Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Om Jacky Manuputty dan “Dialogue of the Hand”

Oleh: Tedi Kholiludin | Republikasi dari ELSA Online

Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ke-18 memilih Pendeta Jackvelyn Frits Manuputty sebagai Ketua Umum. Bertempat di Auditorium Universitas Kristen Indonesia Toraja, Kota Rantepao, Sulawesi Selatan pada 12 November 2024, Pendeta Jacky Manuputty terpilih secara aklamasi. Terpilihnya Jacky Manuputty sejatinya sudah terprediksi jauh-jauh hari. Aktivis perdamaian asal Ambon tersebut punya rekam jejak panjang dalam misi kemanusiaan. Beberapa penghargaan sebagai peace maker atau peace builder adalah bukti bahwa dirinya berkomitmen kuat untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan melintasi batas-batas identitas.

***

Momen yang bermakna ketika pertemuan jejaring lintas iman nasional adalah bersua dengan banyak orang yang dalam aktivitas kesehariannya tak Lelah merajut simpul-simpul perdamaian. Salah satu sosok yang kerap saya simak dengan seksama tuturannya dalam pertemuaan aktivis dari berbagai penjuru Nusantara adalah Pendeta Jackvelyn Frits Manuputty alias Om Jacky Manuputty. Dari namanya, mudah ditebak; ia berasal dari Maluku.

Galibnya, perkenalan saya dengan teman-teman dari timur Indonesia dilatari oleh kesamaan sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di kampus yang sama, tidak demikian halnya jalan saya mengenal Om Jacky. Saya mengenal, lalu berguru pada laki-laki kelahiran 1965 itu, melalui jalur aktivisme. Meski pada gilirannya teman-teman saya di kampus, hampir semuanya adalah junior Om Jacky di Gereja Protestan Maluku (GPM).

Kali pertama saya bersua dengannya terjadi pada 13 Oktober 2012 di almamaternya, Sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat (STFT, dulu STT Jakarta). Asosiasi Teolog Indonesia (ATI) menggelar sebuah diskusi dan saya berkesempatan untuk turut terlibat dalam diskusi yang diisi oleh teolog maupun aktivis dari berbagai gereja, termasuk Om Jacky. Saya masih ingat beberapa penggal ide yang didedah Om Jacky, salah satunya ancaman deforestasi di sebuah kepulauan di Maluku.

Meski momen tersebut adalah kali pertama saya bersua, tetapi tulisan serta kiprahnya sudah saya dengar dari tuturan teman-teman. Di dunia aktivisme, nama Jacky Manuputty melekat sebagai “provkator damai.” Bersama sahabat-sahabatnya di Ambon, pria kelahiran Haruku (Maluku Tengah) dan besar di Amahusu (Kota Ambon) mendirikan Lembaga Antar Iman (LAIM). Konflik bernuansa identitas di Maluku pada 1999-2000, membutuhkan energi besar untuk memulihkannya, karena relasi keseharian banyak yang terkoyak. Pria yang menggondol gelar master untuk studi perdamaian dan dialog lintas iman dari Hartford Seminary itu tentu tak sendiri, ada banyak elemen yang turut terlibat dalam proses ini.

Saat berada satu forum dengannya di tahun 2012 itu, saya mengira ia akan berkisah tentang relasi antar iman atau isu-isu pluralisme lainnya, karena melalui tema inilah saya mengenal nama Jacky Manuputty. Namun, perkiraan saya sedikit meleset. Dua pertiga narasi di awal ceramahnya adalah tentang isu deforestasi yang tidak hanya mengancam ekologi tapi juga relasi sosial. Ia menampilkan peta provinsi Maluku dengan 1.412 pulaunya. Jacky berharap dengan menampilkan visualisasi, peserta diskusi bisa terbantu untuk membayangkan problematika di Maluku secara geografis. Jika hutan dibuka, selain berkontribusi pada perubahan iklim, bencana alam, juga berpotensi menggusur penduduk yang selama ini menjadikan hutan sebagai habitatnya.

Usai menjelaskan potensi kerusakan lingkungan yang terjadi karena pembukaan hutan, Jacky akhirnya masuk pada inti persoalan; bagaimana tanggungjawab sosial agama-agama menghadapi situasi tersebut. Singkatnya, dalam bahasa saya, ada dua hal yang hendak disorotinya. Pertama, persoalan yang berkaitan dengan agama tak hanya tentang relasi manusia dengan manusia, tetapi juga manusia (yang beragama) dengan ekosistemnya. Kedua, kerusakan lingkungan bisa menjadi area perjumpaan kelompok agama. Kalau meminjam “forms of dialogue”nya Leonard Swidler, praksis terlibat dalam advokasi masalah kemanusiaan merupakan bentuk “dialog dengan tangan” atau “dialogue of the hand.”

Selain soal isi ceramah, yang kebanyakan berasal dari pergumulannya, saya juga kerap memperhatikan gaya bicaranya. Struktur bahasanya rapi, intonasinya tenang dan tak berapi-api. Ia tak terburu-buru menuntaskan kalimat. Sesekali, ia coba mengayun audiens dengan caranya. Kalau mendengar bicaranya, akan banyak orang yang akan terkecoh dan mungkin tidak mengira jika Jacky orang Ambon.

***

Pada 2022, ketika mengunjungi Ambon dan sempat menyambangi Ketua Sinode GPM, Pendeta Elifas Maspaitella di kantornya, saya berbicara sedikit soal suksesi di PGI pada 2024. Nama Jacky Manuputty, kata Elifas, setidaknya hingga momen dimana kami menggelar obrolan di kantor yang kala itu sedang direnovasi, sepertinya tak terbendung. Benar saja, pada Sidang Raya PGI di Toraja yang baru saja selesai November 2024, Jacky terpilih sebagai Ketua PGI.

Bagi GPM, Jacky adalah nama kedua setelah 40 tahun sebelumnya, Pdt Prof Dr Peter Dominggus Latuihamallo, pernah menempati posisi Ketua Umum PGI pada periode 1980-1984.