Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Polisi yang Melindungi Hak Beragama

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi (Anggota Dewan Pengarah Sekber KBB)

Pada akhir tahun 2024 lalu, saya diminta untuk menjadi salah satu fasilitator dalam kegiatan Workshop Integrasi Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam tugas-tugas kepolisian. Kegiatan ini diselenggarakan oleh CSRC (Center for the Study of Religion and Culture, Pusat Kajian Agama dan Budaya) UIN Jakarta dan KOMNAS HAM. Sekitar 35 perwira dari Korps BRIMOB terlibat sebagai peserta dalam workshop ini.

Salah satu sesi yang paling menarik adalah ketika dilakukan diskusi kelompok. Dalam diskusi tersebut, fasilitator memberikan contoh kasus tentang pelarangan acara Jalsah Salanah yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Acara tahunan ini sedianya akan diselenggarakan pada 6-8 Desember 2024. Namun, acara tersebut mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat di Kuningan.

Larangan terhadap acara tersebut datang dari Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah), yang merupakan wadah koordinasi antara para Kepala Daerah, seperti Bupati atau Wali Kota, Ketua DPRD, Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, dan Komandan TNI Kabupaten Kuningan. Hasil pertemuan mereka menyatakan bahwa kegiatan pengajian tahunan ini bisa menyebabkan gangguan terhadap kondusivitas wilayah.

Akibat pelarangan tersebut, anggota Jemaat Ahmadiyah yang datang dari berbagai daerah terpaksa terlantar di berbagai titik lokasi. Polisi menutup akses jalan menuju lokasi kegiatan, sehingga acara akhirnya dibatalkan. Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan, trauma, bahkan tekanan psikologis bagi sebagian jemaat. Tak sedikit dari mereka yang mengalami intimidasi dari kelompok yang kontra.

Jaminan Konstitusi

Kekecewaan warga Jemaat Ahmadiyah tersebut dapat dimengerti. Sebagai warga negara, mereka paham bahwa Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menjamin kebebasan beragama. Terkait prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. “Setiap orang berhak untuk bebas memeluk agamanya dan beribadat menurut keyakinannya.”

Beberapa pihak berpendapat bahwa pelarangan Forkopimda tersebut bertentangan dengan amanat Undang-Undang yang menjamin keamanan hak beribadah warga negara. Pemerintah seharusnya menjamin kebebasan dan keamanan untuk beragama, beribadah, berkumpul, dan berorganisasi, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi.

Pertanyaan Diskusi

Sebagai anggota POLRI, salah satu tugas utama polisi adalah melayani dan melindungi hak asasi warga negara. Apa tindakan kepolisian yang harus diambil dalam menyikapi acara pengajian Jemaat Ahmadiyah tersebut?

Fasilitator mengajukan pertanyaan ini kepada peserta workshop. Peserta memiliki dua pandangan yang berbeda. Ada kelompok yang setuju bahwa jika acara sudah dilarang, maka polisi harus mendukung dan melakukan tindakan lanjutan sesuai keputusan tersebut.

Namun, kelompok lain berpendapat bahwa pelarangan tersebut seharusnya tidak boleh terjadi. Polisi harus melindungi dan menjaga keamanan mereka yang mengikuti acara pengajian. Jika ada pihak yang memrotes kegiatan tersebut, polisi pun harus membolehkan aksi tersebut. Hak kedua kelompok untuk melakukan kegiatan atau memrotes harus sama-sama dipenuhi. Polisi berperan menjaga keduanya agar berlangsung aman. Polisi boleh melakukan tindakan tegas yang terukur jika ada yang bertindak melebihi batas sehingga membahayakan orang lain.

Adu Argumen

Kelompok yang setuju dengan pelarangan mendasarkan argumennya pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah dianggap sesat dan menyesatkan. Selain itu, ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang diterbitkan pada tahun 2008 dan secara eksplisit melarang kegiatan-kegiatan Ahmadiyah di Indonesia.

