Masjid semestinya menjadi tempat yang aman dan ramah bagi siapa saja, termasuk para musafir.
Ringkasan:
● Kekerasan di Masjid Agung Sibolga menewaskan musafir muda, memicu kritik tajam atas fungsi masjid yang menyempit.
● Kekerasan di rumah ibadah mencerminkan menurunnya semangat inklusivitas dan kemanusiaan dalam beragama.
● Masjid perlu kembali menjadi ruang publik yang terbuka, aman, dan ramah bagi siapa pun tanpa diskriminasi.
Oleh: Fina Nailur Rohmah | Republikasi dari Tirto.id
Peristiwa keji terjadi di Masjid Agung Sibolga, Sumatra Utara, yang megah dan berusia ratusan tahun. Seorang nelayan muda yang hanya ingin beristirahat justru memperoleh tindakan kekerasan hingga berujung meninggal.
Jumat (31/10/2025) pukul 01.30 WIB, Arjuna Tamaraya (21) datang ke Masjid Agung Sibolga berniat untuk beristirahat. Dia menghampiri seseorang bernama ZPA untuk minta izin menumpang istirahat di area masjid, tapi Zulham melarangnya tanpa alasan yang jelas.
Pada akhirnya, Arjuna tetap tidur di lantai dasar masjid. Diduga tersinggung oleh respons Arjuna yang dianggap tak mengenakkan saat dibangunkan,ZPA dan 4 orang lain mengusirnya dengan disertai kekerasan.
Mereka berlima memukuli dan menginjak Arjuna secara terus-menerus hingga Arjuna kehilangan kesadaran. Arjuna yang tergeletak di parkiran masjid lalu didapati warga sekitar dan marbot masjid pada subuh hari. Arjuna sempat dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr.F.L Tobing Sibolga, tapi nyawanya tak tertolong.
Polisi akhirnya menangkap lima pelaku pengeroyokan dan menetapkan mereka sebagai tersangka. Kasihumas Polres Sibolga, AKP Suyatno, menjelaskan bahwa penangkapan pertama dilakukan kepada tersangka ZPA, HBK, dan SSJ. Kemudian, tim penyidik menangkap REC.
“Untuk REC dilakukan penangkapan dan penahanan, sedangkan CLI diserahkan keluarganya. Ada tokoh masyarakat Sibolga yang membujuk agar segera menyerahkan diri,” ucap Suyatno saat dikonfirmasi reporter Tirto dari Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Kasat Reskrim Polres Sibolga, AKP Rustam E. Silaban, mengungkapkan para tersangka memiliki peran berbeda dalam aksi keji tersebut sehingga dijerat pasal berbeda. Empat tersangka (ZPA, HBK, REC, dan CLI) dijerat dengan Pasal 338 subsider Pasal 170 Ayat (3) KUHP tentang pembunuhan atau kekerasan bersama yang mengakibatkan kematian dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
“Sementara itu, tersangka SSJ dijerat dengan Pasal 365 Ayat (3) subsider Pasal 338 subsider Pasal 170 Ayat (3) KUHP tentang pencurian disertai kekerasan yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara,” ujar Rustam.
Rustam juga memastikan bahwa tim penyidik Polres Sibolga terus mengumpulkan bukti tambahan guna memperkuat berkas penyidikan sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke kejaksaan.
Sementara itu, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Sumatera Utara menyatakan bahwa Polres Sibolga telah mengambil langkah tepat dengan menindak pelaku secara hukum. Langkah itu diharapkan dapat mencegah beredarnya informasi liar terkait peristiwa pilu tersebut.
Pascakejadian, Kepala Kanwil Kemenag Sumut, Ahmad Qosbi, mengatakan pihaknya bersama beberapa pihak lainnya telah meninjau lokasi peristiwa di Mesjid Agung Sibolga dan mengunjungi keluarga korban.
Fungsi Masjid yang Menyempit pada Ibadah Ritual
Masjid semestinya bisa menjadi tempat yang aman bagi siapa saja. Termasuk, bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan atau bagi mereka yang pulang kerja dan ingin beristirahat. Rumah ibadah, sejatinya sangat bisa dijadikan tempat persinggahan untuk istirahat sementara.
Seorang aktivis kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), Ahmad Nurcholish, berpendapat bahwa aksi kekerasan di Masjid Agung Sibolga itu salah satunya disebabkan oleh menyempitnya fungsi masjid.
Dahulu, masjid difungsikan sebagai sentra kegiatan umat, termasuk pusat aktivitas pemberdayaan ekonomi umat. Namun, masjid kini seolah-olah hanya dilihat sebagai hanya sebagai tempat ibadah mahdhah (salat, dzikir, dan berdoa).
“Fungsi masjid sekarang itu semakin menyempit hanya menjadi tempat ibadah ritual. Kita itu semakin eksklusif dan tertutup, bahkan bagi komunitas muslim itu sendiri. Padahal, harusnya masjid itu bisa terbuka untuk siapa pun,” tutur Nurcholish kepada jurnalis Tirto, Kamis (7/11/2025).
