Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Pasca Putusan MK tentang Status Agama, Ada Kemunduran tetapi Terbuka Pula Peluang

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai wajibnya warganegara beragama sesuai agama-agama yang diakui dinilai sebagai kemunduran. Padahal, para pendiri bangsa puluhan tahun lalu punya pikiran yang sangat maju.

“Haji Agus Salim menyebut keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti orang-orang politeis atau ateis tidak bisa hidup di Indonesia. Sukarno pun mengatakan keberadaan orang-orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan, tetapi mereka bisa menoleransi karena paham kalau sebagian besar masyarakat Indonesia religius,” kata penggiat Humaniesa, Adam Pantouw, dalam Diskusi Virtual Bulanan Koalisi Advokasi KBB Indonesia, Jumat, 24 Januari 2025, yang bertajuk Putusan Mahkamah Konstitusi dan Dampaknya bagi Kehidupan Beragama.

Selain Adam, diskusi ini dihadiri oleh dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati; Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, Engkus Ruswana; dan Rohaniawan Protestan, Jimmy Sormin. Perhatian utama diskusi ini tertuju pada putusan MK atas permohonan Raymond Kamil tertanggal 3 September 2024. Ia percaya Tuhan tetapi dengan konsep yang berbeda dari konsep Tuhan dalam agama.

Dalam petitumnya, ia menuntut hak untuk tidak beragama sebagai HAM, tidak menyebutkan agama atau kepercayaan tertentu dalam data kependudukan, mendapatkan pengakuan perkawinan yang didasarkan agama atau kepercayaan, dan tidak mengikuti pendidikan agama tertentu atau untuk mengikuti pendidikan agama tentang semua agama.

Persidangan dimulai dari pengajuan permohonan pada 3 September 2024, lalu pemeriksaan pendahuluan II pada 4 November 2024. Setelah itu, tidak ada pemeriksaan pokok perkara, tetapi langsung muncul putusan dua bulan kemudian pada 3 Januari 2025. MK memutuskan menolak permohonan dengan alasan Konstitusi Indonesia yang religius; prinsip demokrasi dan nomokrasi harus didasarkan pada prinsip teokrasi, karena pada dasarnya negara didirikan dengan semangat teologi. “Semua produk hukum harus disinari oleh sinar agama,” kata Adam mengutip putusan MK.

Putusan MK tersebut menjelaskan, manifestasi berketuhanan adalah perlindungan dan jaminan hak untuk menjalankan kehidupan beragama di semua lini kehidupan, termasuk juga perlindungan atas eksistensi atau keberlangsungan kehidupan beragama dengan tindak pidana penodaan agama dan larangan terhadap ajakan untuk tidak menganut agama apapun.

Adam mempertanyaan klaim ini. “Sejauh mana negara patut mengatur apa yang warganya yakini atau tidak yakini? Apakah setiap warga negara, tanpa terkecuali, dari dulu, sekarang, dan akan datang, pasti dan harus bertuhan?” kata dia. Ia juga menyoroti pembatasan HAM oleh negara yang sekadar memberi kebebasan pada warga negara untuk memilih agama yang diakui. “Apakah beragama itu hak atau kewajiban? Pilihan hati atau paksaan?”

Terkait administrasi kependudukan, MK mengatakan agama harus dinyatakan, dicatatkan, dan dibubuhkan dalam data kependudukan. Ini membuat Adam mempertanyakan lagi. “Bagaimana kalau mengungkapkan agama justru mendatangkan diskriminasi? Apa kerugian agama negara jika agama tidak dicantumkan di KTP? Apakah warganegara bisa memilih agama apapun di luar agama yang diakui?” tambahnya. Ia juga menyoroti persoalan pernikahan yang harus sesuai agama yang diakui itu, juga persoalan keharusan terselenggaranya pendidikan agama.

Bagi Adam, berketuhanan bisa dilakukan tanpa beragama. Sikap negara yang memaksakan agama seperti itu justru menghasilkan karakter beragama yang ambigu. “Karakter beragama seperti apa yang mau diwujudkan? Apakah beragama yang ditumbuhkan atau dipaksakan? Dengan jujur atau penuh kebohongan?” tegasnya. Ia mendaftar risiko yang akan didapatkan orang-orang yang tidak beragama, mulai dari intoleransi dan persekusi sosial, diskriminasi oleh negara dan swasta, dan kemerosotan hukum. “Putusan ini akan meningkatkan lagi risiko tersebut,” pungkasnya.

Engkus Ruswana sepakat dengan pandangan Adam, terutama soal negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan bukan agama. “Ini tidak mengubah apapun dibanding kondisi sebelumnya, tetapi memang menghasilkan ketakutan. Sebelum keputusan MK ini pun situasinya memang demikian. Salah satu dampaknya adalah akan sulit untuk tidak menuliskan agama di kolom KTP,” kata dia.

Namun, ia melihat peluang lain dalam Putusan MK ini. “Dari pertimbangan 3.12 terdapat peluang bagi agama yang belum diakui pemerintah untuk menuntut haknya, karena putusan itu tidak merincikan agama apa saja yang diakui negara. Yahudi, Tao, Sikh, dan Baha’i yang selama ini tidak diakui, bisa memperjuangkan haknya,” tambahnya. Putusan 3.13 juga menyebutkan agama harus dicatatkan, tetapi tidak disebutkan apa agama yang dimaksud. Agama seperti Yahudi dan Baha’i sebelumnya diminta negara untuk tercatat sebagai kepercayaan, padahal mereka tidak masuk dalam kategori dan definisi kepercayaan itu.

Jimmy Sormin menilai, negara di dalam persimpangan antara mengelola keberagaman dan tetap menjaga religiusitas warganya. “Kecondongan upaya menjaga tetap religius membuat negara berteologi, menentukan mana yang diakui dan tidak, sesat dan tidak,” terangnya. Ini membuat ruang kebebasan beragama jadi menyempit. Ini terlihat dari istilah ‘agama yang diakui’ yang kerap ditemukan di ruang pendidikan, yakni keenam agama dan satu kepercayaan.

“Dari sini, terjadi keterbatasan pelayanan publik, akses terhadap kesehatan, dan sulitnya mendapat pekerjaan. Ini lebih seperti kontrol, sehingga harus diawasi masyarakat sipil,” tambahnya. Ketika berbicara tentang keadilan dan prinsip nondiskriminatif, kita harusnya berbicara tentang bebas untuk, bukan hanya bebas dari. “Orang harus bebas untuk mengimani atau tidak mengimani, menjalankan atau tidak menjalankan, suatu agama, kata dia.

Dari sudut pandang rohaniawan, terang Jimmy, Gen Z sedang menemukan ruang yang berbeda, worldview yang berbeda, nilai yang berbeda, dalam global village. “Kalau hanya dihadapkan dengan pembatasan, mereka justru akan antipati terhadap agama. Di sinilah agama-agama harus tampil menunjukkan relevansinya,” tutupnya.