Republikasi dari Amnesty International Indonesia
Merespons tuntutan Jaksa Penuntut Umum berupa hukuman penjara bagi sebelas warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Maluku Utara, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Tuntutan ini ialah bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat. Jaksa memberikan pesan bahwa menjaga hutan, sungai, dan alam sebagai sumber kehidupan disebut ‘kriminal.’ Dan sebaliknya, merambah dan merusak hutan disebut ‘pembangunan.’
Alih-alih melindungi, negara justru memperlakukan mereka sebagai penjahat. Menangkap paksa, dan juga mengintimidasi warga hanya karena menggelar ritual adat sebagai protes atas aktivitas penambangan nikel yang merusak alam.
Negara, melalui aparat dan sistem hukumnya, tampak berpihak pada korporasi tambang yang merusak lingkungan dan menggusur masyarakat adat dari tanah adat dan leluhur mereka. Kriminalisasi ini mencederai keadilan dan hak konstitusional masyarakat adat atas ruang hidupnya.
Kami mendesak majelis hakim untuk membebaskan seluruh warga adat Maba Sangaji dari segala tuntutan. Pengadilan juga perlu memulihkan nama baik mereka, serta menuntut negara menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah dan kehidupannya.”
Latar belakang
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman penjara terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji yang menjadi terdakwa hanya karena mempertahankan hutan adat mereka di Kabupaten Halmahera Timur dalam lanjutan sidang di Pengadilan Negeri Soasio, Maluku Utara, hari ini, 8 Oktober 2025.
Semua terdakwa dituntut hukuman penjara enam bulan karena melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin.
Tidak hanya itu, JPU menuntut hukuman tambahan terhadap empat dari sebelas terdakwa. Satu orang dituntut hukuman tambahan tujuh bulan, dan tiga lainnya empat bulan penjara atas pelanggaran pasal yang sama, yaitu Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tim Amnesty International Indonesia di gedung PN Soasio mengungkapkan bahwa sidang tuntutan berlangsung dari Rabu pagi hingga siang waktu setempat. Semua terdakwa, yang rata-rata mengenakan ikat kepala warna merah dan baju adat mendengarkan dengan seksama jalannya sidang sambil disaksikan para kerabat mereka di bangku pengunjung.
Majelis Hakim menjadwalkan sidang berikut pada hari Jumat, 10 Oktober, untuk mendengarkan pledoi terdakwa. Informasi yang didapat Amnesty, sidang putusan Majelis Hakim kemungkinan akan berlangsung pada 16 Oktober 2025.
Tim Advokasi Anti-Kriminalisasi mengungkapkan bahwa kriminalisasi atas sebelas warga adat Maba Sangaji di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, bermula pada Minggu, 18 Mei 2025, saat polisi menangkap 27 warga yang menggelar prosesi ritual adat sebagai bentuk protes terhadap aktivitas penambangan nikel PT Position. Para warga protes kegiatan penambangan tersebut telah menggerogoti wilayah hutan tradisional, merusak sungai, dan menghancurkan kebun mereka.
Polisi lalu membawa 27 warga tersebut ke Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate. Kepolisian mengklaim para warga saat itu membawa senjata tajam dan melakukan tindakan premanisme.
Polisi menginterogasi para warga satu per satu tanpa pendamping hukum. Sidik jari mereka diambil, satu orang dipukul, dan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan. Mereka juga dipaksa melakukan tes urin secara non-prosedural.
Sehari kemudian,19 Mei 2025, 16 warga dibebaskan. Namun 11 warga lainnya ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Indrasani Ilham, Salasa Muhammad, Sahrudin Awat, Julkadri Husen, Alaudin Salamudin, Yasir Hi. Samad, Nahrawi Salamudin, Umar Manado, Hamim Djamal, Sahil Abubakar, dan Jamaludin Badi.
Dalam sidang pertama di Pengadilan Negeri Soasio, 6 Agustus 2025, JPU menjerat sebelas terdakwa dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, dan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin. Bahkan empat terdakwa di antaranya dikenakan tuduhan tambahan, yaitu Pasal 368 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pemerasan dengan ancaman kekerasan.
Rentetan peristiwa tersebut menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka oleh aparat penegak hukum. Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya 16 kasus serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia.
Leave a Reply