Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan pada awal Januari 2023 telah memancing kontroversi di media dalam dan luar negeri. Salah satu perubahan yang belum banyak dibahas adalah pasal-pasal terkait agama. Dalam tulisannya di harian Kompas (5 Januari 2023), Rumadi Ahmad menunjukkan adanya beberapa kemajuan. Namun, tak sedikit media internasional yang justru mengkritik keras dan mengklaim adanya pasal-pasal bermasalah, termasuk perluasan pasal tentang kriminalisasi blasphemy (penodaan agama), bahkan apostasy (meninggalkan agama).
Persoalan lain menyangkut partisipasi publik. Tak sedikit organisasi masyarakat sipil dan akademisi yang memberikan masukan untuk pasal-pasal tersebut. Di antaranya adalah Aliansi Nasional Reformasi KUHP (2016) , Komnas Perempuan (2022), dan Aliansi Advokasi Pasal Pidana Agama/Kepercayaan (2022, 2022). Sejauh mana masukan mereka diterima atau dipertimbangkan?
Beberapa Kemajuan
Usulan penting yang diajukan ketiga kelompok di atas adalah terkait cakupan “agama”, yang biasanya, dalam UU dan peraturan, merujuk pada enam agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Usulan untuk memperluasnya, sehingga mencakup kepercayaan, diterima. Dalam KUHP yang baru, setiap “agama” disebut, “kepercayaan” juga disebut.
Seberapa signifikan inklusi ini? Hal ini masih bisa diperdebatkan, tetapi setidaknya ada penguatan pengakuan terhadap kepercayaan, yang sebetulnya telah ada dalam UUD 1945 (Pasal 28E) dan diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017.
Usulan penting lain adalah untuk menghilangkan “penodaan agama”. Alasannya ialah bahwa dalam sejarahnya, pidana mengenai penodaan agama kerap menyasar kelompok yang rentan. Alih-alih membantu kerukunan sebagaimana menjadi alasan pemerintah untuk mempertahankannya, ia justru kontraproduktif terhadap kerukunan. Dalam KUHP yang baru “penodaan agama” tak digunakan lagi. Pertanyaannya adalah: apakah hilangnya istilah itu berarti hilang pula substansinya?
Masih Adakah “Penodaan Agama”?
Pasal 156a dalam KUHP yang berlaku saat ini berasal dari Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965. Bunyinya adalah sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
- dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam evolusi RKUHP, istilah penghinaan atau penodaan terhadap agama digunakan hingga tahun 2019, tetapi telah hilang dalam beberapa draf tahun 2022. Dalam RKUHP yang telah disahkan, bunyi Pasal 300 yang akan menggantikan Pasal 156a itu adalah:
Setiap orang di muka umum yang:
- melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
- menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
- menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi,
terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ada beberapa perbedaan cukup signifikan di sini. Pertama, dari sisi jenis perbuatan, unsur subjektif “mengeluarkan perasaan” dan unsur ambigu “penyalahgunaan” dan “penodaan” telah hilang, digantikan dengan hasutan untuk permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi. Istilah ini sejalan dengan ungkapan yang ada pada Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (KHSPI, diratifikasi oleh UU No. 12/2005) ayat 2: incitement to discrimination, hostility or violence. Pasal itu meminta negara untuk melarang hasutan seperti itu.
Benar bahwa ungkapan seperti itu tetap bisa ditafsirkan secara terlalu luas atau longgar. Namun, sebagai bagian dari dokumen internasional, telah ada banyak riset mengenainya, ada upaya membuat pedoman implementasinya, ada banyak juga bahan dari pengalaman praktis beberapa negara yang telah memiliki hukum semacam itu.
Persoalan yang tersisa adalah bahwa selain orang/kelompok, yang termasuk dalam subjek yang dilindungi di sini adalah agama/kepercayaan itu sendiri. Penting dicatat bahwa pemahaman mengenai kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) dalam dokumen-dokumen HAM, termasuk yang sudah diratifikasi Indonesia, adalah bahwa perlindungan diberikan kepada individu manusia, bukan agama/kepercayaan itu sendiri. Perlindungan kepada agama/kepercayaan adalah penanda hukum blasphemy yang problematis—karena meskipun terdengar mulia, biasanya ia justru membatasi kebebasan pemeluknya dan berpihak kepada pandangan yang dominan (atau dianggap otoritatif) dalam agama/kepercayaan itu.