Peneliti KBB dari SETARA Institute, Achmad Fanani Rosyidi, sepakat dengan Nurcholis. Menurutnya, tragedi seperti di Masjid Agung Sibolga itu terjadi lantaran ada pergeseran pemaknaan atas peran masjid—dari semula dimaknai sebagai pusat peradaban dan pemecah masalah sosial kemasyarakatan dalam perspektif ajaran Islam, berubah menjadi sekadar untuk tempat ibadah yang sifatnya ritual.
Banyak masjid hari ini tidak ramah musafir. Pengurusnya kerap memampang aturan yang melarang jemaah untuk tidur atau istirahat melepas lelah. Fanani bilang, fenomena ini diperparah dengan perilaku masyarakat yang seakan-akan mengafirmasi penghakiman ketika ada orang yang melanggar norma-norma yang telah ditetapkan di masjid.
“Di beberapa masjid yang toleran dan terbuka di Indonesia, mereka memaksimalkan masjid tidak hanya untuk ibadah ritual, tapi juga sebagai tempat majelis ilmu, santunan keluarga miskin, tempat pemberdayaan ekonomi, bahkan membolehkan para jemaahnya menginap untuk beberapa hari,” ucap Fanani ketika berbincang dengan Tirto, Jumat (8/11/2025).
Pada prinsipnya, jelas Fanani, ajaran Islam adalah ajaran yang memanusiakan manusia. Maka jangan sampai praktik kekerasan di tempat ibadah maupun yang mengatasnamakan agama terus langgeng di Indonesia.
Apalagi, laporan KBB SETARA Institute mencatat adanya eskalasi peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Pada 2024, SETARA melaporkan ada sebanyak 260 peristiwa pelanggaran KBB yang terdiri dari 402 tindakan pelanggaran—naik dari 217 peristiwa dengan 329 tindakan dari tahun sebelumnya.
“Menurut saya, pemerintah pusat, Kementerian Agama, dan Komnas HAM harus segera bersikap membuat kebijakan yang sifatnya mitigasi agar hal ini tidak terulang lagi. Khususnya, bagi penuntasan kasus ini agar diusut dan menjadi pembelajaran bersama, agar masyarakat dapat menyikapi dengan baik dan beragama secara inklusif dan toleran,” kata Fanani.
Pentingnya Rumah Ibadah Inklusif
Membentuk tempat ibadah yang inklusif bukan lagi harapan, tapi keharusan yang semestinya diwujudkan. Menurut Nurcholish, masjid yang inklusif tidak hanya bermakna bisa dikunjungi oleh siapa pun dengan latar agama apa pun, tetapi juga bagi mereka yang berprofesi apa saja.
Dia mencontohkan Masjid Istiqlal dan Masjid Cut Meutia di Jakarta yang bisa didatangi oleh semua umat. Mewujudkan ruang tempat ibadah dengan kebebasan dan keberagaman seperti ini bisa belajar dari masa Nabi Muhammad.
“Masjid kita itu harusnya kembali sebagaimana khittah-nya. Dulu pada masa Nabi Muhammad, masjid itu menjadi pusat ibadah umat. Lebih dari itu, juga menjadi sentra aktivitas masyarakat di sekitarnya, bahkan menjadi pusat kegiatan ekonomi. Jadi, mereka di masjid itu, di pelataran, atau ada tempat-tempat khusus yang dijadikan masyarakat sekitar untuk berdagang,” sambung Nurcholish.
Aktivitas perdagangan di sekitar masjid memang masih kerap dijumpai di kawasan Masjid Istiqlal, atau masjid-masjid yang termasuk dalam kompleks makam para Wali Songo yang tersebar di berbagai daerah.
Masjid Qolbun Salim Baitul Khidmat yang terletak di Jalan Wonosari Gandu, Berbah, Sleman, DIY, misalnya, justru sejak awal dibangun dengan niat untuk melayani musafir. Masjid itu bahkan memiliki lima kamar penginapan.
Begitu pula dengan Masjid Cheng Ho di Genteng, Surabaya, Jawa Timur, yang terbuka bagi siapa saja. Lewat desain masjid yang menunjukkan perpaduan budaya Tionghoa dan Islam, siapa pun bisa melihat bahwa orang tetap bisa menjadi muslim tanpa menanggalkan identitas etnisnya.
“Saya sebagai aktivis toleransi perdamaian tentu mengimpikan bagaimana masjid itu menjadi sentra kegiatan toleransi dan perdamaian. Oleh karena itu, antara Katedral dan Istiqlal itu dibangun terowongan. Itu sebetulnya untuk memudahkan tokoh agama Islam dan Katolik, begitu juga dengan jemaatnya itu mudah untuk berjumpa,” kata Nurcholish.
Dengan begitu, rumah ibadah bisa menjadi ruang perjumpaan bagi berbagai umat beragama. Di situlah kemudian mereka saling mengenal keunikan dan kompleksitas dari masing-masing, lalu menumbuhkan empati dan toleransi yang pada akhirnya bisa meminimalisir ketegangan-ketegangan atau kekerasan atas nama agama.
Editor: Andrianor











Leave a Reply