Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Pelarangan Kremasi: Ancaman Ekologi, Intoleransi, atau Apa?

Oleh: M. Rizal Abdi (CRCS UGM)

Kasus penolakan kremasi jenazah Murdaya Poo di Dusun Ngaran, Borobudur, menyita perhatian banyak pihak. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi magnet dalam kasus tersebut. Pertama, yang akan dikremasi ialah suami dari Hartati Murdaya, ketua Walubi sejak 1998 dan seorang konglomerat. Kedua, rencana tempat kremasi ialah di kawasan Borobudur yang identik dengan Candi Buddha terbesar di dunia, kendati mayoritas penduduknya bukan buddhis. Ketiga, Walubi sebagai salah satu organisasi perwakilan umat Buddha di Indonesia turut terlibat dalam kasus ini. Narasi penolakan kremasi oleh warga setempat ini kemudian mengeskalasi di dunia maya karena dianggap sebagai tindakan intoleransi. 

Kronologi Peristiwa

Kasus ini bermula ketika Murdaya Widyawimarta dalam keadaan kritis dan tengah dirawat di Singapura. Saat itu (2/4), keluarga melalui DPD Walubi Jateng mendatangi Maryoto, Kepala Dusun Ngaran I dan II, Kabupaten Magelang, untuk menyampaikan wacana pelaksanaan ngaben versi umat Buddha. Tidak ada kesepakatan apa pun pada pertemuan itu. Namun, beberapa hari kemudian, Maryoto mendapat laporan dari warganya bahwa sudah ada petugas yang menyurvei lokasi. Pernyataan resmi dari Walubi juga tidak muncul, sementara di kalangan warga juga berseliweran info yang tidak jelas. Untuk menghindari misinformasi, warga menggelar pertemuan bersama aparat desa dan tokoh masyarakat pada 7 April 2025. Dari rapat tersebut, keluar informasi bahwa yang akan dimakamkan di situ ialah Murdaya Poo yang meninggal siang harinya. Akhirnya, warga bersepakat menolak pendirian tempat ngaben versi Buddha. Penolakan tersebut diteruskan ke Walubi Pusat dengan tembusan Walubi Jateng.

Ada dua hal yang menjadi alasan penolakan kremasi. Pertama, proses kremasi dengan tungku kayu yang dilakukan di tempat terbuka dan dekat dengan pemukiman akan memakan waktu lama dan menghasilkan residu berbahaya seperti merkuri dan nitrogen oksida. Kedua, wilayah Dusun Ngaran I dan II tidak ada yang beragama Buddha. Lebih lanjut, dalam pernyataan tersebut, warga juga menggarisbawahi bahwa pendirian tempat kremasi pribadi tersebut perlu merujuk pada  Permenag No 9 tahun 2006 dan Permendagri No 8 tahun 2006 agar tidak menciderai kerukunan beragama. Penting untuk digarisbawahi, di Magelang sudah ada tiga krematorium yang telah memenuhi amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).   

Di luar dua alasan tersebut, muncul juga isu tentang “luka lama” terkait manipulasi izin pendirian tempat peribadatan umat Buddha. Pada 2003 sempat terjadi kasus antara Ferry Surya Prakarsa, seorang pemuka agama Buddha, dan warga Dusun Ngaran. Mulanya, Ferry mengajukan izin pendirian bangunan di lahan miliknya untuk penginapan khusus umat Buddha yang akan singgah ketika berkegiatan di Candi Borobudur. Warga Ngaran pun menyetujuinya. Namun, surat keterangan dan izin yang justru muncul dari Bupati Magelang saat itu ialah pendirian bangunan untuk tempat pendidikan dan latihan agama Buddha. 

Pada awal 2005, pengelola bangunan sempat memasang plang “Buddhist Monastery” sebagai penanda bangunan. Melihat hal tersebut, warga protes dan sempat mengajukan surat keluhan kepada Bupati Magelang terkait pendirian bangunan diklat dan tempat ibadah agama Buddha yang tidak sesuai kesepakatan. Plang tersebut diturunkan dan berganti nama menjadi Graha Padmasambhava seperti sekarang (Liks: 2025). Kendati demikian, warga Ngaran tidak mengusik kegiatan keagamaan di bangunan tersebut.

FoRB dan Aturan Kremasi

Sebagai bagian dari HAM, negara patut menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi warganya, tanpa terkecuali. Namun, FoRB atau HAM ini tidak bersifat mutlak. Ia dapat dibatasi karena alasan-alasan tertentu. Paradigma KBB mengenal forum internum dan forum externum. Jika forum internum merupakan hak fundamental yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun, forum eksternum dapat dibatasi dalam keadaan tertentu karena menyangkut relasi sosial masyarakat.

