Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Ateisme dalam Kepustakaan Indonesia Kontemporer

Artikel ini merupakan bagian dari riset pemetaan perkembangan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia yang pengantarnya telah terbit di website ini sebelumnya.

Kajian Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia, mengalami perkembangan menarik dalam satu dekade belakangan ini. Salah satunya adalah munculnya pustaka-pustaka, terutama karya akademik, yang mendiskusikan persoalan ateisme di Indonesia.

Meski terma “atheis” pernah digunakan oleh Achdiat K. Mihardja dalam judul novelnya yang terbit di tahun 1949, namun penggunaan terma ateisme seperti terhenti dalam kepustakaan Indonesia. Seperti yang disebutkan oleh Saskia Schaefer (2016) dan Timo Duile (2018), kepustakaan Indonesia lebih banyak menggunakan terma “non-agama,” kelompok komunis, dan “tidak beragama.”

Artikel ini memetakan kajian-kajian tentang ateisme di Indonesia dan bagaimana ateisme dilihat dalam literatur kajian KBB di Indonesia, terutama dalam rentang satu dekade terakhir. Sumber kajian berupa buku akademik, jurnal akademik, tesis, disertasi, serta laporan lembaga pemantau kebebasan beragama.

Tulisan ini menggunakan perspektif KBB dalam memilih dan memetakan kajian tentang ateisme dan melihat posisi tema ini dalam literatur kajian KBB di Indonesia. Perspektif KBB yang penulis maksud ialah menggunakan pendekatan pemenuhan hak (beragama atau tidak beragama) dalam membaca literatur-literatur tetang ateisme di Indonesia.

Pendekatan Kajian

Ketika penulis melakukan pemetaan kepustakaan, hanya ada enam tulisan akademik (dalam artian yang terbit di jurnal akademik, tesis, dan buku) yang membahas tentang ateisme. Empat dari lima tulisan tersebut diterbitkan oleh jurnal berbahasa inggris, satu terbit di jurnal berbahasa Indonesia dan satu terbit dalam bentuk tesis magister berbahasa Indonesia.

Dari keenam kepustakaan tersebut, ateisme dikaji melalui dua pendekatan.

Pertama, pendekatan normatif yang membahas ateisme dari sudut pandang regulasi beragama di Indonesia. Pendekatan yang berfokus mengkritisi regulasi-regulasi yang membatasi hak-hak sipil penganut ateisme ini memiliki argumen bahwa meski ateisme tidak secara eksplisit dilarang dalam konstitusi Indonesia, namun negara cenderung membatasi hak-hak sipil penganut ateisme, terutama kebebasan mengungkapkan pilihan mereka untuk tidak beragama.

Salah satu, mungkin satu-satunya tulisan akademik berbahasa Indonesia yang terbit dalam 10 tahun terakhir menggunakan cara pandang ini adalah tulisan Jagok Halim Ramadhani yang terbit pada tahun 2018 di jurnal Jurist-Diction berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Penganut Ateisme Di Indonesia.

Tulisan yang juga menggunakan cara pandang normatif ditulis oleh Muhamad Ali pada tahun 2023. Tulisan yang berjudul The Threat No More? Indonesian Atheists, Pancasila, and the Search for A Common Moral Ground tersebut membahas implikasi dari cara pandang Pancasila yang menurut Ali sangat theistic (ketuhanan) terhadap keberadaan kelompok ateis di Indonesia.

Yang terakhir ialah tulisan berikutnya oleh Ismail Hasani dengan judul “The Decreasing Space for Non-Religious Expression in Indonesia: The Case of Atheism” terbit didalam buku “Religion, Law and Intolerance in Indonesia” yang diedit oleh Tim Lindsey dan Helen Pausacker pada tahun 2016.

Pendekatan kedua ialah pendekatan yang berfokus melihat kehidupan kelompok ateis di dalam komunitas beragama. Berbeda dengan pendekatan pertama, pendekatan ini lebih melihat dinamika kehidupan kelompok ateis serta bagaimana mereka menegosiasikan aktivisme mereka dengan pembatasan dari negara.

Kesimpulan utama pendekatan ini ialah ada berbagai macam spektrum kelompok ateisme di Indonesia, dan masing-masing kelompok memiliki pandangan berbeda dalam melihat gerakan ateisme di Indonesia.

