Ketika pemerintah terus berbicara tentang investasi dan pembangunan, para pemuka agama dari berbagai keyakinan bersatu untuk mengingatkan: jangan rusak alam demi mengejar keuntungan jangka pendek. Di tengah hancurnya hutan, rusaknya sungai, dan meledaknya krisis iklim, agama tidak bisa tinggal diam.
Diskusi Virtual Bulanan yang digelar Koalisi Advokasi KBB Indonesia bulan ini (27/6) mengangkat tema tajam: “Aktor-Aktor Agama dan Krisis Lingkungan di Indonesia: Menanggapi Pernyataan Sikap PGI ‘Jangan Merusak Alam Demi Investasi’.” Dalam diskusi ini, pernyataan tegas PGI dijawab dan diperluas oleh para narasumber dari Islam dan Kristen, untuk membangun sikap bersama melawan perusakan ekologis yang disponsori negara dan pasar.
Dosa Diam di Tengah Kerusakan
Pendeta Jacky Manuputty dari PGI memulai dengan menyebut bahwa perubahan iklim adalah bagian dari lima krisis besar yang menjadi perhatian gereja. Tapi, menurutnya, krisis lingkungan bukan hanya krisis ekosistem, tapi juga krisis etika dan keadilan global. Negara-negara di Selatan menderita paling parah, sementara dana adaptasi masih dikuasai negara-negara kaya di Utara.
“Gereja punya otoritas moral yang tidak dimiliki politisi dan pelaku perusak itu,” ujarnya. Karena itu, gereja harus menyuarakan suara profetis—dan lebih dari itu, nyali profetis. Bukan hanya mengutuk, tetapi melawan secara terbuka kerakusan yang dibungkus narasi pembangunan.
Jacky menguraikan tiga level gerakan yang harus dibangun: penguatan basis umat (petani, nelayan, masyarakat adat), pengorganisasian jejaring lintas iman, dan advokasi perubahan regulasi. “Agama tidak boleh hanya jadi pelengkap. Ia harus hadir sebagai institusi yang melahirkan kebijakan alternatif,” tegasnya.
Fatwa Dilanggar, Umat Terpinggirkan
Roy Murtadho dari NU menggarisbawahi bahwa dalam Islam, larangan merusak alam bukan wacana baru. Bahtsul Masail NU sudah menyatakan bahwa alih fungsi lahan yang merugikan kemaslahatan umum itu haram. Tapi, ia menyoroti kontradiksi dalam tubuh organisasi sendiri. “Hari ini fatwa diingkari. Bahkan ormas keagamaan kini digunakan untuk meredam kritik terhadap negara,” katanya.
Roy tak hanya berbicara dari ruang seminar. Ia menyaksikan sendiri kehancuran di Wawonii, Konawe, dan Kabaena—kampung-kampung yang kini tak lagi bisa ditinggali pasca eksploitasi tambang. “Kita menyaksikan pengungsi internal: orang-orang yang terusir dari tanah kelahiran mereka tapi tak pernah disebut pengungsi,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa pembangunan hari ini bukan soal kemajuan rakyat, tapi perluasan akumulasi kapital. Reforma agraria, insentif bagi petani, dan pembalikan arah pembangunan mutlak dibutuhkan. “Kita belum berhasil menjadikan isu ekologi sebagai isu KBB. Ini PR besar bagi gerakan lintas iman,” ujarnya.
Khalifah Tak Boleh Merusak
Hening Parlan, Koordinator GreenFaith Indonesia, menyambut pernyataan PGI sebagai suara moral lintas iman. Ia mengingatkan bahwa Islam punya mandat jelas soal ekologi: manusia adalah khalifah (pemimpin) bumi, bukan perusak. Dalam makalahnya, ia mengutip QS. Al-Baqarah:30 dan Al-A’raf:56 untuk menegaskan bahwa perusakan ekologis adalah bentuk kezaliman spiritual.
“Jangan merusak alam bukan hanya slogan Kristen. Itu ayat dalam Al-Quran juga. Dan seruan ini tidak boleh berhenti di khutbah,” katanya.
Hening juga menggugah dengan pertanyaan reflektif: “Ketika saya kecil, saya mandi di sungai yang jernih. Anak saya sekarang tak bisa melakukannya. Apa artinya pembangunan jika tidak diwariskan ke generasi setelah kita?”
Ia juga mendorong kolaborasi lintas iman melalui pendekatan spiritualitas ekologis. QS. Al-Hujurat:13 menjadi landasan penting bahwa perbedaan iman adalah peluang untuk bekerjasama menjaga ciptaan Tuhan. “Ta’aruf hari ini harus diwujudkan sebagai solidaritas ekologi,” tegasnya.
Seruan Bersama dari Ujung Iman
Diskusi ini lebih dari sekadar respons atas pernyataan sikap PGI. Ia adalah perlawanan bersama terhadap model pembangunan yang terus mengorbankan tanah, air, udara, dan hak hidup masyarakat. Ia adalah panggilan iman untuk berkata cukup pada kekerasan ekologis.
Suara para tokoh agama dalam diskusi ini bukan suara yang ingin menggantikan kekuasaan, tetapi ingin mengganggu kenyamanan sistem yang menindas. Agama tidak netral dalam krisis ini—dan memang tidak boleh.
Mereka yang percaya pada Tuhan, harus juga percaya bahwa bumi adalah rumah bersama. Dan siapa pun yang merusaknya demi investasi, sedang mengkhianati amanah spiritual tertinggi: menjaga kehidupan.
Catatan Editor:
Pernyataan lengkap PGI dapat dibaca di situs pgi.or.id
Leave a Reply