Dalam kasus kremasi Murdaya Poo, keyakinan keluarga mendiang terkait keutamaan kremasi terbuka di kawasan suci Borobudur merupakan forum internum yang tidak dapat diganggu gugat dalam keadaan darurat sekali pun. Namun, praktik kremasi Murdaya Poo masuk ke dalam forum eksternum. Mengacu pada ICCPR, pembatasan ekspresi keagamaan atau keyakinan ini hanya dapat dilakukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik. Pembatasannya pun harus dilakukan secara proporsional dan non-diskriminatif melalui peraturan perundang-undangan (lihat ICCPR Pasal 18 ayat 3).

Di Indonesia, regulasi terkait kremasi telah diatur melalui PP No. 9/1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman pada Bab IV. Salah satu  ketentuan lokasi untuk kremasi ialah tidak berada dalam wilayah yang padat penduduknya serta memperhatikan keserasian dan keselarasan lingkungan hidup. Lebih lanjut, penetapan dan pengelolaan krematorium berdasarkan keputusan kepala daerah di tingkat kota atau kabupaten.

Salah satu titik silang sengkarut dari kasus penolakan kremasi ini ialah kebuntuan komunikasi antara warga Ngaran dan pihak keluarga Murdaya. Salah satu penyebabnya ialah jarak waktu yang mepet antara perizinan dan pelaksanaan kremasi karena ketidakjelasan situasi kesehatan almarhum. Sementara itu, warga Ngaran masih belum bisa menerima alasan mengapa Murdaya Poo harus dikremasi di wilayah mereka, sementara sudah ada tiga tempat krematorium yang layak di Kabupaten Magelang. Di sisi lain, ketidakjelasan informasi dari Walubi yang menjadi mediator kembali membuka luka lama warga Ngaran terkait manipulasi izin tempat ibadah. Dua hal tersebut membuat konflik sosial antara Warga Ngaran II dan keluarga Hartati Murdaya bereskalasi menjadi isu sentimen agama tertentu.     

Pucuk-pucuk Gunung Es

Kasus penolakan kremasi ini merupakan kulminasi dari keresahan warga Ngaran terkait manipulasi izin tempat ibadah di wilayah mereka. Warga cemas jika izin kremasi terhadap personal mereka berikan, nantinya tempat itu akan menjadi krematorium. Apalagi, keluarga Hartati Murdoyo memiliki penguasaan lahan yang cukup luas, kurang lebih 26.443 m2, di dusun tersebut.

Bagaimana pun, manipulasi izin ini tidak dapat dibenarkan secara hukum. Namun, kita juga perlu menelisik situasi keberagamaan di Indonesia, khususnya terkait pendirian tempat ibadah atau pelaksanaan kegiatan keagamaan. Sudah menjadi rahasia umum betapa sulitnya umat minoritas agama ketika mengurus izin pendirian tempat ibadah atau melaksanakan ibadah di ruang publik. PBM 2006 yang sering menjadi acuan pendirian tempat ibadah justru mempersulit pendirian tempat ibadah bagi umat minoritas agama (Muchtar, dkk, 2024:22). Lebih lanjut, PBM 2006 juga tidak memberikan solusi yang komprehensif jika terjadi perselisihan terkait izin tempat ibadah. Regulasi pendirian tempat ibadah yang diskriminatif berpotensi memicu beragam manipulasi izin yang dapat menjadi bom waktu dalam kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.          

Akhirnya, jenazah Murdaya Poo memang tidak jadi dikremasi di Dusun Ngaran II. Setelah mediasi, tempat kremasi dipindahkan ke Bukit Dagi yang masuk dalam kompleks Candi Borobudur. Prosesi kremasi menggunakan tungku terbuka dengan 1,5 ton kayu cendana dan gaharu dan dipimpin oleh biksu Tibet. Abunya akan dibawa ke altar untuk didoakan bersama dalam peringatan Tri Suci Waisak 2569 di Borobudur. Lokasi yang baru ini memang lebih sakral dibanding tanah persawahan di Dusun Ngaran. Sekitar dua dekade silam, Bhante Win Vijjano Mahatera pernah dikremasi di tempat ini. 

Kasus penolakan kremasi dan manipulasi izin tempat ibadah ini hanya sekian dari banyak pucuk gunung es masalah ekspresi kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, terutama bagi umat minoritas. Status Murdaya Poo sebagai konglomerat, politisi, sekaligus suami dari ketua Walubi memainkan peran besar sehingga penyelesaian kasus ini dapat memenuhi kebutuhan keluarga mendiang maupun menepis kekhawatiran warga Dusun Ngaran. Dengan kata lain, derajat kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia tidaklah setara. Kasus ini juga menunjukkan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan selalu berkelindan dengan hak-hak lain seperti hak ekonomi, kesehatan, dan lingkungan (baca interseksionalitas KBB dalam KUHP 2023). Dengan demikian, advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan tidak hanya mensyaratkan literasi lintas isu tetapi juga pemahaman tentang cara kerja sistem kuasa dalam mereproduksi pelanggaran tersebut.

Sabbe satta bhavantu sukhittatta. Sadhu, sadhu, sadhu.