Oleh: Risdo Simangunsong | Republikasi dari Jakatarub
Penjelasan soal hubungan agama dan negara di Indonesia sering kali ditempuh dengan vita negativa: “Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler.”
Pemilihan “dua bukan” ini, merupakan jalan kompromi para pendiri bangsa kita, antar kelompok sekuler, utamanya kalangan kiri dan nasionalis-sekuler dengan kelompok religius, utamanya kalangan nasionalis-religius dan kelompok Islam.
Konsep “bukan negara agama” tentu jelas. Bahwa negara kita bukanlah negara yang aturannya berlandaskan ajaran satu agama. Kita menghargai keragaman agama dan mengupayakan aturan yang adil untuk semua. Namun semangat “bukan negara sekuler”, sering dimaknai bahwa agama sangat penting, tidak mungkin ditinggalkan dalam kebijakan publik.
Kita bisa saja mengamini hal tersebut dalam idealisme kita sebagai insan nusantara. Menyebutnya sebagai paradoks yang mesti Indonesia hidupi. Tapi dilema segera terasa, begitu merinci aturan, kebijakan dan sikap pemerintah dalam tataran praktis.
Seberapa boleh?
Bolehkah negara memaksa agar warganya menjadi penganut agama yang saleh, dalam arti mengikuti ritual dan ajaran keagamaan secara taat?
Persepsi sekuler jelas menolak hal tersebut. Negara tidak boleh mencampuri urusan keimanan tiap warganya. Apalagi secara rasional kita tahu, bentuk kesalehan itu multitafsir. Tapi, persepsi religius agaknya menyajikan tantangan, saat kata memaksa tadi digeser menjadi mewajibkan, mendorong, membantu atau memfasilitasi.
Tarikan di antara ujung membantu dan ujung memaksa itu kita akan banyak jumpai dalam sejumlah kebijakan dan aturan.
Aturan hijab bagi siswi dan ASN muslimah misalnya, atau wajib Jumatan dan wajib hafal Quran sebelum sumpah jabatan boleh dikategorikan sebagai cara negara mewajibkan bahkan memaksa pelaksanaan aturan keagamaan. Sementara insentif khusus bagi siswa atau pegawai yang hafal Quran, penghargaan pada ASN yang rajin shalat jumat atau ibadah minggu adalah contoh negara mendorong pelaksanaan aturan keagamaan. Ini tentu berbeda dengan negara membantu pencetakan kitab suci, atau memfasilitasi pelaksanaan ibadah haji.
Persepsi sekuler tidak menerima yang manapun. Negara memberi bantuan atau fasilitas semata-mata bentuk layanan negara pada kelompok warga, bukan soal agamanya. Jadi tak ada beda pengurusan perizinan gereja dengan bangunan lain. Tak perlu beda fasilitasi pawai ogoh-ogoh dengan gerak jalan atau demonstrasi buruh. Keberangkatan haji cukup dijadikan ad-hoc dari urusan perjalanan luar negeri. Negara steril dari keyakinan agama, biar itu urusan tiap komunitas agama dengan segala perbedaannya.
Namun, persepsi religius sepertinya membenarkan kalau negara memfasilitasi dan membantu. Bahkan, belakangan bergeser kalau negara mendorong dan mewajibkan pun sudah terasa “tak masalah.”
Tepat disitu pulalah dilema kita.
Leave a Reply