Anggapan masyarakat adat tidak beradab dan menganut aliran sesat masih banyak beredar di jagat digital. Ketika melakukan penelusuran kata Naulu di Google, misalnya, maka stigma yang muncul di internet adalah tuduhan bahwa Naulu adalah suku pemenggal kepala orang.
Hal tersebut disampaikan Aharena Matoke yang mewakili perempuan adat dan suaminya, Patty Nahatue, Ketua Adat Naulu, dari Pulau Seram, Maluku, dalam penyelenggaraan International Conference on Indigenous Religions (ICIR) ke-6 bertema Performing Democracy oleh Intersectoral Collaboration on Indigenous Religion (ICIR Rumah Bersama) pada 23-25 Oktober 2024 di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Maluku.
Selain dari Naulu, hadir juga dalam konferensi internasional ini Huaulu dan Nuniali dari Pulau Seram serta masyarakat adat lainnya dari Pulau Buru bahkan Talaud, Sulawesi Utara, dan Mentawai, Sumatera Barat.
Masyarakat adat dan penghayat agama leluhur menghadapi perampasan lahan dan berbagai bentuk penyempitan ruang hidup yang membuat mereka menjadi sangat rentan. Mereka sulit sekali mengakses sumber daya alam, mempertahankan tempat-tempat ritual, dan mendapatkan hewan ritual adat yang sebelumnya berlimpah.
“Selama ini KTP kami tertulis Hindu, padahal kami bukan Hindu. Di sekolah anak-anak kami hanya diberikan pilihan pelajaran agama Islam atau Kristen,” ungkap Aharena Matoke saat Konferensi Pers ICIR 6 di IAKN Ambon (23/10).
Sehari sebelumnya, Selasa (22/10), dalam diskusi terbatas bertema media dan masyarakat adat, yang masih dalam rangkaian ICIR 6, Alfika Mamalango dari ADAT Musi, Talaud, menyampaikan dampak dari KTP mereka yang tertulis bukan salah satu dari 6 agama di Indonesia, sehingga kesulitan untuk mendapat pekerjaan.
“Kolom agama di KTP tertulis bukan dari 6 agama itu, lalu ketika ada dari warga ADAT Musi mendaftar TNI dan Polri, mereka ditolak,” papar Alfika.
ICIR ke-6 di Ambon yang diresmikan Pj Gubernur Maluku Sadali pada Rabu, 23 Oktober 2024, ini melibatkan para akademisi, peneliti, praktisi, aktivis organisasi masyarakat sipil, dan anggota masyarakat untuk berbagi gagasan dan praktik demokrasi keseharian, seperti dialog antaragama, konflik dan binadamai, seni visual dan pertunjukan, hak asasi manusia, perubahan iklim dan keadilan ekologi, ekonomi tradisional dan kreatif, pendidikan dan kesehatan tradisional dan modern, dan sebagainya.
Sejatinya, menurut Koordinator ICIR 6 Dr. Samsul Maarif, keterlibatan aktif masyarakat adat dan penghayat kepercayaan dalam ICIR 6 ini sebagai upaya mengangkat suara-suara dari bawah. Sebab, praktik demokrasi oleh elit politik justru kerap mengecewakan mereka.
“Karena itu, ide-ide keseharian yang dipraktikkan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan, harus menjadi kesadaran semua pihak sebagai uaya pemajuan demokratis atau kewarganegaraan yang substantif,” ujar Samsul Maarif yang menggawangi Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Karena itu, sambung pria yang akrab disapa Anchu ini, pelaksanaan ICIR 6 di Ambon adalah simbolisasi pemajuan demokrasi berbasis keseharian yang selama ini ditempuh oleh mama-mama dari masyarakat adat dan penghayat kepercayaan leluhur Naulu, Huaulu, Nuniali, dan lainnya di Maluku.
Selaku tuan rumah, Rektor IAKN Ambon Prof. Dr. Yance Z. Rumahur, MA, menegaskan bahwa sinergi antara masyarakat adat, penghayat agama leluhur, kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan menjadi langkah penting agar terjadi perubahan pada kebijakan-kebijakan yang mampu menghapus pelanggaran terhadap hak-hak kelompok rentan dan memajukan yang terpinggrikan.
“Kerja sama IAKN Ambon dengan ICIR Rumah Bersama yang didukung oleh lembaga-lembaga lainnya agar suara dari timur terdengar,” harap Yance.
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti turut menaruh harapan agar melalui ICIR 6 di Ambon ini perempuan adat tidak terus-menerus mengalami kekerasan dan diskriminasi yang berlapis. Dari konferensi ini para akademisi, pemerintah, dan publik dapat belajar dari masyarakat adat bahwa mereka adalah pembentuk identitas jati diri bangsa ini, yang tidak layak hanya dijadikan objek, alat dan kepentingan politik sesaat.
“Karena itu negara harus segera mengesahkan undang-undang perlindungan masyarakat adat,” tuntut Dewi Kanti.
Sehingga Dewi Kanti mendorong agar melalui ICIR 6 di Ambon, masyarakat adat, perempuan adat, dan penghayat kepercayaan leluhur ke depannya selalu dilibatkan dalam proses demokrasi yang partisipatif dan substantif.
ICIR ke-6 dihelat oleh panitia yang terdiri dari anggota-anggota sukarela dari the Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions Rumah Bersama dan dosen atau pegawai Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Maluku, bekerja sama dengan dan disponsori oleh beberapa lembaga seperti The Asia Foundation (TAF), Komnas Perempuan, LKiS, CRCS UGM, ICRS, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon, Kemitraan, Pusad Paramadina, Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan, Badan Pelestarian Budaya Wilayah XX, PGI, University of Oslo, International Center for Law and Religion Studies, serta International Media Support (IMS).
Leave a Reply