Dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia, Selasa (17/1/2023), Presiden Jokowi mengingatkan para kepala daerah, termasuk bupati dan wali kota, mengenai kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 (2). Secara tidak langsung, pidato Jokowi seolah memberi alarm bagi keberadaan sejumlah peraturan daerah yang memicu persoalan kebebasan beragama di lapangan. “Ada rapat…, sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Hati-hati lho konstitusi kita menjamin itu… Konstitusi kita itu memberikan kebebasan beragama dan beribadah,” ujarnya, sebagaimana dikutip dalam Detiknews, 17/01/2023.
Peringatan Jokowi di atas bukan tanpa dasar. Faktanya, banyak regulasi pemerintah daerah masih menjadi kerikil tajam bagi jaminan kebebasan beragama di lapangan. Laporan Masyarakat Sipil dalam Universal Periodic Review (UPR) Indonesia 2022 menyoroti sejumlah regulasi, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang bertentangan dengan norma-norma hak asasi manusia. Selain bersifat diskriminatif, regulasi-regulasi ini juga turut menyuburkan kebencian terhadap kelompok minoritas, di antaranya Ahmadiyah.
Selang satu bulan dari pidato Jokowi di atas, Bupati Sintang, Jarot Winarno, pada 15 Februari 2023 mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180/0838/KESBANGPOL/2023 tentang Aliran Ahmadiyah. Dengan berpegang pada SKB 3 Menteri tentang Ahamdiyah dan juga Fatwa MUI 2005, Surat Edaran ini mengajak publik agar waspada terhadap aliran ahmadiyah karena ‘sesat dan menyesatkan’. Dalam siaran pers-nya, ISFoRB mendesak pencabutan SE ini karena diskriminatif dan merampas hak kebebasan beragama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Dalam kasus yang lain, Setara Institute mengecam tindakan pembubaran ibadat Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Bandar Lampung pada 12 Februari 2023; ironisnya, aktor utama aksi intoleran ini adalah ketua RT yang seharusnya menjadi pengayom warganya. Melihat waktunya yang tidak berselang lama dari pidato presiden dalam forum Forkopimda di atas, tidak salah jika peristiwa intoleran ini adalah bentuk ‘pembangkangan’ terhadap arahan presiden.
Kebebasan beragama terkait dengan tempat ibadah masih menjadi pekerjaan rumah yang mengharuskan pemerintah lebih serius dalam memberi jaminan kebebasan beragama, mengingat tren pelanggaran dalam ranah mengalami kenaikan signifikan. “Sepanjang tahun 2022, terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan 5 tahun terakhir,” seperti diungkap Syera Anggreini Buntara dalam rilis Laporan Kondisi KBB 2022 oleh Setara Institute.
Kemunculan regulasi-regulasi pemerintah daerah yang diskriminatif menjadi indikator masih minimnya kesadaran pemangku kebijakan mengenai kebebasan beragama sebagai hak yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 (2): “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Parahnya lagi, regulasi-regulasi di tingkat nasional turut memberi amunisi bagi lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif pula seperti nampak dalam SE Bupati Sintang. Maka, arahan presiden Jokowi di atas hanya akan menjadi pepesan kosong tanpa dibarengi upaya untuk merevisi bahkan membatalkan regulasi-regulasi, fatwa-fatwa maupun edaran-edaran yang bertentangan dengan Konstitusi.
Siar kebencian terhadap kelompok minoritas yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui peraturan maupun edaran resmi perlu juga diwaspadai mengingat menguatnya politik identitas menjelang gelaran pemilu 2024. Studi Cherian George tentang pelintiran kebencian (hate spin) menunjukkan bahwa kebencian dan kewaswasan bisa dipakai sebagai senjata politik dan, jika tidak diantisipasi, bisa menggerakkan terjadinya tindakan kekerasan.
Pidato Jokowi patut diapresiasi karena menunjukkan komitmen bagi jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Semoga arahan ini tidak hanya berujung pada tepuk tangan para kepala daerah, tapi juga regulasi maupun edaran yang membuat semua warga, termasuk kelompok minoritas, bisa beribadah dengan nyaman dan tenang tanpa gangguan.[]
Maufur
Dosen Prodi SAA IAIN Kediri; Divisi Kerja Sama Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB); Mahasiswa Doktoral ICRS UGM
Leave a Reply