Misalnya pada tulisan Timo Duile berjudul Atheism in Indonesia: State discourses of the past and social practices of the present yang melihat diskursus ateisme di Indonesia dipengaruhi oleh agenda negara, terutama cara negara melakukan representasi kelompok komunis sebagai kelompok yang anti agama.

Dalam karyanya yang lain berjudul “Being Atheist in the Religious Harmony State of Indonesia” Timo Duile mengalihkan kajiannya dengan lebih melihat gerakan dari komunitas-komunitas ateis di Indonesia. Penelitian kedua Duile ini, juga penelitian yang pertama sebelumnya, menggunakan metode etnografi. Duile berhasil memasuki komunitas Ateis di Jakarta dan mewawancarai secara langsung para penggerak ateisme di Indonesia.

Tulisan lain yang melihat diskursus ateisme di masyarakat Indonesia dilakukan oleh Saskia Schafer. Dalam tulisan berjudul Forming ‘Forbidden’ Identities Online: Atheism in Indonesia yang terbit tahun 2016, Schafer melihat penghukuman terhadap ateisme sebagai sikap reaksioner negara atas visibilitas kelompok ateisme di ruang publik.

Terakhir ialah tesis yang ditulis oleh Krisna Yogi Pramono di Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau lebih dikenal siangkatannya dengan CRCS di Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Meninggalkan Agama: Identifikasi, Stigma, dan Diskriminasi Warga Non-Agama di Indonesia”. Krisna Yogi Pramono melihat ada banyak pelabelan bagi orang yang melepas agama di Indonesia, dari ateis/ateisme, agnostik-ateis, panteis hingga yang tidak melabeli diri secara spesifik. Untuk itu, Krisna menggunakan istilah “non-agama” untuk memayungi semua pelabelan terhadap orang-orang yang memiliki pilihan untuk tidak memeluk agama apapun di Indonesia. Krisna melihat non-agama sebagai fenomena kombinasi antara afirmasi dan negasi terhadap identitas religius, serta identifikasi diri sebagai religius dan non-religius yang diterapkan secara cair dan situasional.

Meski kepustakaan tersebut tampak berbeda dalam melihat ateis di Indonesia, namun memiliki kesamaan yang melatarbelakangi studi mereka. Kecuali, Krisna Yogi Pramono, kehadiran kepustakaan tentang ateisme yang terpantik karena munculnya kasus yang menimpa Alexander Aan, seorang pemuda di Dharmasharaya, Sumatera Barat yang dipidana karena sebuah obrolan tentang ateisme di group facebook “Ateisme Minang”. Kasus Alexander Aan mendapatkan sorotan luas pada tahun 2012 tidak hanya karena memantik perdebatan publik tentang keberadaan komunitas ateis di Indonesia, namun juga memunculkan pro dan kotra atas sikap negara dalam memenjarakan seseorang yang mengkampanyekan ateisme. Sedangkan tesis Krisna Yogi yang disidangkan pada tahun 2021, menurut penulis muncul bersamaan dengan kemunculan orang-orang yang mulai berani untuk membicarakan ide-ide tentang ateisme, agnostik dan panteisme sebagai sebuah gaya hidup baru.

Bagaimana Kajian Ateisme “Dibicarakan” di Indonesia?

Seperti yang disampaikan Timo Duile dalam tulisannya, mendefinisikan apa itu ateisme tidaklah mudah. Hal ini karena ada banyak sudut pandang mengenai “Tuhan”, posisi yang berbeda dengan makna “percaya” dan dalam konteks Indonesia, ateisme bukan sekedar bermakna teologi namun juga politis.

Hal ini juga terlihat dari cara ateisme didiskusikan dalam kepustakaan di Indonesia. Ateisme tidak hanya didiskusikan dari sudut pandang studi agama (religious studies), namun juga sudut pandang hukum dan politik.

Menggunakan perspektif hukum, Jagok Halim Ramadhani melihat sistem hukum di Indonesia tidak secara khusus melarang ataupun memberi tempat pada paham ateisme. Pada bagian kesimpulan tulisannya, Jagok mendefinisakan ateisme  sebagai paham   yang   menolak   eksistensi  Tuhan  dan  agama.

Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan, pengertian yang luas dari konsep Tuhan membuat banyak orang bisa  berbeda  dalam  mengartikan  konsep  ateisme. Hal ini juga yang Jagok amati dari sistem hukum di Indonesia ketika membahas ateisme. Dengan tidak adanya kesepakatan  mengenai  kedudukan  penganut  ateisme  dalam  sistem  hukum  Indonesia,  mengakibatkan  tidak  adanya  kepastian  hukum  terkait  perlindungan  hukum  bagi  penganut  ateisme  di  Indonesia.

Ateisme dalam tulisan Ismail Hasani tidak memiliki banyak perbedaan dengan Jagok, karena keduanya sangat kuat dipengaruhi oleh perspektif hukum dalam melihat ateisme di Indoneisa. Hal ini juga kemudian membuat posisi Ismail dan Jagok sama dalam melihat ateisme.

Bagi Ismail, ateisme tidak secara eksplisit dilarang oleh negara, untuk itu orang-orang ateis seharusnya tidak bisa dipidanakan. Bagi Ismail ateisme adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang seharusnya dilindungi oleh negara. Dalam tulisannya, Ismail menekankan bahwa, perlunya melihat ateisme sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh hak sipil dan politik yang tertera dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Dalam kajiannya tentang ateisme di Indonesia, Muhamad Ali menggunakan Pancasila untuk melihat posisi ateis di Indonesia. Bagi Ali, ateis di Indonesia tidak menolak ataupun menggugat kata “ketuhanan” yang ada dalam sila pertama.

Justru yang terjadi ialah adanya upaya dari kelompok ateis di Indoneisa untuk memberikan tafsiran berbeda atas kata tersebut. Menggunakan metode wawancara online, Ali melihat adanya upaya kelompok ateis di Indonesia untuk menegosiasikan eksistensi mereka dalam kerangka masyarakat harmonis melalui upaya kontekstualisasi Pancasila.

Tulisan Saskia Schaefer memperlihatkan citra ateisme di Indonesia tidak hanya memiliki makna teologis, namun juga memiliki makna politis. Hal ini karena ateisme dipersepsikan tidak hanya merujuk pada orang-orang yang mengakui tidak ada Tuhan, tetapi juga merujuk pada orang-orang yang berafiliasi dengan gerakan komunisme.

Melalui penelusuran tentang ateisme di media online, Schaefer melihat begitu banyak diskusi yang melihat orang-orang ateis sebagai ancaman terhadap negara. Schaefer melacak diskusi-diskusi tersebut hingga aktivitas-aktvitas kelompok ateis di media online, dan menemukan adanya upaya dari negara untuk menggambarkan ateisme sebagai sebuah gerakan politik dari kelompok komunis.  

Dalam dua karyanya, Duile menemukan bahwa gerakan ateisme di Indonesia tidaklah seragam. Ada banyak spektrum gerakan ateisme, terutama dalam melihat posisi gerakan mereka sebagai sebuah gerakan non-politik atau politik.

Variasi gerakan ini menurut Duile karena ateis di Indonesia menyadari bahwa mereka berada di luar wacana “harmoni agama” sehingga mereka apatis terhadap politik di Indonesia. Duile membagi tipologi ateisme di Indonesia berdasarkan cara orang-orang ateis melihat diri mereka terlibat dalam politik.

Untuk itu, Duile menggunakan istilah ateis kanan untuk menyebut orang-orang ateis yang apatis terhadap politik dan ateis kiri untuk menyebut orang-orang ateis yang terlibat dalam aktivitas politik.

Meski begitu, ketika proses pengumpulan data lapangan, Duile menyadari bahwa kategorisasi ini terlalu menyederhanakan ragam cara pandang orang-orang ateis yang ada di Indonesia. Duile melihat adanya keterikatan ateis dengan keluarga, lingkungan dan ancaman dari masyarakat.

Keterikatan orang-orang ateis dengan lingkungan tempat ia berada juga menjadi temuan utama Krisna Yogi Pramono. Dalam tesisnya, ia menyebut ateis sebagai bagian dari moda yang beragam dari fenomena “non-agama” di Indonesia. Krisna Yogi melihat orang-orang yang melabeli diri sebagai bagian dari kelompok “non-agama” maski telah keluar dari agama, namun tetap terikat dengan agama. Kondisi ini terjadi karena orang-orang “non-agama” hidup dalam komunitas beragama, sehingga memerlukan fleksibelitas dalam berinteraksi dengan dunia sosialnya.

Keterbatasan kajian Ateisme di Indonesia

Penulis melihat kajian ateisme di Indonesia terbilang sangat minim atau terbatas. Keterbatasan yang paling terlihat ialah sulitnya para peneliti untuk melakukan penelitian etnografi dan bertemu secara langsung dengan penganut ateisme. Seperti yang dapat terlihat dari kepustakaan yang ada, hanya ada satu dari enam penelitian yang langsung bertemu dengan komunitas ateis dan dua penelitian yang hanya bisa melakukan wawancara secara personal.

Keterbatasan ini mungkin disebabkan istilah ‘ateis’ masih sangat kontroversial di Indonesia. Selain itu, di masyarakat Indonesia seperti dikatakan oleh Schaefer, ateisme dikaitkan dengan gerakan politik kelompok komunis dan agama lokal yang sering mendapatkan stigma sebagai orang-orang tidak beragama. Selain itu, kasus Alexander Aan pada tahun 2012 juga memberi dampak bagi orang-orang ateis yang kemudian mereka harus lebih berhati-hati dalam menyatakan pandangan mereka ke publik.

Menariknya, dua peneliti terakhir, Duile dan Krisna Yogi, menggunakan metode etnografi dan fenomenologi dalam kajiannya mengenai ateis. Penulis melihat, hal ini menandakan adanya perubahan situasi di dalam kelompok ateis sehingga memungkinkan bagi Duile dan Krisna untuk bertemu dan melakukan wawancara secara tatap muka.

Keterbatasan berikutnya ialah sedikit sekali (mungkin sama sekali tidak ada) kajian yang menggunakan perspektif kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam membahas ateisme.

Meski Jagok dan Ismail telah menyinggung perlunya perlindungan hukum bagi orang-orang ateis, namun keduanya tidak mempromosikan perspektif kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam tulisan mereka. Jagok menekankan pada aspek kesetaraan di hadapan hukum dan Ismail pada kebebasan berekspresi.

Tawaran Perspektif KBB

Menimbang kajian-kajian yang ada di atas, perspektif KBB dalam kajian ateisme menjadi semakin diperlukan mengingat dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) pun masih ada bias terhadap orang yang tidak beragama.  Ini tampak pada Pasal 302 yang menyebutkan bahwa menghasut atau memaksa seseorang agar “menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia” dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun. Pelarangan pemaksaan sejalan dengan prinsip KBB, namun menyebut “tidak beragama” secara khusus (pada Pasal 302 ayat 1) menunjukkan masih adanya bias dan stigmatisasi pada mereka yang tidak beragama.

Hal ini menunjukkan pentingnya kajian KBB untuk mengadvokasi hak-hak warganegara yang memilih untuk tidak beragama dalam konteks hukum Indonesia yang baru. Menggunakan perspektif KBB dalam mengkaji ateisme akan memperkaya pemahaman kita tentang seberapa jauh penghormatan terhadap hak beragama di Indonesia.

Perspektif KBB tidak hanya membahas persoalan ateisme dari aspek perlindungan terhadap hukuman pidana atau sanksi hukum lainnya, namun juga akan mendorong diskusi seberapa jauh negara melindungi kebebasan mereka.

Seperti yang disampaikan oleh Steven G. Gey, diantara manfaat melihat ateisme dari perspektif KBB ialah mampu memunculkan pertanyaan, antara lain, seberapa jauh pengakuan dan dukungan pemerintah terhadap agama dan non-agama seharusnya diterjemahkan ke dalam kebijakan publik?

Lalu, tindakan konkret apa yang harus diambil oleh pemerintah untuk menciptakan kondisi yang mendukung kehidupan beragama dan non-beragama dalam Masyarakat tersebut?


Yogi Febriandi adalah anggota Divisi Penelitian pada Indonesian Scholars Network on Freedom of Religion or Beliefs (ISFORB)