Maurisa Zinira
Melanjutkan upaya-upaya sebelumnya terkait dengan ranah kebebasan beragama, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) bekerja sama dengan PUSAD Paramadina dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyelenggarakan konferensi yang memfasilitasi para aktivis dan pemangku kepentingan dari berbagai institusi. untuk berbagi keprihatinan mereka mengenai masalah kebebasan beragama. Konferensi bertajuk “Refleksi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia 2023” ini berlangsung di Wisma Pemuda PGI, Cisarua, Jawa Barat, 22-24 Agustus 2023, dan dihadiri lebih dari 74 peserta yang mewakili 26 provinsi di seluruh Indonesia. Para peserta berbagi berbagai narasi terkait pengalaman mereka di lapangan, berpartisipasi dalam wacana reflektif mengenai perkembangan advokasi kebebasan beragama di Indonesia.
Konferensi ini dirancang sebagai forum bersama untuk menggalang kerja sama dalam bidang kebebasan beragama atau berkeyakinan (FoRB,Di dalam. advokasi KBB). Konferensi ini dibagi menjadi sesi gabungan dan sesi breakout. Sesi gabungan ini dilakukan dalam enam kegiatan: (1) presentasi bertajuk “Siapa Kita dan Di Mana Kita Sekarang?” bersama Utami Sandyarani (PUSAD Paramadina); (2) diskusi “KBB dalam Pusaran Demokrasi Indonesia: Refleksi 25 Tahun Reformasi” bersama Jaleswari Pramodhawardani (KSP) dan Ihsan Ali-Fauzi (PUSAD Paramadina); (3) talkshow “Merayakan Upaya Penguatan Advokasi KBB” bersama Noorhalis Majid (LK3), Eko Riyadi (PUSHAM UII), Shinta Maharani (AJI), dan Ferry Wirra Padang (ASB); (4) talkshow: “Pengalaman Lembaga Negara dalam Penguatan KBB. Bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, ORI, KPAI, dan LPSK; (5) pemutaran film “The Indigenous” bersama Watchdoc dan Samsul Maarif (CRCS-UGM); dan, (6) diskusi mengenai rekomendasi masa depan.
Sementara itu, sesi breakout dilakukan pada tiga titik fokus utama terkait kebebasan beragama: regulasi, advokasi, dan komunitas. Tema-tema ini dikaji secara ekstensif, dengan fokus khusus pada implikasi dan signifikansinya. Selanjutnya ketiga tema pokok tersebut dibagi lagi menjadi enam tema focus group Discussion (FGD): (1) Permasalahan Rumah Ibadah: Permasalahan dalam PBM 2006, Indeks Toleransi, dan Pembelajaran, (2) Interseksionalitas: Membangun Solidaritas Lintas Isu dalam Penguatan Gerakan KBB, (3) Pendidikan Lintas Generasi Dalam Rangka Penguatan Advokasi KBB, (4) UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP: Peluang dan Tantangan Penguatan KBB, (5) Membangun Solidaritas dengan Kelompok Minoritas untuk Memperkuat KBB: Dari Korban Menjadi Penyintas?, dan (6) Kebijakan Moderasi Beragama sebagai Peluang dan Tantangan Advokasi KBB .
Perkembangan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan
Kondisi KBB saat ini belum mencapai kondisi optimal, meskipun terdapat beberapa perkembangan positif, seperti revisi undang-undang yang meningkatkan hak-hak minoritas. Sejumlah kasus intoleransi masih terus terjadi, antara lain penghentian paksa ibadah keagamaan yang dilakukan secara kolektif terhadap jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) di Binjai, penghentian ibadah di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon di Pekanbaru, penghentian ibadah kegiatan pendidikan agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung Barat, dan peristiwa pembakaran mushola Muhammadiyah di Bireun. Selain kejadian-kejadian di atas, komunitas agama asli terus mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan intoleransi. Kebebasan beribadah secara damai terus terhambat oleh berbagai peraturan dan perundang-undangan yang diskriminatif di tingkat regional dan nasional. Menjelang tahun politik mendatang, terdapat kekhawatiran yang semakin besar mengenai potensi amplifikasi politik identitas. Selain itu, penerapan beberapa program rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah secara bersamaan telah menimbulkan potensi kekhawatiran terkait dengan polarisasi dan fragmentasi masyarakat.
Namun, meskipun beberapa hal masih terjadi, peluang atau prospek kemajuan KBB saat ini mulai terlihat. Fase regulasi ditandai dengan diperkenalkannya UU No. 1 Tahun 2023 yang sering disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memuat perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan pidana di bidang agama. Pasal 300 KUHP hasil revisi telah mengalami perubahan sehingga tidak lagi secara spesifik membahas kasus penodaan agama. Sebaliknya, undang-undang tersebut kini berfokus pada pelarangan hasutan dan tindakan yang menunjukkan permusuhan terhadap agama, kepercayaan orang lain, atau kelompok berbasis agama di negara tersebut. Pasal 300 juga memasukkan penganut agama asli secara setara, sehingga dapat digunakan untuk melindungi kebebasan kelompok minoritas.
