Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Penghayat Kepercayaan yang Makin Terdesak

Sumber: Tempo/J. Prasongko

Komunitas penghayat kepercayaan makin terdesak oleh pembangunan. PSN memicu konflik sosial.

Republikasi dari Tempo

Ringkasan:
● Proyek strategis nasional dan pembangunan makin menjepit ruang hidup serta lokasi ritual penghayat kepercayaan.
● Meski diakui hukum, pemerintah memperlakukan penghayat sebagai warisan budaya, bukan keyakinan setara agama.
● Intimidasi, diskriminasi, dan konflik lahan membuat banyak penghayat kepercayaan terpaksa menyembunyikan identitasnya.

MASYARAKAT adat dan penghayat kepercayaan ibarat warga negara kelas dua: tak kunjung mendapat pengakuan administratif negara dan ruang hidup mereka makin terjepit pembangunan. Proyek strategis nasional sejak era Presiden Joko Widodo membuat ruang hidup mereka menyempit.

Di Yogyakarta, sawah dan tanah penghayat Ngesti Kasampurnaan tercemar limbah semen pembangunan jalan tol Yogyakarta-Bawen sejak tiga tahun lalu. Padahal mereka membutuhkan tanah tempat tinggal mereka sebagai bagian ritual dalam kepercayaan hidup selaras dengan alam.

Masyarakat adat Gunung Poco Leok di Flores, Nusa Tenggara Timur, bahkan terpolarisasi antara penerima dan penolak proyek panas bumi di tanah adat mereka. Mereka yang menolak proyek strategis nasional ini beralasan proyek itu menghilangkan rumah adat dan ritual serta mencemari mata air yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Berdasarkan hasil riset Program Studi Magister Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, ditemukan data yang lebih mengejutkan. Studi ini mengungkap proyek geotermal di berbagai titik, dari Sumatera Utara sampai Nusa Tenggara Timur, berdampak pada 14 komunitas penghayat kepercayaan.

Lokasi ritual mereka hilang akibat proyek panas bumi. Penguasaan konsesi lokasi geotermal tak sekadar mengakibatkan area ritual hilang, tapi juga membuat ruang hidup para penghayat kepercayaan menyempit. Tanah, air, dan udara yang tercemar proyek membuat simbol kepercayaan mereka juga punah.

Secara hukum, negara sudah mengakui keberadaan penghayat kepercayaan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sudah memberikan legitimasi hukum kepada penghayat kepercayaan. Perkawinan mereka pun sudah diakui negara.

Sebelum aturan itu lahir, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan begitu kuat. Perkawinan mereka tidak diakui hanya karena para penghayat kepercayaan tak mengikuti agama resmi. Dipaksa oleh keadaan, anak-anak keluarga penghayat kepercayaan mencantumkan agama Islam dalam dokumen administrasi hanya agar mendapatkan hak pendidikan dan kesehatan yang disediakan negara.

Keberadaan mereka makin kuat setelah Mahkamah Konstitusi membuat putusan pada 2016 yang mengesahkan “penghayat kepercayaan” dalam kartu tanda penduduk. Tapi putusan hukum tertinggi di Indonesia ini belum diikuti oleh regulasi di bawahnya.

Perlakuan pemerintah kepada penghayat kepercayaan belum setara dengan penganut lima agama lain. Penghayat kepercayaan masih dianggap sebagai warisan budaya, bukan keyakinan, apalagi agama. Itu sebabnya mereka wajib mencatatkan kepercayaannya ke Kementerian Kebudayaan.

Kementerian Agama hanya mengkategorikan penghayat kepercayaan sebagai “lainnya” dalam klasifikasi keagamaan. Pada 2023, Kementerian Agama mencatat ada 99.162 orang penghayat kepercayaan. Jumlah terbesar di NTT sebanyak 31.546 orang. Mereka terbagi dalam 154 organisasi atau komunitas yang sudah terdaftar.

Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia Pusat memperkirakan ada 380 aliran kepercayaan di Tanah Air. Namun jumlah itu makin menyusut dari waktu ke waktu.

Pada 2022, kelompok penghayat kepercayaan di Batang, Jawa Tengah, mengeluh jumlah pengikutnya tinggal seribuan orang. Sebenarnya jumlah pengikut kepercayaan lebih banyak, tapi mereka memilih menutup diri, tak mengakui kepercayaan, karena tidak tahan dengan intimidasi dan cibiran hingga tak bisa beribadah karena tergusur oleh pelbagai proyek.

Pada 2020-2025, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menerima 80 aduan masyarakat adat tentang konflik sumber daya alam dan tata ruang. Menurut Komnas Perempuan, konflik tak hanya membuat masyarakat adat terusir karena proyeknya, tapi juga menimbulkan ketegangan akibat konflik sosial di antara masyarakat adat.

Jika pemerintah taat konstitusi dan benar mempraktikkan pembangunan berkelanjutan, masyarakat adat dan penghayat kepercayaan sesungguhnya garda terdepan dalam pembangunan rendah emisi. Bagi mereka, ramah lingkungan bukan sekadar slogan, melainkan juga bagian dari hidup dan kepercayaan.

Editor: Andrianor