Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

1,6 Tahun: Kesempatan Hidup yang Terancam Direnggut Negara

Republikasi dari LBH Bandung

Muhammad Taufik Hidayat dituntut Jaksa selama 1,6 tahun karena protes pada negara yang tidak adil. Ia ditangkap oleh polisi dari rumahnya di Cianjur sejak bulan Mei. Kemudian, kurang dari dua puluh empat jam dan tanpa pendamping hukum Taufik dijadikan tersangka oleh Polisi. Setelah berada di dalam tahanan kurang lebih enam bulan, kini ia diancam pidana kurungan penjara selama 1,6 tahun.

Tentu saja tuntutan ini jauh dari rasa adil. Pasalnya Tuntutan ini didasarkan pada pengakuan Taufik bahwa ia melakukan tindak pidana pengrusakan—melempar batu sebanyak dua kali. Tetapi, pengakuan ini diambil dengan proses pemeriksaan yang dimanipulasi dan tanpa pendamping hukum. Polisi mengaku-ngaku memiliki bukti seperti CCTV, pemeriksaan tanpa henti hingga dini hari dan selama itu pula beragam tekanan muncul, hal itu mendorongnya mau tidak mau mengakui tuduhan itu.

Sedangkan bukti CCTV yang sejak awal disampaikan kepolisian sebagai alat bukti hanyalah ketika Taufik dan Sirajul tengah membeli rokok di toko swalayan sekitar tempat aksi. Tidak ada CCTV yang memperlihatkan jika Taufik tengah melakukan tindak pidana yang dituduhkan.

Taufik dituntut 1,6 tahun dengan tuduhan pelemparan batu sebanyak dua kali yang mengakibatkan kaca pecah. Namun jaksa tidak bisa membuktikan apakah lemparan batu Taufik lah yang mengakibatkan pecahnya kaca. Pasalnya, saksi lain mengatakan jika yang melakukan pengrusakan berjumlah puluhan orang.

Saksi yang hadir dalam persidangan kerap memberi kesaksian yang tidak konsisten dan persisten. Mengaku melihat Taufik dan Sirajul melakukan tindakan pengrusakan dari jarak 10-15 meter. Padahal mereka juga akui jika penerangan pada pukul sepuluh malam itu sangat remang. Mereka mengaku jika melihat wajah mereka secara sekilas, kemudian pengakuan lain hanya mengenali warna pakaian. Atas dasar-dasar saksi yang tidak jelas ini, Jaksa menuntut Taufik selama 1,6 tahun penjara.

Ditambah, rusaknya rumah dinas Kadis Litbang TNI AU juga tidak sebanding dengan kerusakan yang akan timbul ketika kebijakan yang dibuat oleh negara yang tidak adil. Protes yang dilakukan Taufik merupakan usaha mencegah kerusakan yang lebih besar yang dilakukan oleh negara.

Taufik harus menebus dua lemparan batu sebagai bentuk protes pada negara dengan 1,6 tahun kurungan penjara. Padahal ia merupakan mahasiswa yang baru saja lulus dari masa perkuliahannya. Waktu yang ia tebus karena protes ini seharusnya bisa dipakai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi dirinya. Di tengah sempitnya kesempatan kerja karena  persaingan lulusan setiap tahun yang bisa mencapai satu setengah juta lebih orang, Negara menjepit Taufik dengan merenggut waktunya yang terus berdetik. Negara juga telah menyempitkan kesempatan kerjanya karena dianggap sebagai terpidana. 

Seperti yang disampaikan dalam pledoinya, Taufik memiliki keresahan yang besar soal negaranya. Meski menyadari pelemparan batu merupakan tindakan pelanggaran hukum, ia tetap khawatir jika benar TNI bisa kembali memiliki jabatan sipil. Taufik dipidana oleh negara yang masih ia pedulikan. Taufik merupakan anak muda yang peduli pada negaranya namun negara itu sendiri yang merenggut kesempatannya mendapatkan hidup yang layak.

Kami menilai bahwa perkara ini sarat dengan pelanggaran prinsip-prinsip hukum dan HAM. Negara dengan memidana Taufik telah melanggar pertama, hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 19 dan 21 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia. Kedua, asas legalitas dan kepastian hukum yang seharusnya melindungi warga dari pemidanaan yang dipaksakan tanpa dasar bukti kuat.Ketiga, hak atas peradilan yang adil (fair trial) sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun instrumen HAM internasional, yang dalam kasus ini dilanggar dengan proses hukum yang penuh ketidakjelasan dan tekanan.

Dengan demikian, tuntutan JPU tidak hanya tidak berdasar secara hukum, tetapi juga memperlihatkan wajah negara yang menggunakan hukum pidana sebagai alat represi terhadap warganya.

Atas dasar itu, LBH Bandung;

  1. Mendesak Majelis Hakim untuk membebaskan Muhammad Taufik Hidayat dari segala tuntutan, karena perkara ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi.
  2. Mengutuk praktik kriminalisasi terhadap aktivis, relawan, dan warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk berekspresi, berkumpul, dan menyuarakan kebenaran.
  3. Menuntut Kejaksaan Agung untuk menghentikan segala bentuk tuntutan yang tidak berdasar hukum dan mencederai prinsip keadilan.
  4. Mengajak solidaritas publik untuk terus mengawal sidang putusan Muhammad Taufik Hidayat sebagai bagian dari perjuangan bersama melawan praktik hukum yang represif.

Kasus ini adalah cermin bagaimana negara masih terus mempertahankan pola represi melalui hukum. Pembebasan Taufik bukan hanya soal satu orang, tetapi tentang memastikan bahwa hukum tidak digunakan untuk menakut-nakuti dan membungkam perjuangan rakyat.

Hentikan kriminalisasi!
Bebaskan Muhammad Taufik Hidayat!