Belakangan ini polemik mengenai nikah beda agama kembali menyeruak dan menghiasi sejumlah media pemberitaan nasional. Sebabnya, permohonan uji materi terhadap Pasal 2 (1) UU 1/1974 memperoleh putusan akhir dari Mahkamah Konstitusi. Ramos Petege, si pemohon, menganggap UU ini menjadi biang keladi pupusnya rencana dirinya yang katolik untuk menikahi pujaan hatinya yang muslim. Setelah melalui proses persidangan yang panjang, Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan yang tidak melegalkan nikah beda agama di Indonesia.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menepis gugatan pemohon yang menyoal konstitusionalitas Pasal 2 (1) UU No. 1/1974. Menurut MK, norma dalam pasal ini, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,” sudah sejalan dengan perundang-undangan di Indonesia dan bahkan sudah mencerminkan tanggung jawab negara dalam memberi jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dalam tafsir MK, “perkawinan yang sah” adalah prasyarat wajib bagi tegaknya dua hak konstitusional “hak membentuk keluarga” dan “hak melanjutkan keturunan” yang menjadi amanat Pasal 28B ayat (1) UUD 1945.
Menariknya, keputusan MK ini diperoleh tidak dengan suara bulat. Dua hakim MK mengemukakan alasan yang berbeda (concurring opinion) meski setuju dengan amar putusan mayoritas hakim yang lain. Suhartoyo, menyertakan alasan perlunya negara hadir dalam menengahi ketidakpastian hukum terkait nikah beda agama dengan melakukan perubahan UU No. 1/1974 mengingat dinamika sosial yang semakin kompleks saat ini. Daniel Yusmic P. Foekh mengemukakan sejumlah mekanisme alternatif, seperti penerbitan Buku atau Akta Nikah Beda Agama. Ia juga mengusulkan perlunya para penghayat kepercayaan diberi Buku atau Akta Nikah Penghayat Kepercayaan, termasuk juga Nikah Agama-Penghayat Kepercayaan, sebagai implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 mengenai pencantuman “penghayat kepercayaan” dalam KTP.
Forum Internum dan Forum Eksternum
Di Indonesia, ketiadaan aturan hukum yang mengakomodasi nikah beda agama tidak menyurutkan laju pernikahakan beda agama di Indonesia. Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP), misalnya, mencatat setidaknya 1.425 pasangan melakukan nikah beda agama sejak 2005. Bagi mereka yang berkantong tebal, opsi yang ditempuh biasanya melakukan nikah beda agama di negara-negara lain yang melegalkan nikah beda agama seperti Singapura. Jika tidak mau repot dan keluar uang banyak, “pura-pura pindah agama” lazim ditempuh agar pernikahan bisa dicatatkan di KUA bagi muslim atau di Diskdukcapil bagi non-muslim.
Bagi orang seperti Ramos Petege, kesamaan agama sebagai penentu administratif bagi sah tidaknya pernikahan di Indonesia adalah bentuk pelanggaran negara terhadap kebebasan beragama warganya sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pernikahan dan kebebasan beragama adalah dua hak yang saling terkait dan masuk ranah forum internum yang tidak boleh dibatasi dan diintervensi oleh negara. Dalam praktiknya, Pasal 2 (1) UU No. 1/1974 telah menimbulkan kesulitan bagi sejumlah warga negara untuk menikah sesuai tafsir keagamaan yang diyakininya betapapun berbeda dari tafsir-tafsir keagamaan arus utama.
Di sisi lain, negara berdalih bahwa nikah beda agama, seperti halnya haji dan zakat, masuk dalam ranah ekspresi keagamaan atau forum eksternum sehingga sah-sah saja negara mengatur dan membatasinya. Bagi negara, Pasal 2 (1) UU No. 1/1974 bukan dimaksudkan untuk membatasi keyakinan keagamaan seseorang, tapi memastikan bahwa pernikahan di Indonesia tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Dengan berpegang pada pendapat umum organisasi-organisasi keagamaan tentang nikah beda agama, negara memandang kebijakan negara tidak melegalkan nikah beda agama sudah sejalan dengan norma agama yang berlaku di Indonesia. “Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Enny Nurbaningsih, salah satu Hakim MK.
Dua argumen di atas menjelaskan bahwa tidak mudah menarik batas tegas antara konsep forum internum dan forum eksternum dalam konteks pembatasan kebebasan beragama. Pernikahan memang bentuk ekspresi keagamaan, tapi pelaksanaanya sangat terkait erat dengan hak absolut seseorang untuk menikah sesuai dengan hati nurani dan keyakinannya. Dalam banyak kasus, Pasal 2 (1) UU No. 1/1974 secara tidak langsung memicu terjadinya “pemaksaan” pindah agama karena alasan pencatatan sipil seperti nampak dalam tren ‘pura-pura pindah agama’.
Akomodasi Yang Layak
Putusan MK terkait nikah beda agama adalah fakta hukum, suka atau tidak, yang harus diterima. Penolakan uji materi terhadap Pasal 2 (1) UU No. 1/1974 berarti juga bahwa peraturan mengenai nikah beda agama tidak berubah; begitu pula, nikah beda agama di luar negeri atau ‘pura-pura pindah agama’ akan tetap menjadi opsi bagi pasangan yang hendak melangsungkan nikah beda agama.
Apakah nikah beda agama diperbolehkan secara agama biarlah menjadi dinamika tafsir setiap agama yang saya yakin akan terus berkembang. Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, pertanyaan yang paling mendesak adalah bagaimana mengakomodasi hak sebagian warga negara yang ingin melangsungkan nikah beda agama.
Usulan salah satu hakim MK, Daniel Yusmic P. Foekh, patut dipertimbangkan sebagai bentuk akomodasi yang layak bagi pasangan nikah beda agama. Penerbitan Buku atau Akta Nikah Beda Agama bisa menjadi jalan keluar untuk tetap menjamin hak-hak sipil setiap pasangan yang memilih nikah beda agama. Upaya untuk mengakomodasi kepentingan pasangan nikah beda agama terkait status dan hak-hak sipil mereka sebenarnya sudah ditempuh oleh sejumlah pengadilan negeri. Baru-baru ini, PN Surabaya, misalnya, mengesahkan permohonan nikah beda agama dan memerintahkan pencatatannya di Disdukcapil setempat.
Sri Wahyuni, pakar perbandingan mazhab dan hukum di UIN Sunan Kalijaga, menjelaskan bahwa sebenarnya Pasal 2 (1) UU No. 1/1974 tidak secara spesifik melarang pernikahan beda agama. “UU Perkawinan tidak secara spesifik melarang pernikahan beda agama. Pelaksanaannya menjadi rumit lebih karena interpretasi yang multitafsir, kentalnya bias ideologi keagamaan, dan prosedur teknis di kalangan para pencatat perkawinan,” kata Wahyuni. Kesan serupa dirasakan oleh Devi Asmarani, Pimred Magdalene.co. “Zaman ibu saya dulu malah lebih gampang; itu tahun 1968. Karena orang tua saya berbeda agama juga, mereka menikah di catatan dan mudah saja,” katanya.
Dengan demikian, tantangan utamanya sejatinya bukan pada absennya peraturan perundang-undangan tentang nikah beda agama, tapi kesadaran perangkat hukum (hakim dan petugas pencatat pernikahan) tentang hak asasi manusia. []
Maufur
Dosen Prodi SAA IAIN Kediri; Divisi Kerja Sama Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB); Mahasiswa Doktoral ICRS UGM
Leave a Reply