Artikel tertentu rentan disalahgunakan. Menurut Asfinawati, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 302 ayat (1) dan ayat (2) cenderung membatasi pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Istilah “penghasutan” sebagaimana digunakan dalam Pasal 302 ayat (1) mempunyai penafsiran yang beragam, sedangkan ayat (2) bersifat diskriminatif dengan hanya menyebut tindakan “memaksa seseorang untuk meninggalkan atau mengubah agama atau sistem kepercayaannya di Indonesia. ” sehingga membawanya ke penuntutan pidana. Sebaliknya, tindakan memaksa seseorang untuk menganut keyakinan agama tidak sejalan dengan domain tersebut di atas.
KUHP baru ini memuat banyak undang-undang yang masih belum jelas, yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai ‘undang-undang karet (pasal karet).” Undang-undang ini berpotensi membatasi KBB, para peserta konferensi sepakat bahwa peluang yang ada perlu dimanfaatkan untuk advokasi di masa depan. Menurut Zainal Abidin Bagir, implementasi transformasi positif ini memerlukan perubahan secara bersamaan pada komponen pelengkap, termasuk revisi undang-undang PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Selain itu, penting untuk menetapkan undang-undang mengenai derivatif, memastikan penerapannya secara efektif oleh otoritas terkait, aparat penegak hukum, dan membina lingkungan sosial-politik yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan KBB.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Meskipun tuntutan akan advokasi semakin meningkat, tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan di lapangan menghadapi fluktuasi dan tantangan. Dalam pengantar konferensinya, Ihsan Ali Fauzi mengidentifikasi tiga tantangan utama yang dihadapi advokasi kebebasan beragama. Pertama, ia menyoroti meningkatnya polarisasi politik di tingkat nasional, yang menyebabkan perpecahan di kalangan aktivis KBB. Kedua, ia menekankan menyusutnya ruang sipil di Indonesia, terutama disebabkan oleh semakin intensifnya represi digital yang dilakukan oleh otoritas negara dan faksi masyarakat sipil tertentu. Terakhir, ia menggarisbawahi semakin berkurangnya sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mempertahankan upaya yang bertujuan memperkuat KBB.
Selain permasalahan eksternal, tugas meningkatkan advokasi juga menghadirkan tantangan internal bagi para aktivis KBB. Beberapa di antara mereka nampaknya merasa putus asa, yang antara lain disebabkan oleh kecenderungan para aktivis untuk mengevaluasi upaya mereka berdasarkan standar ideal dan bukan melalui perbandingan empiris dengan upaya-upaya di masa lalu. Memang benar, melalui analisis komparatif dengan menggunakan bukti empiris, kemajuan nyata yang dicapai di berbagai bidang menanamkan optimisme terhadap kemajuan di masa depan.
Menurut Ihsan Ali, sudah ada aktivis KBB yang bertanggung jawab memantau dan mendokumentasikan pelanggaran sejak tahun 2000an. Saat ini terdapat sebuah forum bernama Sobat KBB (Sahabat KBB) yang bertujuan untuk memupuk solidaritas antar korban pelanggaran KBB. Forum ini juga bertujuan untuk mendukung para korban dalam perjalanan mereka menuju ketahanan dan pemulihan. Menurut Ihsan Ali, mengutip Kathryn Sikking, pencapaian KBB memerlukan upaya yang disengaja dan strategis, bukan terjadi secara spontan. Oleh karena itu, advokasi KBB harus dilakukan berdasarkan prinsip posibilisme, bukan probabilisme.
Untuk mengembangkan tindakan yang mungkin dilakukan, konferensi ini meluncurkan beberapa program tindak lanjut. Setidaknya ada empat sektor advokasi: (1) produksi pengetahuan, yang dilakukan melalui penelitian dan produksi pengetahuan, serta diseminasi dan pendidikan publik; (2) kebijakan dan pemenuhan hak dilakukan melalui advokasi kebijakan seperti KUHP, Peraturan Daerah, Moderasi Beragama, dan lain-lain, serta melalui advokasi kasus dengan bantuan hukum; (3) peningkatan kapasitas dan kaderisasi aktor melalui penguatan spesialis dan penguatan pendidik penggerak seperti kelompok perempuan, guru, kelompok pemuda, dan OMS; dan, (4) penguatan komunitas penyintas melalui pendampingan korban, penguatan kapasitas komunitas penyintas, dialog, dan kolaborasi.
Dalam rangka mengkoordinasikan beragam inisiatif ini, para peserta acara ini mencapai konsensus mengenai perlunya pembentukan kantor kolaboratif bersama dengan jaringan advokasi KBB. Pendirian kantor ini berfungsi sebagai platform penting untuk memfasilitasi komunikasi di antara para aktivis FoRB, yang memungkinkan mereka mendiskusikan dan menyusun strategi implementasi program dan kebijakan yang mereka usulkan secara efektif. Pembentukan platform kolaboratif seperti forum ini bertujuan untuk memfasilitasi komunikasi dan kerjasama yang efektif dalam pelaksanaan program kegiatan, sehingga mendorong peningkatan pembangunan sektor KBB.
Leave a Reply