Upaya Jemaat Ahmadiyah membina hubungan sesama memiliki landasan teologis Bernama rabtah. Dengan kesabaran para Ahmadi yang tanpa pamrih, rabtah berjalan dari tingkat internasional hingga perkampungan. Mereka berhasil meraih kepercayaan bahkan dari kalangan yang dulu mencurigai dan memusuhi.
Dalam Bincang Koalisi KBB Indonesia, 23 Februari 2024, Wakil Rektor Bidang Akademik Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia, Rakeeman R.A.M. Juman, menguraikan dasar teologis dan praksis rabtah. “Banyak yang mengira rabtah adalah bahasa Arab, tetapi sebenarnya bahasa Urdu, sebagaimana istilah-istilah lain yang digunakan kaum Ahmadi,” kata Rakeeman. Meski dilafalkan secara Urdu, istilah itu memang terpengaruh dari istilah dalam bahasa Arab.
Rakeeman mengutip Surah Ali Imran ayat 201 yang menyebut kata rabitu, serta kamus Arab-Urdu dari Sayyid Ahmad Dahlawi yang menerjemahkan rabtah sebagai interaksi, keadaan saling berhubungan, gabungan dari beberapa hal yang bersangkut-paut, kekerabatan dan memiliki pertalian atau hubungan keluarga.
Penjelasan lebih rinci terdapat pada peryataan khalifah keempat mereka, Mirza Tahir Ahmad, dalam keterangannya tertanggal 26 Maret 2011. Bagi Mirza, rabtah berarti menjalin hubungan atau relasi yang sangat penting di bidang apapun, yang berbeda cara dan metodenya, untuk saling memahami dan menghormati.
Selain Rakeeman, pemantik diskusi lainnya adalah Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, dan Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Husni Mubarok. Keduanya berbagi analisis atas rabtah sebagai metode advokasi, khususnya adokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB). Acara ini dimoderatori oleh Alifa Ardhyasavitri dari Koalisi Advokasi KBB Indonesia.
Indikator Keberhasilan Rabtah
Masih mengutip khalifah keempatnya, Rakeeman menjelaskan pentingnya rabtah bagi masyarakat dunia yang majemuk. Ketika dunia sudah menjadi rumah bagi banyak agama, perjumpaan satu sama lain dapat menghilangkan keraguan dan syak wasangka. “Dengan berinteraksi satu sama lain, kita pun menjadi lebih terbuka dan murah hati,” ungkapnya.
Ia lalu menjelaskan tiga filosofi rabtah, yang menjadi tolok ukur indikator kebehasilannya. “Pertama adalah para Ahmadi dikenali oleh yang lain,” kata dia. Yang kedua adalah undangan terhadap kaum Ahmadi, seperti untuk menghadiri hajatan dan kenduri, merupakan pengakuan atas keberadaan mereka.
“Yang ketiga adalah, ketika kaum Ahmadi dilibatkan untuk menjadi solusi suatu masalah, itu berarti pengakuan atas eksistensinya,” tambah Rakeeman. Karena zaman terus berubah, rabtah perlu mengikuti perkembangan juga, termasuk dalam menjalin hubungan dengan orang-orang baru, baik di tingkat pejabat negara maupun organisasi masyarkaat.
Ia bukan kegiatan sekali atau dua kali dalam setahun, melainkan usaha terus-menerus para Ahmadi dalam menjalin relasi. Itulah mengapa Jemaat Ahmadiyah membedakan tabligh dan rabtah. Sementara tabligh berkepentingan menyiarkan Ahmadiyah kepada masyarakat, rabtah betugas membangun hubungan yang baik dengan mereka.
Dari ketiga filosofi rabtah di atas, Rakeeman menguraikan indikator keberhasilannya. “Pertama, memberi manfaat bagi kedua belah pihak sehingga saling menguntungkan, dengan niat baik dan tulus. Itulah kunci keberhasilan,” ujarnya. Yang kedua adalah ketika semua pihak saling memahami satu sama lain dengan pandangan yang positif.
Untuk mencapai keduanya, rabtah harus menciptakan hubungan tanpa pamrih; kalau tidak maka hubungan yang terjalin tidak akan kekal. Sejauh ini, sebagaimana ditunjukkan Rakeeman, rabtah berhasil menjalin hubungan dengan banyak tokoh berpengaruh –di samping dengan masyarakat sekitar.
Di Indonesia, mereka pernah berkunjung ke kantor PBNU yang saat itu masih dipimpin K.H. Said Aqil Siradj. Beberapa tahun sebelumnya, mereka juga menjumpai K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sedang menjabat sebagai Presiden RI. Di Ghana, Presiden dan Menteri Agama setempat bahkan menghadiri acara tahunan kaum Ahmadi, Jalsah Salanah.
Contoh Baik Advokasi Kultural
Pembicara lain, Asfinawati dan Husni Mubarok, berbagi analisisnya tentang relevansi rabtah bagi advokasi. Asfinawai tertarik pada rabtah yang telah membongkar asumsi-asumsi advokasi selama ini, terutama dalam hal advokasi struktural.
