Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Penerbitan Buku “Pasal 300–305 KUHP 2023 Terkait Agama/Kepercayaan: Prinsip-Prinsip Penafsiran Untuk Implementasi”

Oleh: Rezza P. Setiawan – ISFoRB

Pada awal Januari 2026 mendatang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah disahkan pada tahun 2023 akan mulai berlaku. Di antara pasal-pasal KUHP tersebut, pasal 300–305 secara khusus membahas tentang kehidupan beragama di masyarakat. Oleh karena itu, pemberlakuan KUHP yang baru ini akan membawa perubahan signifikan kepada lanskap hukum yang turut melatari kehidupan beragama (dan antaragama) dan isu kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia. 

Demi menjawab perubahan ini, Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) telah menerbitkan buku “Pasal 300–305 KUHP 2023 Terkait Agama/Kepercayaan: Prinsip-Prinsip Penafsiran Untuk Implementasi”. Buku ini merupakan hasil kerja kolaboratif para ahli hukum dan pegiat KBB yang tergabung dalam ISFoRB, yang ditujukan sebagai sebuah pedoman bagi penegak hukum dan pegiat kebebasan beragama untuk memahami dan menafsirkan pasal-pasal terkait kehidupan beragama. 

Buku ini terdiri dari enam bab yang dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Bab pertama hingga kelima mengurai sejarah, kompleksitas keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia, dan perspektif KBB yang penting dalam memahami KUHP 2023. Sedangkan, bab keenam menyediakan pedoman bagi penegak hukum untuk menafsirkan setiap pasal di antara pasal 300–305 KUHP 2023.

Bab pertama menelusuri 60 tahun perkembangan wacana tindak pidana agama dalam KUHP Indonesia. Pandangan tahun 1960-an memprioritaskan perlindungan pada “agama” itu sendiri, yang mengarah pada usulan “delik-delik agama” yang spesifik. Setelah masa Reformasi, advokasi hak asasi manusia mengalihkan fokus ke perlindungan terhadap KBB yang sejalan dengan kovenan internasional. KUHP 2023 menghapus istilah “penodaan ​​agama” yang ada di pasal 156A KUHP lama, serta memasukkan istilah “kepercayaan” ke dalamnya, sehingga terbuka ruang-ruang baru diskursus pemaknaan hukum yang lebih inklusif.

Bab kedua membawakan pemahaman tentang keberagaman pemahaman tentang istilah “agama” dan “kepercayaan,” yang tidak dapat diabaikan. Secara historis, kriteria informal negara mengutamakan enam agama besar, meminggirkan kepercayaan adat dan agama lainnya. Bab ini menekankan bahwa KUHP 2023 harus menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dan non-diskriminasi untuk melindungi kelompok minoritas yang seringkali dipinggirkan oleh karena pengistilahan yang menyudutkan kepentingan mereka sebagai warga negara.

Bab ketiga mendorong mundur pendekatan hukum pidana dalam menangani isu kehidupan beragama agar diletakkan sebagai “ultimum remedium,” yaitu sebagai upaya terakhir. Bab ini berargumen bahwa kriminalisasi yang berlebihan, khususnya terkait pelanggaran agama, justru memperburuk konflik dan diskriminasi terhadap kelompok rentan. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum dan penafsiran yang non-diskriminatif, dengan menggunakan denda alih-alih hukuman penjara untuk sebagian besar pelanggaran, demi memastikan perlindungan terhadap kelompok rentan.

Bab keempat menegaskan bahwa Pasal 300–305 KUHP 2023 merupakan kerangka hukum yang vital untuk melawan intoleransi dan memastikan perlindungan KBB terhadap warga negara. Bab ini menyoroti pergeseran signifikan dari Pasal 156a KUHP lama yang bermasalah, yang berfokus pada “penodaan agama” dan seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi minoritas, menjadi secara eksplisit melindungi individu sebagai penganut agama atau kepercayaan. Bab ini juga menunjukkan bahwa implementasi pasal-pasal KUHP 2023 tidak dapat dipisahkan dari instrumen-instrumen internasional sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM sebagai negara yang telah meratifikasi kovenan HAM internasional.

Bab kelima menyoroti sistem peradilan pidana dengan berfokus pada hukum acara (KUHAP) dan hak asasi manusia. Dengan menekankan kesetaraan substantif di atas kesetaraan formil, bab ini mengadvokasi perlindungan khusus bagi kelompok-kelompok rentan. KUHP 2023 memperkenalkan sebuah paradigma baru yang mempertimbangkan secara signifikan hak-hak korban pelanggaran KBB, termasuk bantuan hukum, informasi, kompensasi, dan perlindungan identitas. Bersejajaran dengan bab ketiga, bab ini juga mempromosikan keadilan restoratif dan penyelesaian di luar pengadilan untuk pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan agama. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa, terutama dari kelompok minoritas, perlu diperhatikan di sepanjang proses sistem peradilan untuk memastikan keadilan yang substantif bagi pihak-pihak yang perlu dilindungi.

Kelima bab ini diakhiri dengan bab keenam yang memberikan sebuah panduan praktis penafsiran Pasal 300–305 bagi penegak hukum. Dengan komitmen yang jelas pada perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan demi pemajuan KBB di Indonesia, setiap unsur yang terdapat pada Pasal 300–305 (seperti “agama,” “kepercayaan,” “menghasut,” dst.,) akan dipahami melalui perspektif KBB. Pasal-pasal KUHP baru ini tidak lagi berfokus pada istilah kabur “penodaan agama,” melainkan secara lebih konkret menunjuk pada ujaran kebencian, permusuhan, hasutan untuk melakukan diskriminasi atau kekerasan (Pasal 300-301), pemaksaan untuk berpindah keyakinan (Pasal 302), gangguan terhadap kegiatan keagamaan dan peribadatan (Pasal 303), dan perusakan tempat-tempat ibadah (Pasal 305). 

Secara umum, buku ini mencerminkan sebuah tren pergeseran kesadaran hukum Indonesia. Getolnya wacana HAM yang terus didorong sejak reformasi telah mengarahkan kesadaran hukum pada perlindungan yang lebih serius terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap warga negara, serta komitmen terhadap perlindungan bagi kelompok-kelompok rentan. Buku ini hendak mendaratkan pergeseran tersebut pada penafsiran para penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam memberikan putusan-putusan yang berpusat pada keadilan yang substantif, yang berpihak pada perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan.