Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Activism Fatigue dan Arah Baru Pemajuan KBB di Aceh

Oleh: Yogi Febriandi (ISFoRB)

Pendahuluan

Perkembangan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Aceh tidak mengalami perubahan, justru yang terlihat berjalan di tempat. Saat ini, meski tidak ada kasus pelanggaran seperti Pembakaran Gereja di Aceh Singkil di tahun 2015 dan penyerangan terhadap pendirian bangunan Masjid milik Muhammadiyah Bireun di tahun 2017, namun pembatasan pembangunan rumah ibadah non-Islam dan ekspresi keagamaan non-Islam masih terjadi.

Di level gerakan, lembaga-lembaga dan aktor yang vokal menyuarakan situasi KBB di Aceh semakin sempit. Semakin berkurangnya lembaga-lembaga yang memiliki fokus terhadap isu kebebasan beragama atau berkeyakinan berakibat pada menurunnya intensitas advokasi yang dilakukan. Faktor lainnya juga disebabkan jumlah pendanaan dan dukungan dari lembaga luar yang terus berkurang. Peralihan fokus para lembaga donor ke isu-isu lain membuat para aktivis di Aceh mengalihkan perhatian mereka pada isu-isu seperti hak anak, disabilitas dan lingkungan. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya porsi isu toleransi, keberagaman ataupun KBB dalam kampanye 20 tahun Aceh Damai yang diinisiasi oleh CSO dan Pemerintah Provinsi Aceh.

Kondisi Aceh saat ini menggambarkan adanya activism fatigue dalam gerakan advokasi KBB di wilayah yang menjadi “zona merah” KBB. Dalam dunia gerakan sosial, activism fatigue merujuk pada terjadinya krisis kepercayaan dan kehilangan semangat untuk mencapai target advokasi karena proses yang panjang yang dianggap hampir mustahil. Proses yang berlarut-larut serta terus menerus mengalami hambatan memungkinkan para aktivis KBB merasa lelah dengan agenda advokasi.

Gagalnya Pendekatan Perubahan Berbasis Aktor

Salah satu faktor yang menyebabkan kelelahan dalam isu KBB di Aceh ialah tidak adanya kepastian akan hasil dari advokasi yang dilakukan. Sejak pemberlakuan syariat Islam, ada berbagai kasus pelanggaran KBB yang terjadi di Aceh. Seturut dengan itu, ada berbagai advokasi dan intervensi yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan lembaga negara. Hasil dari berbagai upaya tersebut sering kali, bahkan kebanyakan berakhir pada laporan-laporan lembaga yang tidak dapat dieksekusi, atau tidak memiliki dukungan untuk dieksekusi.

Hal ini yang terjadi di Aceh Singkil, dimana proses penyelesaian masalah konflik agama seakan tidak memiliki penyelesaian. Kondisi ini disebabkan oleh pendekatan advokasi yang bergantung pada political will dari pemimpin daerah yang mengalami deadlock karena proses yang sangat lama dan pergantian kepala daerah.

Upaya advokasi di Aceh Singkil yang pernah ramai ditahun 2015, seiring waktu mengalami penurunan karena organisasi masyarakat sipil mulai mengendurkan aktivitas mereka di Aceh Singkil. Hingga pada tahun 2021, organisasi lokal seperti Kontras Aceh yang masih memiliki agenda advokasi melalui pendekatan elite aktor di Aceh Singkil. Upaya ini sempat mengalami kemajuan ketika Martunis Muhammad yang memiliki latar belakang birokrat-akademisi ditunjuk sebagai PJ Bupati Aceh Singkil.

Dimasa Martunis advokasi kasus pelanggaran KBB telah sampai pada pembentukan tim fasilitasi dialog dan inventaris masalah pembangungan Gereja. Martunis mengambil inisiatif membuka dialog terkait permasalahan di Singkil dengan fokus pada mengumpulkan para penyintas tahun 2015.  PJ Bupati Martunis mengundang perwakilan gereja-gereja Kristen untuk berdiskusi di kantor Bupati.

Tidak hanya unsur pemerintah, Martunis juga berhasil menggandeng FKUB Aceh Singkil. Target dari inisiatif ini ialah adanya solusi bersama yang muncul dari penyintas dan komunitas muslim di Aceh Singkil yang dapat dijadikan rujukan pemerintah Aceh Singkil dalam membuat maklumat bersama.

Ide untuk membentuk tim fasilitasi dialog yang di inisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sebenarnya langkah maju dalam upaya penyelesaian masalah pembangunan tempat ibadah di Aceh Singkil. Hal ini karena pemerintah daerah telah bekerja sesuai amanat Qanun Nomor 4 Tahun 2016, yang memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk aktif dalam pencarian solusi masalah-masalah terkait hak beragama.

Namun, sebelum inisiatif-inisiatif tersebut dapat dieksekusi, kepemimpinan daerah berganti, di mana PJ Bupati Martunis digantikan oleh Azmi yang sebelumnya menjabat Sekda. Pada masa Azmi, tidak ada inisiatif apapun yang coba dilakukan oleh pemerintah Aceh Singkil. Bahkan inisiasi yang dibangun Martunis sebelumnya, tidak dilanjutkan.

Di tingkat provinsi situasi politik juga mengalami perubahan yang kemudian membalikkan upaya-upaya advokasi yang telah dibangun sejak lama. Pada kurun waktu 2020-2024 roda kepempimpinan Gubernur Aceh berganti dari Nova Iriansyah ke Achamd Marzuki. Nova Iriansyah yang sebelumnya merupakan Wakil Gubernur terpilih kemudian menajdi Plt Gubernur menggantikan Irwandi Yusuf, memiliki perhatian pada situasi di Aceh Singkil.

Pada periode Nova Iriansyah, pemerintah Aceh membentuk tim pencari fakta dan aktif melakukan dialog terhadap situasi di Aceh Singkil. Pada tahun 2021, Pemerintah Aceh membentuk tim pengkaji, yang disebut Tim TP4. Tim ini bertugas untuk melakukan kajian dan menyerahkan hasil kajian kepada Gubernur Aceh. Tim yang berisikan para akademisi, birokrat dan tokoh publik menyelesaikan kajian mereka pada tahun 2022.

Saat penyerahan laporan, Nova Iriansyah tidak lagi menjabat dan digantikan oleh Ahmad Marzuki selaku PJ Gubernur Aceh yang ditunjuk oleh Jakarta. Meski menerima hasil kajian dari tim TP4, Achmad Marzuki memilih untuk tidak melakukan tindakan atas laporan dan memilih untuk tidak memunculkan permasalahan Singkil dalam kebijakannya selama menjadi Gubernur.

Kejenuhan di tingkat komunitas

Efek dari proses advokasi yang lama dan tidak pasti tersebut kemudian juga dirasakan oleh komunitas penyintas. Pada tahun 2015, penyintas konflik Gereja di Aceh Singkil membentuk Forcidas (Forum Cinta Damai Aceh Singkil) sebagai wadah komunikasi dan organisasi untuk mengadvokasi pendirian gereja serta tuntutan untuk penyelesaian pelanggaran KBB. Namun terjadi perpecahan antara pengurus gereja dan jemaat yang disebabkan oleh perbedaan visi dalam advokasi, sehingga berdampak pada menurunnya solidaritas antara komunitas penyintas, baik dari Kristen maupun Katolik.

Saat ini, Forcidas sudah mulai ditinggalkan sebagai wadah gerakan bersama para penyintas korban pelanggaran KBB di Aceh Singkil. Para penyintas yang merupakan jemaat Gereja menginginkan Forcidas agar lebih progresif dan frontal dalam membela hak beragama, sementara para pendeta memilih pendekatan pasif, menghindari potensi keributan, dan bertahan dengan gereja yang ada. Adanya perbedaan pandangan ini serta proses penyelesaian yang tidak memiliki kejelasan waktu, sedikit banyaknya menghilangkan kepercayaan para penyintas terhadap forum tersebut. Saat ini baik penyintas maupun pendeta lebih mengutamakan menjaga kondusifitas di Gereja masing-masing.

