Intelektual sekaligus penggiat lintas agama, Trisno S. Sutanto, wafat 30 Maret 2024 menjelang pergantian hari. Untuk mengenangnya, keluarga dan sahabat Trisno memperingati 7 hari wafatnya secara hibrida, 5 April 2024, di Kantor DIAN/Interfidei, Yogyakarta, dan ruangan Zoom.
Dalam sambutan dan kesaksian awalnya, Direktur Interfidei, Elga Sarapung, menyampaikan kesaksian spiritualnya ketika Trisno Wafat. Menjelang ibadah pagi Paskah, Elga bangun dari tidurnya hari Minggu, pukul 00:30 WIB, satu jam setelah Trisno meninggal. Ia terbangun untuk bersiap menunggu jemputan menuju acara.
“Ternyata Trisno datang di depan saya dengan senyumnya, kemudian dia hilang,” kata Elga. Setelah itu, ia membuka grup WA yang sudah penuh dengan kabar meninggalnya Trisno. Padahal, sudah selama tiga pekan, Elga tidak bertemu Trisno di beberapa acara di PGI. “Saya merasa dia berpamitan langsung kepada saya,” ungkapnya.
Elga lantas mengenang kembali apa yang dikatakan tokoh Pluralisme dari Kristen, Th. Sumartana, tentang Trisno. “Trisno itu sederhana, pintar, kritis. Aku suka sekali pada dia,” kata dia, mengulang perkataan Sumartana yang bangga pada Trisno.
Di buku 8 Tokoh Gerakan Pluralisme di Indonesia yang turut ditulisnya, Trisno menulis sedikit. Lahir di Purwokerto, 11 Desember 1962, Trisno pernah nyantri di STF dan bekerja mengoordinasi MADIA (Masyarakat Dialog Antaragama). Sebagai intelektual, Trisno banyak menulis di media maupun menyunting buku.
Mewakili pihak keluarga, istri Trisno, Evelyn Suleeman, berterima kasih kepada Interfidei dan teman-teman Trisno sesame pejuang dialog lintas iman, dari Papua hingga Aceh.
“Kami mulai berhubungan dekat di tahun 1983 dan pacaran setahun setelahnya. Dia suka melahap baca buku, menyebabkan saya malas baca,” kenang dia. Sebagai contoh, ketika masih berpacaran, trisno membaca buku harian Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Kesannya setelah membaca itu mengentak Evelyn. “Rasanya hidup saya tidak akan panjang,” kutipnya.
Belakangan, ketika dia pergi ke luar Jakarta, Evelyn punya kekhawatiran apakah dia akan baik-baik saja. Ketika memutuskan untuk pergi memeriksakan kakinya yang bengkak, Trisno pergi ke puskesmas kecamatan sendiri seorang diri karena Evelyn sudah punya jadwal lain.
Inilah awal Trisno dirawat hingga wafat. Setelah beberapa kali mengunjungi puskesmas kelurahan dan kecamatan, ia akhirnya menjalani tes darah dan direkomendasikan untuk dirawat di rumah sakit. Eveyln dan suaminya itu memilih RS Pemuda yang dekat dengan rumah, agar mudah diobservasi.
Dirawat sejak Kamis, kondisi Kesehatan Trisno terus menurun. Ia pun mengeluhkan kondisinya yang tidak nyaman. Evelyn dengan setia menemani dan mengajaknya berdoa. Sampailah pada Sabtu sore ketika Trisno bertanya kepada istrinya itu, “Kalau aku duluan (wafat), bagaimana?”
Tak kuat menjawabnya, Evelyn hanya mengiyakan dan mengusap-usap tangannya. Ia memanggil putera mereka, Gabriel Sutrisno, untuk datang ke rumah sakit dan ikut berdoa. Dalam kondisi itu, Trisno justru meminta mereka berdua untuk kuat.
“Saya bukan orang yang tegar melihat perpisahan dengan orang yang saya kenal dekat, apalagi Trisno yang menikah dan berpuluh tahun bersama saya,” kata dia, sambil menahan tangis. Beberapa jam sebelum Trisno wafat, keduanya sempat mendengarkan lagu paskah dan bersenandung bersama. Setelah itu, Gabriel yang turut hadir di ruang Zoom memainkan piano perpisahan untuk ayahnya.
Acara lantas dilanjutkan dengan doa bersama dari tokoh lintas agama. Perwakilan Katolik, Romo Ismartono, mendoakan Trisno dengan terlebih dahulu mengungkapkan rasa kasih Trisno kepada Tuhan. Baginya, rasa kasih itu terwujud dalam bentuk kasih pada sesama termasuk yang berbeda agama. Doa dilanjutkan oleh tokoh-tokoh penghayat, protestan, dan muslim.
Teman baik Trisno dari NU, Ahmad Saedy, menceritakan tentang posisi mereka berdua dalam dialog lintas agama. “Jika Gus Dur dan Sumarthana adalah generasi pertama lintas agama, kami generasi kedua,” kata Suaedy. Ia bertakziyah di malam pertama setelah wafatnya Trisno. “Di sana, saya bisa mengekspresikan takziyah antaragama, yang pertama kali dalam bentuk masif terjadi saat Gus Dur meninggal,” ungkapnya.
Akademisi STF Driyarkara, Romo Setyo Wibowo, menceritakan hubungan dan komunikasinya yang mendalam dengan sosok Trisno. “Kami terakhir di Mentawai dan kampus STF. Di Mentawai, saya bertemu lingkaran Trisno di PGI yang selama ini hanya saya lihat dari jauh,” kata Setyo.
Di mata Romo Setyo, Trisno adalah pembaca dan otodidak yang luar biasa, sehingga diskusi dengannya selalu menyenangkan. “Dia orang yang sederhana dan apa adanya, tanpa pencitraan, tetapi punya kedalaman dan rasa ingin tahu yang tinggi,” tambah dia. Ketika di STF berjumpa kembali, ngobrol, Setyo tak menyangka bahwa itu menjadi pertemuan terakhir mereka.
“Dia teman yang bisa berbicara hal teoritis dalam suasanya yang santai, tak heran dia punya sahabat dari banyak kalangan. Rasanya masih berat bagi saya kehilangan seorang teman yang orisinal dan pemikir dengan caranya sendiri,” sanjungnya.
Leave a Reply