Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Kosmologi Masyarakat Adat Mollo dalam Melawan Tambang

Bagi masyarakat Mollo, air dipandang sebagai darah yang mengalirkan kehidupan, sementara hutan berfungsi layaknya kulit dan rambut yang melindungi tubuh.

Ringkasan:
● Masyarakat adat Mollo memandang alam sebagai tubuh hidup yang menyatu dengan identitas dan keberlangsungan manusia.
● Tambang marmer merusak lingkungan sekaligus menghapus identitas sosial dan memicu konflik komunitas Mollo.
● Kebijakan tambang perlu menghormati kosmologi, pengetahuan lokal, dan hak masyarakat adat.

Republikasi dari Mubadalah.id

Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menyoroti cara pandang kosmologis masyarakat adat Mollo dalam memaknai alam sebagai dasar perlawanan terhadap industri tambang marmer. Pandangan tersebut ia paparkan dalam tulisannya di Kupipedia.id.

Menurut Siti Maimunah, masyarakat Mollo memaknai alam sebagai satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Orang Mollo menyebut alam sebagai Ibu Bumi, sebuah konsep yang menggambarkan relasi kultural yang erat antara manusia dan lingkungan sekitarnya.

Ia menjelaskan bahwa bagi masyarakat Mollo, air dipandang sebagai darah yang mengalirkan kehidupan, sementara hutan berfungsi seperti kulit dan rambut yang melindungi tubuh.

Sementara tanah diibaratkan sebagai daging yang menopang kehidupan. Gunung batu sendiri dipahami sebagai tulang yang menjadi penyangga utama keseimbangan alam.

Siti Maimunah juga menyinggung bahwa identitas sosial masyarakat Mollo terikat erat dengan alam. Nama-nama marga mereka berasal dari unsur-unsur alam seperti batu, pohon, dan air, yang mereka sebut dengan istilah faut kanaf, hau kanaf, dan oe kanaf.

Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa perusakan alam sama artinya dengan penghapusan identitas kolektif masyarakat adat.

Oleh karena itu, ketika aktivitas tambang marmer mulai berjalan, dampaknya tidak hanya berupa kerusakan fisik lingkungan. Siti mencatat terjadinya konflik sosial, baik di tingkat komunitas maupun keluarga.

Selain itu, pengeboran marmer memicu longsor, merusak lahan pertanian, serta mencemari sumber air yang selama ini menjadi penopang kehidupan warga.

Menurut Siti Maimunah, negara dan perusahaan sering kali mengabaikan dimensi sosial dan kultural tersebut dalam proses pemberian izin tambang. Pendekatan pembangunan yang semata-mata berorientasi pada keuntungan ekonomi dinilai gagal memahami kompleksitas relasi masyarakat adat dengan lingkungannya.

Melalui tulisannya di Kupipedia.id, Siti Maimunah mendorong agar kebijakan pengelolaan sumber daya alam mempertimbangkan pengetahuan lokal serta hak-hak masyarakat adat.

Ia menilai bahwa perlindungan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari perlindungan identitas dan keberlanjutan hidup komunitas adat. []

Editor: Andrianor