Jika saja kata “agama, kepercayaan” dihapus dari bagian pasal itu yang berbunyi “terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan”, maka unsur blasphemy/penodaan agama dapat dikatakan hilang. Dengan masih tertinggalnya agama/kepercayaan sebagai subjek yang dilindungi, maka pasal ini masih memiliki kelemahan-kelemahan umum yang ada dalam setiap hukum penodaan agama.
Dalam usulan Komnas Perempuan (Juni 2022) dan Aliansi Advokasi Pasal Pidana Agama/Kepercayaan (September dan November 2022), persis inilah salah satu isu krusial yang tidak diakomodasi. Ini juga tecermin pada usulan perubahan judul Bab VII itu, yang berbunyi Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan. Komnas Perempuan mengusulkan perubahan judul menjadi Tindak Pidana terhadap pemeluk Agama atau Kepercayaan, sementara Aliansi Advokasi Pasal Pidana Agama/Kepercayaan, 2022) mengusulkan Tindak Pidana atas Dasar Agama atau Kepercayaan.
Dalam hal bentuk hukumannya, KUHP baru mengurangi hukuman maksimal dari lima ke tiga tahun. Di sini ada pula perbedaan dengan beberapa usulan perbaikan. Komnas Perempuan, dalam tanggapannya (2 Juni 2022), mengusulkan pasal ini menjadi delik aduan, dan “tidak dilakukan penuntutan kecuali telah ada langkah dan upaya pencegahan serta musyawarah yang dilakukan oleh pelapor dengan orang atau organisasi tersebut yang dimediasi oleh lembaga pemerintah atau lembaga nasional hak asasi manusia.” Aliansi Advokasi Pasal Pidana Agama/Kepercayaan mengusulkan hal serupa terkait mediasi, menambahkan alternatif kerja sosial, serta mengusulkan pemberatan (tambahan sepertiga dari maksimum ancaman pidana) jika perbuatan itu dilakukan oleh pejabat publik.
Dengan ini semua, apakah pasal pidana agama/kepercayaan dapat dikatakan merupakan perluasan dari pasal penodaan agama/blasphemy di KUHP saat ini? Jelas tidak. Dari segi pendefinisian perbuatan (dari penyalahgunaan dan penodaan menjadi hasutan untuk permusuhan, kekerasan, diskriminasi) maupun jenis hukumannya, Pasal 300 sebetulnya justru melemahkan pidana blasphemy.
Meskipun demikian, tidak juga dapat dikatakan bahwa pasal ini telah sepenuhnya menghilangkan unsur blasphemy—yang dicirikan oleh perlindungan atas agama (bukannya perlindungan warga negara). Selain itu, perlu diingat bahwa KUHP yang baru hanya membatalkan Pasal 4 dari UU Pencegahan, Penodaan dan Penyalahgunaan Agama (No.1/PNPS/1965) yang selama ini merupakan sumber utama pemidanaan penodaan agama. Pasal 1—3 dari UU itu dapat mempidanakan orang yang, “menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pasal Murtad?
Pasal lain yang kontroversial adalah Pasal 302 yang berbunyi:
- Setiap orang yang di muka umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
- Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal ini jelas bukan larangan bagi seseorang untuk mengubah atau meninggalkan suatu agama (apostasy). Yang dilarang adalah menghasut atau memaksa (orang lain) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Lebih jauh, Penjelasan ayat (1) juga menyatakan “Ketentuan ini bukan merupakan pembatasan bagi seseorang untuk berpindah agama atau kepercayaan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Kelemahan utama dari pasal ini adalah biasnya pada “tidak beragama” yang muncul dari stigmatisasi yang memiliki akar kuat dalam sejarah Indonesia, terhadap orang yang menyatakan diri tidak beragama (ateis, agnostik, dan sebagainya). Ini terkait dengan pelarangan terhadap komunisme.
Baik Komnas Perempuan (Juni 2022) dan Aliansi Advokasi (September dan November 2022) mengusulkan untuk menghilangkan pasal 302(1) dan hanya mempertahankan ayat (2), yang lebih umum. Jika saja bias itu dihilangkan, maka larangan untuk memaksa atau mengancam orang untuk meninggalkan agamanya (dan dengan demikian, juga memeluk suatu agama/kepercayaan tertentu) akan sepenuhnya menjadi pasal nonkoersi, yang sejalan dengan salah satu inti norma KBB dalam KHSPI (Komentar Umum No. 22, paragraf 5).
