Penulis: Tedi Kholiludin | Republikasi dari Elsaonline
Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama keluarga, saya berbincang enteng dengan istri sembari memperhatikan situasi di jalan raya. Secara kasat mata, dalam perjalanan sejauh 440-an kilometer pulang-pergi, kami berkesimpulan, gelombang mudik tak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Amatan kami ternyata terkonfirmasi melalui data dari Kementerian Perhubungan. Pemudik tahun 2025 berjumlah 146,68 juta orang atau menurun 24 persen dari tahun sebelumnya 193,6 juta. Imbasnya perputaran uang pun dipastikan menurun; dari 157,3 triliun menjadi 137,9 triliun. Deflasi, dinilai sebagai salah satu sebab mengapa daya beli masyarakat mengalami penurunan.
Para ahli dari bidang-bidang lain bisa menjejerkan problem yang dihadapi bangsa ini, selain masalah ekonomi yang menghimpit masyarakat. Tagar “Indonesia Gelap” sempat mencuat di ruang publik sebagai respons atas situasi terkini. Tanpa menutupi pencapaian-pencapaian di sisi lain, namun, kita bisa memaklumi sebagian dari mereka yang sedang menghadapi keputusasaan. Kondisi kehidupan bangsa Indonesia kini, tidak baik-baik saja.
Begitulah ketidakpastian yang melanda. Ketika keadilan dipertanyakan, dan suara kebenaran terasa makin sunyi, banyak orang merasa kehilangan arah. Kita seperti hidup dalam kegelapan panjang, tanpa tahu kapan fajar akan menyingsing. Dalam situasi seperti ini, kita bisa memahami apa yang dirasakan para murid saat menyaksikan Yesus disalibkan. Mereka terpukul, bingung, dan takut. Apa yang selama ini mereka yakini seolah sirna dalam sekejap. Harapan yang mereka gantungkan pada sosok Yesus terasa runtuh, dan mereka pun hanya bisa terdiam, tak tahu harus berbuat apa.
Namun, dari titik paling gelap itulah, karya penyelamatan dimulai—meski belum tampak saat itu. Baru ketika Yesus bangkit, harapan muncul lagi.
Bersama murid-muridnya Yesus melakukan perjamuan terakhir, makan malam perayaan Paskah yang menjadi penanda hari kebebasan perbudakan di Mesir (Keluaran 12:11-14). Inilah Kamis Putih. Usai berkumpul pada “the Last Supper,” Yesus berdoa dengan tiga orang murid hingga kurang lebih pukul 9 malam. Yesus sedih, karena dia tahu akan meninggal dunia. Bukan takut karena akan meninggal, tetapi lantaran dosa manusia yang Ia tanggung.
Yesus kemudian ditangkap dan diadili oleh Imam-imam Besar para penguasa agama. Mereka yang merasa dirinya memiliki otoritas, menghakimi Yesus. Ia dianggap menyebarkan agama palsu, mengancam otoritas pemerintahan Romawi. Pada Hari Jumat sekitar pukul 9 pagi Yesus disalibkan, lalu meninggal antara pukul 3 sampai 6 sore kemudian dimasukkan kubur. Demikianlah peristiwa Jumat Agung.
Murid-murid Yesus sedih tak terperi. Sepanjang Sabtu, mereka sedih tak berpengharapan. Rasa takut, kecewa, kebingungan yang mendalam menjadi satu. Ada guncangan iman yang dirasakan. Juru Selamat dan pemberi harapan, sekarang mati di tiang salib. Inilah momen Sabtu Suci yang juga dikenal sebagai Sabtu Sunyi atau Silent Saturday, fase antara kematian dan kebangkitan; saat Allah seperti tak memberi respons, dan para pengikut Yesus tidak tahu bahwa harapan mereka sedang disiapkan dalam diam.
Situasi yang diraskaan murid Yesus pada Kamis malam hingga Minggu pagi itulah “Indonesia Gelap.” Ketika arah kehidupan berbangsa mulai kehilangan arah, ketika kebenaran tertindih kepentingan, dan ketika rakyat kecil tak tahu lagi kepada siapa harus berharap, kita seperti hidup dalam hari-hari yang sunyi.
Kondisi itu juga yang dirasakan para murid setelah kematian Yesus. Mereka terdiam dalam ketakutan, menyembunyikan diri, dan kehilangan harapan. Segala yang mereka yakini runtuh seketika, dan mereka tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Hari-hari setelah penyaliban adalah masa ketika Allah seperti tak bergerak, dan masa depan seperti tertutup kabut. Namun, justru dalam kesunyian itulah, sebuah peristiwa besar sedang dipersiapkan; sebuah kebangkitan yang belum atau lupa mereka pahami.
Dalam sedih mereka menunggu, harapan itu datang (Yohanes 20: 9). Minggu pagi, ketika mereka hendak menjenguk, ternyata mereka Dia sudah tak ada. Mereka datang karena Maria Magdalena mengatakan kalau Yesus diambil orang. Simon Petrus dan beberapa murid lain juga datang dan melihat bahwa benar kuburan itu telah kosong. Mereka bertambah sedih karena itu. Mengapa?
Yohanes 20:9 mengatakan bahwa Ia harus mati terlebih dahulu untuk kemudian hidup lagi. Yohanes 20: 11 menggambarkan tentang Yesus yang telah hidup. Mereka tidak percaya pada ajaran Yesus sebelumnya (Yohanes 12: 20-36). Mereka lupa yang Yesus katakan karena panik dan putus asa sehingga percaya Yesus sudah mati. Kini, mereka berhadapan dengan Yesus yang bangkit, Yesus yang hidup. Mestinya, mereka percaya ajaran Yesus. Tak ada yang mungkin bagi mereka yang yakin. Pasti ada jalan bagi mereka yang beriman.
Dalam iman, kebangkitan menjadi mungkin. Para murid akhirnya menyadari bahwa harapan belum mati, bahwa kematian bukan akhir, tetapi gerbang menuju episode hidup yang baru. Kebangkitan adalah tentang bagaimana menjaga lilin harapan.
Demikian pula kita sebagai bangsa, dalam situasi yang tampak suram sekalipun, tidak boleh kehilangan harapan. Sebab, seperti para murid yang mulai percaya kembali dan menemukan arah untuk menjadi kendali atas kehidupan, kita pun akan menemukan jalan ketika percaya bahwa masa depan masih bisa diperjuangkan.
Begitu pula “Indonesia yang Merdeka 17 Agustus 1945” adalah harapan yang hidup—harapan akan masyarakat yang adil dan makmur. Harapan itu menjadi mimpi seluruh bangsa Indonesia. Dan seperti murid-murid Yesus yang kembali teguh setelah percaya, kita pun bisa keluar dari krisis dan keterpurukan, jika kita percaya dan terus berjalan bersama dalam iman dan pengharapan.
Gelap itu nyata, Bangkit itu janji.
Leave a Reply