Oleh: Nanik Rahmawati | Republikasi dari GUSDURian
Komunitas GUSDURian Yogyakarta kembali menggelar Cangkrukan, diskusi rutinan yang membahas tulisan Gus Dur. Pada demokrasi kali ini mengangkat artikel ”Agama dan Tantangan Demokrasi” di Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Aswaja Nusantara, pada Jum’at (28/09).
Demokrasi di negeri ini memiliki masalah yang cukup pelik apabila disandingkan dengan agama. Kedua hal ini sama-sama penting, maka harus jalan beriringan tetapi menjadi masalah ketika saling mencampuri. Kedua hal ini pula semestinya tidak saling dibenturkan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau individu.
Silmi Kaaffah, santri PPM Aswaja Nusantara sekaligus pemantik diskusi memaparkan praktik demokrasi di Indonesia sering kali dicampuri oleh urusan agama, begitupun sebaliknya, agama dicampuri oleh urusan demokrasi. Padahal jika mengacu tulisan Gus Dur agama dan demokrasi merupakan dua hal yang bersama atau beriringan.
“Beriringan tapi tanpa mencampuri satu sama yang lain. Jika, saling dibenturkan maka telah mencederai demokrasi atau sebaliknya, mencederai nilai-nilai agama,” papar Silmi.
Ferry Mahullete, pemantik diskusi lainnya menuturkan, tulisan Gus Dus sangat relevan dengan kondisi sekarang. Menurutnya, Gus Dur dulu mengkritik NU, di mana NU memiliki prestise tertentu ketika seorang anak mengenyam pendidikan di pondok pesantren dibanding sekolah umum. Hal ini penting untuk menjadi refleksi tidak hanya bagi umat Islam, tapi semua agama atau golongan. Pentingnya membuka paradigma diri untuk belajar tentang hal-hal umum juga, guna menyeimbangkan agama dan urusan dunia.
“Mari berpikir kembali dan menata ulang di mana suara-suara mahasiswa, santri, penggerak apakah hanya terbuai dengan urusan agama saja? Sampai lupa menyuarakan suara demokrasi,” tutur Ferry.
Silmi menambahkan ketika pemilu tiba, beberapa pasangan calon menggunakan agama sebagai alat untuk mendapatkan suara. Misalkan menggunakan narasi sholawat sebagai bentuk cinta, panggilan Gus (sebutan anak kiai), dan bagi-bagi gamis kepada warga. Kemudian ketika berhasil meraup suara dan memenangkan pemilu ucapan cinta dulu itu sirna.
“Saat pemilu doang, tapi setelah terpilih narasi-narasi agama itu hilang begitu saja,” imbuh Silmi.
Ferry menambahkan penjelasan tentang kondisi gereja sekarang atau pasca-reformasi terhadap demokrasi. Ketika dirinya berada di Papua, menurutnya banyak gereja yang terafiliasi dengan partai-partai nasionalis. Mereka secara tidak langsung telah mengedukasi jemaatnya untuk ikut terlibat aktif atau maju mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Selain itu, ada juga peran di bidang kemanusiaan dan pendidikan, seperti mendirikan rumah sakit, sekolah Kristen hingga tingkat universitas. Kontribusi ini cukup besar.
Tetapi menjadi ironi ketika pemilihan umum, sering kali gereja tidak berbicara lantang tentang demokrasi. Seperti tabu dalam membicarakan demokrasi di gereja. Selain itu, beberapa pendeta sering kali terkonsolidasi untuk memilih paslon tertentu.
“Karena kita tidak melek politik, jadi tujuannya bagaimana gereja dan umat Kristen aman karena kita trauma masa Orde Baru yang dikotak-kotakkan,” imbuh Ferry.
Padahal sejak Orde Baru hingga pasca kemerdekaan, umat Kristen telah memberikan kontribusi terhadap demokrasi di Indonesia. Para pemikir Kristen seperti A.A Maramis, Dr. Johanne Leimena, mereka membangun dialog dengan pemerintah ketika akan meresmikan piagam Jakarta sebagai dasar negara, salah satunya berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa bagi pemeluk agama Islam”.
“Mereka mengatakan, coba didiskusikan lagi Indonesia Timur banyak lho yang non-Muslim. Bangsa ini Pancasila. Cari narasi lain di mana semua golongan dan agama bisa masuk,” ujar Ferry.
Kemudian pasca-kemerdekaan, gereja mulai berkontribusi kepada negara dalam bidang kesehatan, kemanusiaan, dan pendidikan. Tak heran, jika lebih mengenal perawat dipanggil suster, karena dulu suster mengabdikan diri untuk merawat orang sakit. Selain itu, beberapa pendeta dan jemaatnya tergabung dalam partai-partai nasionalis dan bisa menerima keberagaman.
Selama sesi diskusi para santri PPM Aswaja Nusantara cukup antusias, dilihat ketika mereka memberikan pendapat dan pertanyaan baik kepada pemantik atau forum. Jika dilihat dari temanya, hal ini dekat dengan kita tapi jarang untuk dibahas.
Leave a Reply