Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Dalam Konflik Multidimensi, Gerakan KBB Penting Memegang Paradigma Dekolonial dan Interseksionalitas

Konflik antara korporasi dan masyarakat adat terjadi di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Yang memprihatinkan adalah korporasi tersebut dimiliki oleh Keuskupan Maumere, dengan nama PT Kristus Raja Maumere (Kristama), dan masyarakat adat yang menjadi korbannya, suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai, juga penganut Katolik.

Diskusi Virtual Bulanan Koalisi Advokasi KBB Indonesia di bulan Maret 2025 ini mengangkat keprihatinan tersebut dengan mengundang Peneliti ISEAS Singapura, Made Supriatma; peneliti pascadoktoral Universitas Radbound, Tamara Soukotta; dan Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Zainal Abidin bagir, untuk mendiskusikan konflik ini dari pelbagai sisi. Diskusi berlangsung secara daring pada Jumat, 21 Maret 2025.

Pembicara pertama, Made Supriatma, secara emosional mengomentari peristiwa ini. “Saya dididik secara Katolik oleh para Imam Katolik yang berasal dari Flores (pulau tempat konflik terjadi-red). Saya mendapatkan banyak pencerahan intelektual dan spiritual dari mereka, tetapi yang mereka lakukan itu sangat mengecewakan,” ungkapnya.

Ia merujuk hasil risetnya untuk konteks Papua di tahun 2020 lalu, yang ternyata sudah memuat wawancara dengan Imam Maumere dan menyinggung keberadaan konflik di sana. Namun, karena risetnya saat itu tak berfokus pada konflik agraria, ia baru menyadari signifikansinya sekarang.

“Ternyata peristiwa ini sudah berlarut-larut, sejak zaman kolonial di mana perkebunan Belanda dibeli oleh Gereja, lalu datang masyarakat adat yang dipandang penyerobot lahan,” ungkapnya. Meski secara legal berhak mengklaim tanahnya, Gereja tak seharusnya memperlakukan mereka bagai penyerobot lahan. “Mereka adalah masyarakat adat yang kehilangan tanah leluhurnya, akibat terjangan tsunami di masa lalu,” tambah dia.

Ia mengambil contoh keberhasilan Keuskupan Agung Ende, yang pernah berkonflik dengan masyarakat setempat, tetapi berhasil mencapai jalan keluar. “Keuskupan (Ende) bersedia merelakan sebagian tanahnya, tetapi memohon tetap menggunakan sebagian tanah lainnya, untuk digunakan usaha yang keuntungannya menopang pendidikan calon imam Gereja,” ucapnya.

Keuskupan Maumere bisa mencontoh itu, sebagaimana mereka melakukan pendidikan pastoral untuk jemaatnya.

“Masyarakat adat itu bisa dilibatkan mengelola usaha bersama, seperti dalam bentuk koperasi, di mana mereka bisa mendapat keuntungan juga,” kata Made. Namun, gereja justru tampak lebih arogan dan mengerahkan jemaatnya untuk terlibat dalam konflik. “Padahal Keuskupan Maumere bisa menunjuk penggiat masyarakat sipil yang berlatar Katolik sebagai direktur PT itu, untuk melakukan semacam pemberdayaan masyarakat,” pungkasnya.

Secara metodologis, korporasi dengan paradigma pembangunan kapitalistik selalu mengutamakan profit dibanding kohesi sosial dan kelestarian lingkungan. Tema ini menjadi bahasan utama pembicara kedua, Tamara Soukotta. Dengan presentasi berjudul Kekerasan Pembangunan, ia menempatkan gereja sebagai bagian dari proses pembangunan.

“Beberapa pihak memandang kasus ini dari kaca mata hukum belaka, padahal terdapat pola-pola kolonial di dalam praktik pembangunan,” tuturnya, membuka presentasi. Ia menggunakan paradigma modernitas-kolonialitas-dekolonialitas untuk menyoroti kasus ini. Pembangunan yang mengutamakan akumulasi keuntungan dan menganggap modernitas sebagai sesuatu yang baik adalah khas kolonial.

“Ada kemajuan yang terlihat, tetapi terdapat kekerasan yang tidak terlihat,” tambahnya.

Ia mencontohkan, dalam pembangunan berorientasi modernisasi, terjadi penyingkiran terhadap mereka yang dianggap tidak modern dan penghambat pembangunan. Di sinilah logika kolonial bekerja, karena mereka memandang secara rasis kelompok yang dianggap tidak modern itu. Kolonialisme juga terjadi karena pada akhirnya mereka mengesahkan perampasan ruang hidup untuk mengakumulasi kapital.

Bukan hanya merampas ruang hidup, kolonialisme juga membentuk subjektivitas kolonial pada mereka yang dijajah, penyebaran ilmu pengetahuan modern yang seakan satu-satunya valid, dan menciptakan bentuk tata kelola yang melanggengkan kolonialisme itu. Pembangunan sebagai proses perkembangan harus dibedakan dari pembangunan sebagai paradigma, yang merupakan hasil eksploitasi Barat sejak kolonialisme dan kapitalisme.

Di sisi lain, masyarakat adat sudah berada jauh sebelum kehadiran gereja, negara, dan korporasi. “Dengan atau tanpa pengakuan negara, masyarakat adat tetaplah masyarakat adat dengan wilayahnya,” ungkapnya. Apakah mereka harus diakui negara terlebih dahulu untuk mendapatkan hak atas ruang hidupnya? Di sinilah, lanjut Tamara, kolonialisme bekerja dalam bentuk pengetahuan yang sah dan legal untuk melegitimasi penyingkiran mereka.

Ia melihat perlawanan yang mengundang solidaritas dari salah satu anggota masyarkat adat yang menolah PT Kristama, Cece Gelting. Ia menunjukkan perlawanan Cece, seorang transpuan, membangkitkan solidaritas. “Apakah kita harus merasakan ketertindasan terlebih dahulu untuk bersolidaritas?” tanyanya. Ia menyerukan solidaritas ini kepada masyarakat sipil mana pun, karena mengaku tidak berpihak dalam kasus seperti ini adalah justru berpihak pada yang menindas.

Pembicara terakhir, Zainal Abidin Bagir, mengomentari dengan dua poin besar. “Pertama, dalam bahasa akademis, persekusi terhadap Cece atas nama penodaan agama ini disebut lawfare,” ucapnya. Lawfare adalah penggunaan instrumen hukum untuk menyerang pihak tertentu. Isu penodaan agama, yang kerap digunakan untuk itu, terulang kembali dalam kasus di Sikka ini, ketika Gereja memperkarakan protes Cece Ginting yang menggambar karikatur seorang Imam Katolik berkepala alat berat.

Kedua, isu interseksionalitas. Gerakan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan perlu menghubungkan dirinya dengan isu lain di dalam HAM, seperti isu hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil dan politik. “Dalam kasus konflik agraria, misalnya, kelompok agama dan KBB kerap tampak mengisolasi diri dari isu lain,” ucapnya. Ketika seseorang hanya fokus pada satu isu seperti KBB, seseorang tidak akan progresif karena mementingkan dirinya sendiri.