Kelompok yang mendukung penjaminan hak beribadah membantah argumen tersebut. Menurut mereka, Fatwa MUI adalah pendapat dari sebuah organisasi ulama, yang bukan merupakan bagian dari struktur aturan negara dan pemerintah. Fatwa MUI tidak dapat dijadikan pedoman bagi polisi dalam bertindak atas nama negara.

Bantahan selanjutnya disampaikan dalam bentuk pertanyaan: “Dalam struktur perundang-undangan, manakah yang lebih tinggi, UUD/Konstitusi atau Peraturan Menteri?” Konstitusi merupakan dasar dari semua jenis aturan yang ada di bawahnya, sehingga tidak ada aturan di bawahnya yang boleh bertentangan dengan Konstitusi.

Jika konstitusi sudah jelas menjamin kebebasan beragama bagi warga negara, bagaimana mungkin ada aturan yang membatasinya?

Bertindak Cermat

Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengevaluasi tindakan kepolisian atas peristiwa yang terjadi di Desa Manislor, Kuningan tahun lalu. Peristiwa tersebut hanya dijadikan contoh kasus dalam sebuah acara diskusi.

Bagaimanapun, lembaga kepolisian adalah institusi penting dalam menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban, serta melayani warga negara. Sebagai pribadi, anggota polisi juga merupakan warga negara yang memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya. Polisi diberikan tugas oleh negara dengan fasilitas, insentif, dan kewenangan tambahan sebagai bekal untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib bagi warga negara.

Ketika keamanan dan ketertiban warga yang memiliki latar belakang beragam sudah dapat dipenuhi, maka harapan untuk menjalani kehidupan yang damai, tenang, penuh harmoni, dan maslahat bisa terwujud. Tugas aparatur negara adalah memastikan hal tersebut terwujud.

Atas dasar pertimbangan tersebut, kedua belah pihak sepakat bahwa polisi dapat menetapkan tindakan diskresi, yaitu kebebasan dalam mengambil keputusan dalam situasi tertentu. Apakah polisi akhirnya akan melarang atau tetap menjaga penyelenggaraan kegiatan, keputusan tersebut harus didasarkan pada pertimbangan dari tingkat ancaman di lapangan. Tindakan kepolisian tidak boleh hanya didasarkan pada desakan pihak lain semata, apalagi jika desakan itu hanya didasari sikap suka atau tidak suka.

Tindakan kepolisian harus mutlak didasarkan pada aturan perundang-undangan. Jika ada diskresi, maka tindakan tersebut harus dilakukan dengan sangat cermat, berdasarkan informasi yang akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pendapat Penyelenggara Diskusi

Pada akhir sesi, Idris Hemay, selaku Direktur CSRC, memberikan kesimpulan akhir sebagai berikut:

  • Kelompok Minoritas sebagai Kelompok Rentan. Minoritas agama sering kali menjadi kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban pelanggaran HAM, sehingga perlu mendapatkan perlindungan khusus sesuai prinsip-prinsip HAM.
  • Tugas Polisi Berdasarkan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan. Dalam menjalankan tugasnya, polisi wajib berpedoman pada konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diperkenankan menggunakan kebijakan atau peraturan yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, apalagi berdasarkan tekanan kelompok tertentu yang tidak mengikat secara hukum.
  • Peran Polisi sebagai Mediator yang Netral dan Objektif. Polisi harus mampu memposisikan diri secara netral dan objektif dalam menghadapi situasi yang melibatkan pro dan kontra pemenuhan hak kelompok minoritas. Sebagai mediator, polisi bertugas menjaga stabilitas tanpa memihak.

Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Pelaksanaan Tupoksi. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi), polisi dilarang menggunakan kekerasan, kecuali dalam keadaan yang diatur oleh hukum untuk melindungi diri atau orang lain dari ancaman serius.