“Pendekatan kultural (dalam rabtah) tidak hanya menggunakan kultur tetapi juga pada orang dan agensi,” kata Asfinawati, merujuk pada kesediaan kaum Ahmadi untuk membangun hubungan bahkan dengan orang yang kemungkinan akan menolak mereka. Dampak pentingnya adalah advokasi relasional antar individu yang menjadi jarring pengaman, ketika terjadi sesuatu tak diinginkan.
“Rabtah menunjukkan relasi lebih penting dari struktur,” tambah dia. Ia juga tertarik dengan kisah keberhasilan rabtah mengubah persepsi penyerang kaum Ahmadi menjadi pembela mereka, karena hal itu berbeda dari pakem advokasi selama ini.
“Dalam analisis spektrum aktor biasanya diidentifikasi siapa yang paling dekat dan yang paling jauh. Rabtah justru mendekati mereka yang secara diametral berlawanan,” kata Asfinawati. Ia menambahkan, secara teoritis, upaya tersebut akan meraih kegagalan karena lawan biasanya berbeda ideologi atau punya kepentingan sendiri.
Soal lain yang menarik adalah pilihan Ahmadiyah untuk menempuh jalur nirkekerasan dan tanpa pamrih, yang menandai perilaku individual yang terlembagakan. Ia memahami, ketika berada dalam posisi paling tertindas, melawannya adalah dengan nirkekerasan dan cinta kasih. “Jika dengan kekerasan, pasti akan meledak,” ungkap dia.
Ini tentu mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan. Ketika keberhasilan diraih, ini menjadi cara yang jitu karena tidak ada stigma lagi terhadap Ahmadiyah. Jika kaum Ahmadi hanya merapat ke kekuasaan, orang bisa menyimpulkan bahwa tindakanmereka diliputi pamrih. Rabtah tepat berada di titik ini, karena relasi itu sama pentingnya dengan hal struktural di tingkat negara.
“Di tingkat lebih abstrak lagi, rabtah melibatkan kelompok penyintas dalam advokasi sangat sentral dan harus menjadi yang terdepan, apalagi karena mereka yang paling tahu caranya membela diri,” kata Asfinawati. Advokasi KBB harus menempatkan komunitas korban/penyintas di tengah spektrum gerakan.
Husni Mubarok memulai materinya dengan memberi konteks bagi mengusahakan KBB di Indonesia. Yang pertama adalah mengubah struktur, di mana terjadi sinkronisasi regulasi, apalagi ketika Konstitusi kita menjamin KBB tetapi produk hukum turunannya malah membatasi. “Perlu perbaikan kapasitas aktor negara, karena tidak semua memiliki pemahaman KBB yang baik,” kata Husni.
Selain itu, yang penting lainnya adalah mengubah kultur, seperti menumbuhkan budaya toleransi dan membangun jaringan lintas iman, memperbanyak pertemanan. Dalam konteks inilah rabtah menunjukkan relevansinya.
“Rabtah membangun kesalingpahaman hidup sebagai warga, bukan hanya orang lain menjadi paham Ahmadiyah, tetapi Ahmadi juga menjadi paham orang lain,” tambahnya. Rabtah membangun budaya toleransi dan membangun pertemanan, bukan hanya dengan kelompok sendiri tetapi juga dengan yang berbeda-beda.
“Tantangannya ke depan adalah memperlebar aktor, yang identitasnya bukan Cuma berdasarkan kepercayaan tetapi juga etnis, budaya, komunitas,” ucap Husni.
Ketika menjamin KBB, harapannya adalah kohesi sosial yang butuh modal saling percaya. Kepercayaan membutuhkan bonding (kekompakan di dalam), bridging (jembatan ke pihak luar), dan linking (hubungan dengan pemerintah, untuk menjalankan apa yang menjadi hak kita). “Rabtah mengisyaratkan untuk membangun hubungan yang kuat di tiga level tersebut,” kata dia.
Karena keterbatasan waktu, ruang, dan lain-lainnya, rabtah harus memilih aktor kunci yang memiliki kekuatan yang bisa membantu mereka. Tujuannya bukan untuk saling memanfaatkan, melainkan saling membantu di kemudian hari. Hal seperti ini juga dilakukan kelompok rentan lain seperti AKUR Sunda Wiwitan, LDII, dan Pesantren Waria Al-Fatah.
Hal lain yang diperlukan, bagi Husni, adalah sikap mental. “Jalur kultur untuk KBB mensyaratkan kemampuan komunikasi yang baik, tidak judgemental. Tidak ada musuh abadi, paling jauh pesaing, ujungnya adalah calon kawan,” ujarnya. Ia mendorong pentingnya upaya mencari kesamaan sebagai warga dan menoleransi perbedaan teologis, berangkat dari asumsi semakin majemuk pergaulan maka akan semakin toleran.
Jalur advokasi kultural seperti ini juga perlu melintasi identitas yang beragam dan menyadari dimensi lain, seperti ekonomi (menyejahterakan komunitas, membangun UMKM), sosial, dan politik. “Jadi, tujuan besar rabtah dalam konteks KBB adalah mengajak masyarakat bukan hanya menjadi toleran, tetapi jugaber transformasi di bawah prinsip terpenuhinya hak,” pungkasnya.
Leave a Reply