Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Peluncuran Buku Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia: Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum

Melengkapi perhelatan International Conference and Consolidation on Indigenous Religion (ICIR) ke-6 di Ambon, Sekber KBB meluncurkan buku Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia: Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum di Auditorium IAKN Ambon, Kamis, 24 Oktober 2024. Buku ini adalah karya bersama para peneliti di dalam Koalisi Advokasi KBB Indonesia, yang diterbitkan oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia dan PUSAD Paramadina bekerja sama dengan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Sekretariat Bersama KBB.

Acara ini dihadiri beberapa penulis dan penyunting buku, yakni Jimmy Sormin (PGI) sebagai moderator, Ihsan Ali-Fauzi (PUSAD Paramadina), Maufur (ICRS), dan Asfinawati (STHI Jentera). Dalam pembukaannya, Jimmy memantik diskusi dengan pertanyaan sederhana, “Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, mengapa ide dan praktik kebebasan tampak tertinggal dibanding kerukunan, padahal kebebasan sudah ditanamkan semenjak negeri ini berdiri?”

Pertanyaannya itu merujuk pada temuan buku ini, di mana ide kebebasan sudah banyak dibicarakan sejak awal kemerdekaan Indonesia, bahkan tertuang di dalam Konstitusi. Untuk menjawabnya, Ihsan Ali-Fauzi memaparkan tiga garis isi buku.

Pertama, dalam manajemen kehidupan keagamaan di Indonesia yang sangat majemuk, terdapat dua model pengelolaan, yakni model kemerdekaan beragama yang tersebut di dalam UUD. Ide ini, akhir-akhir ini disebut sebagai kebebasan beragama, dengan penekanan pada kebebasan individual).

Model selanjutnya adalah kerukunan, yang bermula sejak Orde Baru meski tidak ada di UUD. “Model ini menekankan pada harmoni masyarakat, bahkan kalau perlu mengorbankan kebebasan invidual,” kata Ihsan, Model kedua ini dipilih oleh pemerintah dan menjadi paradigma dominan, hingga sekarang.

Kedua, penerapan model kerukunan yang berhadapan dengan kebebasan. Pada masa Orde Baru, pemerintah menerapkan kerukunan secara terang-terangan melalui trilogi kerukunan. “Di masa Reformasi, paradigmanya masih menguntungkan kerukunan tetapi dengan cara yang lebih ‘halus’, yakni melalui praktik-praktik perukunan, yaitu upaya-upaya mencapai kerukunan dengan cara paksa,” terang dia.

Penentangan kebebasan dan kerukunan kurang lebih mencerminkan dikalahkannya kebinekaan atas nama keutuhan. “Kebinekaan hanya sebagai simbol-simbol,” ungkapnya.

Jika nilai-nilai kebebasan dianggap sebagai nilai-nilai barat, Maufur justru menemukan konsep merdeka dan nilai-niai individual yang sudah ada jauh sebelum kolonialisme di luar Jawa. Istilah kemerdekaan beragama ini muncul dan berkembang pada masa kolonialisme Belanda ketika masa Politik Etis.

“Setiap warga negara berhak mengekspresikan keagamaannya semerdeka-merdekanya,” kata Maufur, mengutip salah satu naskah lama temuannya. Namun, masih terdapat pembatasan yaitu melalui paradigma rust in order. Kebebasan beragama individual dilindungi tetapi secara komunal dibatasi, sehingga kemerdekaan agama hanya berlaku pada agama yang bersifat ritual sementara yang mengancam kolonialisme harus dibatasi.

“Pada konteks Jepang, kerukunan ini mulai dilembagakan melalui lembaga-lembaga agama. Pada masa perjuangan kemerdekaan, yang menjadi prioritas ialah kemerdekaan di bidang politik dahulu,” pungkasnya.

Di masa Reformasi, Asfinawati menemukan 62 peraturan dan kebijakan dan 37 putusan yang menjadi materi analisis penelitiannya. “Kerukunan punya wajah banyak, misalnya dalam bentuk keluarga, toleransi, keagamaan. Sayangnya, kerukunan menjadi alat kontrol dan alat pelanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan,” kata dia.

Kerukunan dan agama menjadi pasangan solid. Ketahanan keluarga menjadi alat kendali baru untuk kepatuhan terhadap agama, bahkan sampai di tingkatan hak anak. Ini terlihat dalam RUU Ketahanan Keluarga. Di sisi lain, kerukunan nilai setempat, yang awalnya positif, menjadi alat kontrol. Aturan-aturan tersebut menjadi reformulasi Piagam Jakarta.

“Kata ketertiban dulu dikenakan pada masalah-masalah kota, seperti gelandangan. Namun, kata itu kini digunakan untuk mengatur moral masyarakat dan hadir dalam bentuk yang beragam,” tambahnya. Sementara itu, kata kebebasan hanya punya satu varian yaitu keberagaman. Istilah terkait kebebasan dan kemerdekaan terdapat di UUD dan beberapa UU, sementara kata ketertiban dan kerukunan berada di aturan tingkat yang lebih rendah.

“Dengan kata lain, dalam konteks kebebasan, Peraturan Daerah telah mengkudeta Undang-undang di atasnya,” kata Asfin.

Unduh buku ini: