ada kekurangan pengetahuan mengenai KBB, baik di tingkat negara maupun masyarakat, bahkan di lingkungan kampus,” ujar Hurriyah merespons rapor merah pelanggaran KBB di Indonesia.
Sebagai gerakan yang lahir dari rahim warga kampus, ISFoRB adalah sebuah terobosan di tengah gerakan Moderasi Beragama (MB) yang digencarkan oleh pemerintah di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Meskipun KBB dan MB punya cita-cita luhur yang sama, sebuah studi yang dilakukan oleh PGI dan ICRS, misalnya, mengungkap potensi terjadinya gesekan antara keduanya. Masih menurut kajian yang sama, minimnya bahasa KBB dalam dokumen-dokumen maupun program-program MB ditengarai bisa memperlemah jaminan dan perlindungan KBB bahkan lebih jauh lagi melahirkan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan pluralisme represif. Dari konteks ini, pemakaian terma KBB dalam penamaan asosiasi ini bisa dipahami sebagai “home ground struggle” dalam memajukan hak-hak pada KBB di dunia kampus.
Pada aras yang lebih luas, ISFoRB turut menandai peran akademisi dalam ruang gerakan pemajuan KBB yang selama ini didominasi oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Kampus bukan lagi sekadar candradimuka yang penghuninya tidak mau peduli dengan kondisi riil yang terjadi di luar. Asosiasi ini turut mengisi perdebatan publik mengenai RKUHP melalui siaran persnya, satu hal yang jarang dilakukan oleh asosiasi-asosiasi berbasis kampus. Menyuarakan KBB di ruang-ruang publik sangat penting sebagai strategi edukasi dan juga upaya memengaruhi kebijakan publik.
Mengingat usianya yang masih seumur jagung, waktu juga yang akan menguji bagaimana peran dan kiprah ISFoRB di masa-masa yang akan datang; seperti kata pepatah, “memelihara dan merawat lebih sulit dari pada membangun.” Kita patut optimis asosiasi ini bisa berbuat banyak dalam memajukan hak-hak KBB di Indonesia, terutama melalui jalur pengajaran dan pendidikan sebagaimana ditekankan dalam Mukadimah DUHAM:
“… Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut..”
Maufur
Anggota Divisi Kerja Sama ISFoRB atau Jaringan Akademisi Indonesia untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan
Leave a Reply