Produk Kompromi
Dapat disimpulkan, sejauh menyangkut pasal tentang agama, KUHP yang baru menunjukkan beberapa perbaikan dibanding dengan KUHP yang sedang berlaku kini. Namun, kemajuan ini baru setengah jalan karena unsur-unsur problematis tidak sepenuhnya dihapuskan. Persis kritik-kritik atas dua pasal yang dibahas di atas itulah yang juga menjadi kritik Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.
Selain itu, ada pula pasal-pasal lain yang tak langsung terkait dengan agama yang membuka peluang untuk membatasi KBB. Pasal mengenai “hukum yang hidup dalam masyarakat” dan pelarangan paham yang bertentangan dengan Pancasila (Pasal 188) adalah dua di antaranya, yang tidak akan didiskusikan lebih jauh di sini.
Tidak bisa dimungkiri, dalam banyak hal—bukan hanya soal agama—KUHP yang baru adalah produk kompromi. Selain kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti dibahas di atas, ada pula kelompok-kelompok lain, termasuk kelompok keagamaan yang lebih konservatif, yang menyuarakan aspirasi mereka yang mengusulkan pembatasan yang lebih besar.
Pada Oktober 2022, misalnya, MUI mengadakan pertemuan dengan Kementerian Hukum dan HAM serta ormas-ormas Islam lain. MUI mengusulkan untuk mempertahankan UU tentang penodaan agama dan mengajukan sejumlah usulan lainnya. Menarik bahwa secara umum, mereka tampak lebih menaruh perhatian pada artikel tentang perzinahan dan kohabitasi daripada tentang penodaan agama. Di luar isu itu, ada wakil ormas yang ingin memasukkan pasal untuk mencegah “kriminalisasi ulama”, ada pula yang ingin mengkriminalisasi pembangunan rumah ibadah yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Usulan-usulan itu tidak diterima.
Hubungan antara agama dan negara adalah persoalan yang telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah Indonesia, dan kompromi-kompromi terus dilakukan. Setelah mengakui itu pun, kita bisa bertanya, apakah KUHP ini adalah yang terbaik dari yang mungkin dihasilkan? Tidak ada jawaban mudah untuk pertanyaan ini. Yang jelas, setelah sekian puluh tahun didiskusikan, tidak keliru jika kita berharap bahwa KUHP ini menjadi produk yang jauh lebih baik.
Memperjuangkan Ruang Tafsir
Yang dapat dilakukan kini adalah memperjuangkan ruang tafsir untuk implementasi KUHP. Kebebasan beragama atau berkeyakinan jelas dapat dibatasi dalam situasi dan dengan persyaratan tertentu. Namun, mendefinisikan pembatasan yang diperbolehkan hampir selalu kontroversial. Di sinilah ruang tafsir itu menjadi penting dalam konteks demokrasi Indonesia.
Pengalaman menunjukkan bahwa penerapan Pasal 156a KUHP dan UU Penodaan Agama kerap diskriminatif terhadap orang atau kelompok keagamaan tertentu, atau yang tak beragama. Ini di antaranya dimungkinkan oleh penafsiran yang terlalu subjektif dan longgar atas pasal-pasal yang memang pada dasarnya sudah bersifat kabur. Karena itulah menjadi penting untuk memiliki pedoman yang memastikan aparat penegak hukum tidak menerapkan pasal-pasal dalam KUHP baru yang dibahas di sini terlalu longgar dan subjektif, mengikuti pola atau kebiasaan lama.
Ada banyak sumber yang bisa dipelajari untuk menyusun pedoman semacam itu (misalnya, dokumen yang dikeluarkan organisasi Article 19). Beberapa usulan yang diajukan oleh organisasi masyarakat sipil yang dibahas di sini mengacu pada Rencana Aksi Rabat (2012), sebuah instrumen hak asasi manusia yang memberikan batasan rinci untuk implementasi Pasal 20 KHSPI. Aliansi Advokasi juga menunjuk pada Resolusi 16/18 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang menunjukkan pergeseran dari larangan “penodaan agama” menjadi memerangi intoleransi. Pengalaman negara lain dengan undang-undang serupa juga akan sangat membantu. Kita dapat berharap bahwa perbandingan semacam itu dapat diperhitungkan dalam pembahasan peraturan pelaksanaan KUHP di Indonesia.
KUHP yang baru jelas bukan produk yang ideal. Akan tetapi, masih ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa kelompok keagamaan yang rentan dapat lebih terlindungi.
Zainal Abidin Bagir
Penulis adalah dosen di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, dan Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies
Tulisan ini pertama kali terbit di http://crcs.ugm.ac.id dan versi versi bahasa Inggris-nya terbit di https://indonesiaatmelbourne
Leave a Reply