Sikap Pemerintah Indonesia di Jakarta kemudian memperparah rasa ketidakpercayaan para penyintas terhadap proses penyelesaian masalah di Aceh Singkil. Pada tahun 2022, perwakilan Kantor Staff Presiden berkunjung ke Aceh Singkil untuk melihat situasi secara langsung dan berdiskusi dengan penyintas. Kedatangan tim KSP ini bagian dari tindak lanjut dari komunikasi antara organisasi masyarakat sipil dan KSP. Namun, dalam kunjungan tersebut tidak ada ketagasan dari pemerintah di Jakarta tentang solusi izin pembangungan gereja di Aceh Sinkil.

Tim perwakilan dari KSP hanya menyarankan agar izin rumah ibadah diurus terlebih dahulu, dan jika muncul masalah terkait izin, pemerintah akan turun tangan. Bagi komunitas, jawaban ini dirasa klise dan tidak menjawab kebutuhan mendasar. Harapan utama penyintas adalah adanya jaminan hukum yang tegas serta perlindungan hak untuk mendirikan rumah ibadah dari pemerintah.

Dari perjalanan advokasi yang dibangun di Aceh Singkil, pendekatan yang bergantung pada political will elite pemerintah juga menunjukkan kegagalan karena terbatas pada waktu dan tidak ada sinkronisasi kebijakan antara pemimpin lama dan baru. Proses advokasi KBB di Aceh Singkil menunjukkan bahwa pendekatan elite-driven tidak bisa memberi kepastian terhadap penyelesaian masalah KBB. Tujuan dari pendekatan ini terdengar baik karena ingin membangun perspektif bersama antara pemerintah, CSO dan penyintas dalam melihat persoalan KBB. Namun,  pendekatan perubahan perspektif para aktor negara memiliki kelemahan besar karena sangat bergantung dengan keingingan dari pejabat lokal dan waktu yang lama.

Apa yang harus dilakukan?

Untuk mengatasi activism fatigue dalam advokasi KBB di Aceh, maka perlu dorongan untuk membentuk ekosistem gerakan KBB di Aceh. Meski CSO di Aceh telah lama bersentuhan dengan masalah kebebasan beragama, namun tidak ada kelompok sipil di Aceh yang benar-benar fokus pada isu KBB. Hal ini kemudian membuat pendekatan advokasi tidak banyak menggunakan perspektif KBB. Selama ini, perspektif yang digunakan masih meminjam model advokasi isu-isu lain seperti konflik agraria, perempuan atau kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Selain pembentukan ekosistem gerakan KBB, proses advokasi KBB juga perlu lebih berani untuk melakukan intervensi pada ranah struktural. Seperti upaya yang tengah dilakukan oleh Kontras Aceh yang mengajukan revisi Qanun Nomor 4 Tahun 2016 yang mengatur soal izin tempat ibadah. Meski bukan cara yang terbaik, langkah ini diperlukan untuk menghidupkan alternatif-alternatif lain dalam pemajuan KBB di Aceh ketika pendekatan perubahan perspektif elite lokal mengalami jalan buntu.

Namun, upaya ini bukan tanpa tantangan. Pertama, berkurangnya pendanaan dari lembaga donor membuat upaya revisi Qanun tidak dapat dilanjutkan. Ini menghadirkan kerugian karena saat ini dukungan untuk melakukan revisi Qanun juga muncul dari FKUB Provinsi dan beberapa Bimas Kemenag Aceh. Kedua, tidak terhubungnya wacana advokasi di level nasional dan Aceh. Hal ini dapat terlihat pada isu pasal-pasal yang berkaitan dengan kehidupan beragama di KUHP 2023. Di Aceh, kehadiran pasal 300-305 KUHP 2023 tidak menjadi isu, padahal secara substansi dapat dijadikan rujukan untuk perbaikan Qanun Nomor 4 Tahun 2016. Kehadiran Sekber KBB diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap dua upaya sekaligus. Pertama, membantu proses upaya revisi Qanun Nomor 4 Tahun 2016 dengan memastikan proses perubahan pasal-pasal berkesesuaian dengan perspektif KBB dan pemajuan KBB di Aceh. Kedua, membantu proses kaderisasi serta penguatan pengetahuan KBB melalui program-program pelatihan dan fellowship kepada masyarakat sipil di Aceh.