Penulis: Risdo Simangunsong | Republikasi dari Jakatarub
Program lintas iman sebenarnya bisa sangat banyak. Demikian pula permasalahan, kebutuhan maupun kelompok yang terlibat. Namun, kritik yang sering muncul adalah mengapa kegiatannya hanya itu-itu saja? Program lazim di gerakan lintas iman seperti dialog teologis, edukasi keberagaman atau advokasi kebebasan beragama, dianggap tidak begitu konkrit dampaknya.
Tidak perlu kecut hati mendengar hal itu. Di satu sisi, konsistensi itu baik. Melakukan yang sama selama bertahun-tahun bukanlah hal mudah. Butuh komitmen jangka panjang. Pun pegiat perlu sadar diri. Bukan karena labelnya gerakan lintas iman, semua permasalahan terkait agama harus kita yang selesaikan.
Keterbatasan ini perlu diakui dan dikomunikasikan. Gerakan lintas iman – juga gerakan kemanusiaan lainnya serta lembaga keagamaan – perlu berbagi peran secara strategis sebagai kekuatan masyarakat sipil yang terpetakan dengan baik.
Sayangnya, peta dan pembagian peran itu sangat mungkin timpang. Ada satu model kegiatan yang dikerjakan banyak lembaga, model lain sama sekali belum ada yang menangani. Tak jarang pula, gerakan lintas iman dianggap serba-bisa menangani serba-serbi masalah dan akhirnya serba-tanggung. Ketimpangan ini harus dihadapi sebagai realitas. Perlu dicarikan solusi bersama dalam semangat kolaborasi.
Dua Pemikiran Kolaborasi
Di luar edukasi keberagaman, dialog atau advokasi kebebasan beragama, kita dapat memandang kolaborasi lintas iman sebagai kerjasama praktis untuk satu permasalahan bersama. Di sini yang jadi concern utama adalah bekerja sama dan berbagi sumber daya. Harusnya ini bisa dikerjakan, karena tak jarang kepingan puzzle buat tugas spesifik itu sudah ada pada masing-masing komunitas keagamaan.
Gerakan lintas iman dapat jadi wadah link and match sumber daya sudah ada. Misalnya saja memperlengkapi pendamping kasus kekerasan, pelatihan wirausaha, atau membentuk gugus tugas penanganan sampah atau layanan disabilitas. Atau sesederhana berkoordinasi dengan panitia donor darah dari tiap lembaga keagamaan, sehingga penjadwalan kegiatan donor darah bisa lebih strategis, misal di bulan Ramadhan, rekan Kristiani lebih banyak menggiatkan donor darah. Banyak contoh kecil-besar yang sangat mungkin.
Meski terlihat mudah, kolaborasi seperti ini jarang bertahan. Kendala terbesar ada pada koordinasi dan komitmen untuk pace kerja yang sama dan konsisten. Seringnya, model kolaborasi seperti ini hanya cocok untuk sekali event atau sekalian membuat lembaga baru spesifik.
Bentuk kolaborasi lain adalah gerakan lintas iman sebagai encounter hub sekaligus inspiring voice. Gerakan ini menjadi ruang temu sekaligus ruang belajar bersama dan setara, lintas iman untuk lintas isu. Ini berarti kita harus menerima kenyataan bahwa bentuk konkrit solusi tidak ada pada gerakan lintas iman itu sendiri, namun pada individu atau komunitas yang telah berjumpa dan terinspirasi dari perjumpaan, kemudian bekerjasama.
Dalam pengalaman JAKATARUB, membuka ruang perjumpaan dan inspirasi seperti itu banyak melahirkan kolaborasi di luar isu lazim gerakan lintas iman. Semakin lepas dan bersahabat perjumpaan, biasanya semakin berkualitas kolaborasi setelahnya. Namun, semua kolaborasi itu bukanlah karya JAKATARUB, bahkan baiknya memang tidak diklaim begitu.
Memahami perspektif kolaborasi seperti ini akan menaruhkan harapan yang wajar akan apa yang kita maksud dengan ‘hasil konkrit’ dari gerakan lintas iman. Tidak terlalu muluk, sekaligus tidak terlalu skeptis, dalam harapan akan kolaborasi lintas iman.
Leave a Reply