Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Intimidasi Polisi di Kantor SPEK-HAM: Bayang Intimidasi dan Hilangnya Rasa Aman

Republikasi dari elsaonline

Senin siang di awal September  di Jalan Srikoyo, Surakarta, belasan mahasiswa magang tengah sibuk dengan kegiatan harian mereka. Kantor itu milik Yayasan SPEK-HAM, organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada isu-isu kesetaraan dan perlindungan korban kekerasan.

Suasana yang biasanya tenang berubah tegang dalam hitungan menit.

Sekitar pukul 14.00 WIB, empat pria bermotor berhenti di depan kantor. Mereka mengarahkan ponsel ke arah para mahasiswa magang yang tengah beraktivitas, merekam tanpa permisi.

“Kami merasa diperhatikan terus, seperti sedang diawasi,” kata salah satu mahasiswa magang.

Tak lama kemudian, belasan motor polisi berhenti di depan kantor. Mereka berpakaian dinas lengkap, sebagian membawa senjata. Beberapa pria berpakaian preman mendekat dan langsung menanyai mahasiswa magang itu dengan nada tinggi: Apakah kalian bagian dari massa aksi?

Mahasiswa menjawab lirih, “Kami hanya magang di kantor ini.” Jawaban tak cukup. Dua pria berpakaian preman memaksa masuk ke ruang rapat, menarik baju salah seorang mahasiswa dengan kasar. Di ruangan tengah berlangsung rapat pengurus yayasan.

“Situasinya mencekam. Kami merasa ruang aman ditembus begitu saja,” kata Rahayu Purwaningsih, Direktur SPEK-HAM, yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut pada (1/09/2025).

Ketakutan di Ruang Rapat

Rapat yang semula membahas program kerja mendadak buyar. Beberapa pengurus yayasan bergegas mencegah upaya pengambilan paksa mahasiswa itu. Adu mulut sempat terjadi. “Kami harus berdiri menghadang, karena itu jelas bukan prosedur,” ujar salah satu pengurus.

Beberapa menit kemudian, setelah protes keras dari pihak yayasan, rombongan polisi berseragam maupun berpakaian preman akhirnya meninggalkan lokasi. Ketegangan tidak ikut pergi bersama mereka.

Perasaan waswas hantu tak berkesudahan. Mahasiswa magang yang baru saja ditarik bajunya tampak gemetar. Staf lain tak henti mengulang pertanyaan: Mengapa polisi masuk tanpa izin?

Bagi SPEK-HAM, insiden ini bukan sekadar salah paham. Mereka menyebutnya sebagai bentuk intimidasi dan tindakan represif mencederai demokrasi.

“Ini menciptakan trauma, apalagi bagi anak-anak magang yang baru belajar terjun di dunia advokasi,” kata Rahayu.

Pola yang Berulang

Insiden intimidasi bukanlah peristiwa tunggal. Kehadirannya dalam lanskap ruang sipil Indonesia yang kian menyempit. Data SAFEnet mencatat 80 serangan digital sepanjang 2023, menyasar aktivis, staf LSM, jurnalis, akademisi, dan pekerja media, angka yang tak hanya menunjukkan kerentanan di ranah daring, tetapi juga memperlihatkan siapa yang paling rentan: mereka yang vokal mengkritik pemerintah.

KontraS, pada semester pertama 2025 saja, menemukan 76 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil, dengan puncak terjadi pada Maret, bertepatan RUU TNI. Mula-mula interogasi mendadak hingga penangkapan sewenang-wenang, polanya konsisten: aparat hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai penciduk.

Pola ini semakin jelas bila menilik jejak lima tahun terakhir. KontraS mencatat lebih dari 4.000 praktik kekerasan oleh aparat antara 2019–2025, yang berujung pada 6.513 warga sipil luka. Ekspresi politik di luar arus resmi ditanggapi dengan represi.

Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media pada tahun yang sama, dari pembunuhan, serangan fisik, hingga teror digital. Jika jurnalis saja tak luput dari represi, maka staf LSM semakin rawan jadi sasaran empuk.

Hukum dan Rasa Aman

Indonesia memiliki payung hukum yang jelas tentang hak atas rasa aman. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari rasa takut, teror, maupun ancaman.

Namun praktik di lapangan sering jauh dari teks hukum. Kehadiran aparat dalam jumlah besar, interogasi mendadak, hingga perekaman aktivitas staf tanpa izin, menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana jika pihak yang seharusnya melindungi justru menjadi pihak yang menimbulkan rasa takut itu?

Yayasan SPEK-HAM dalam pernyataannya mengecam keras kejadian tersebut. Mereka menuntut kepolisian untuk bekerja profesional, menghentikan tindakan intimidatif, dan mengembalikan rasa aman kepada warga sipil. “Polisi seharusnya melindungi, bukan membuat rakyatnya gemetar,” kata Rahayu.

Bagi organisasi masyarakat sipil seperti SPEK-HAM, ruang aman bukanlah sekadar fisik, melainkan syarat dasar agar advokasi dapat berjalan. “Kalau ruang kami ditembus dengan cara seperti itu, apa artinya kerja-kerja demokrasi?” ujar seorang staf.

Selagi pola ini berulang, pertanyaan yang tak terjawab tetap menggantung: siapa yang melindungi para pelindung hak sipil itu?