Kasus-kasus terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di sepanjang 2023 menunjukkan angka yang rendah untuk negara seluas Indonesia. Meski begitu, hal ini bukan berarti tak penting. Di usia Reformasi yang memasuki ¼ abad, kasus KBB selalu mengingatkan kita bahwa para penggiatnya perlu bekerja lebih keras lagi.
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, memulai catatannya di atas dalam Laporan dan Refleksi Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2023 yang diselenggarakan Koalisi Advokasi KBB Indonesia, di Kantor YLBHI, Kamis (21/12). Selain Ihsan, turut hadir Muhammad Isnur (YLBHI), Asfinawati (STHI Jentera), Zainal Abidin Bagir (ICRS), Firdaus Mubarik (Sobat KBB), dan Samsul Ma’arif (CRCS UGM), dengan moderator Ahsan Jamet Hamidi (The Asia Foundation).
Koalisi Advokasi KBB Indonesia, kata peneliti PUSAD Paramadina Utami Sandyarani, merupakan platform kolaborasi 68 organisasi dan komunitas untuk isu KBB. Datang dari 26 provinsi di Indonesia, Koalisi ini membentuk Sekretariat Bersama yang terdiri dari para aktivis, akademisi, dan komunitas korban yang memperjuangkan isu KBB, sebagai hasil dari refleksi Konferensi KBB di Puncak, Bogor, pada awal 2023. PUSAD Paramadina sendiri menjadi host sekretariat bersama ini hingga 2026, untuk memperkuat kolaborasi dan advokasi bersama.
Menunggu Kejelasan Regulasi
Di tahun ini, kata Ihsan, masih terdapat peristiwa warisan tahun-tahun sebelumnya, seperti penolakan Gereja HKI di Aceh Singkil, Masjid Imam Ahmad ibn Hanbal di Bogor, dan beberapa Masjid Ahmadiyah di daerah lain. Di sisi lain, kasus penyelesaian GKI Yasmin bisa menjadi catatan penting.
“Pemkot Bogor menjalani proses mediasi (para pihak) dengan bantuan Komnas HAM dan LSM, meski harusnya sedari awal sudah dilakukan, bukan sekadar tunduk pada pihak penolak gereja,” terang Ihsan. Setelah proses mediasi pun, beberapa jemaat yang tidak puas dengan hasilnya masih merujuk ke putusan Mahkamah Agung yang memenangkan tuntutan lokasi awal GKI Yasmin. Bagian ini menjadi catatan penting untuk penyelenggaraan mediasi di masa depan, agar pelibatan dan keterwakilan semua pihak dapat terpenuhi.
Di tingkat nasional, Presiden Joko Widodo mulai mengusahakan agar Peraturan Bersama Menteri tahun 2006, yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah, diperbaiki melalui Rancangan Perpres (Raperpres). Namun, sejauh ini tidak ada keterangan terbuka untuk publik mengenai mengapa Raperpres ini disiapkan, untuk apa penerbitannya, dan siapa yang telah dan akan dilibatkan. Salah satu isi draf tersebut adalah pembentukan FKUB Nasional, tetapi justru di sanalah masalahnya.
“Ini juga bisa mengikis semangat desentralisasi, karena Pemda dan FKUB tingkat Kota/Kabupaten menjadi tidak begitu penting, bahkan justru menunjukkan semangat sentralisasi dan mengingatkan kita pada Orde Baru,” tegas Ihsan. Urusan kerukunan memang terkait masalah agama, tetapi juga terdapat urusan sosial-politik di sana. Ketika Pemerintah Pusat terkesan ingin terlibat lebih jauh, seperti membentuk FKUB Nasional untuk mitigasi dan dukungan resolusi konflik berskala nasional, mekanismenya tidak terang sehingga dikhawatirkan menjadi kontraproduktif.
FKUB Nasional, dalam refleksi Ihsan, merumitkan jalur penanganan konflik yang seharusnya tertangani dengan cepat di tingkat Nasional. Ia juga bisa menjadi tempat berkumpul para elite nasional dengan pelbagai kepentingannya, serta menghapus wewenang rekomendasi tertulis dari tingkat kota/kabupaten. Kelemahan yang masih terlihat di banyak FKUB tingkat kota/kabupaten itu bukan diatasi dengan FKUB Pusat, melainkan penguatan kapasitas mereka.
Selain kerukunan, yang perlu mendapat perhatian juga dalam KBB tahun ini adalah masalah penodaan agama. Bagi Zainal Abidin Bagir, isu penodaan agama selalu bersifat sensitif. Meski tak tersedia data yang cukup, di tahun ini masih banyak kasus baru terkait isu penodaan seperti kasus Oklin Fia yang tidak divonis, Lina Mukherjee yang sudah divonis, dan Panji Gumilang yang pengadilannya masih berlangsung.
Tiga contoh di atas, lanjut Zainal, menunjukkan kesamaan pola. “Pertama, pelapor menggunakan UU ITE, tidak selalu menggunakan Pasal 156a KUHP. Kedua, kasus bermula dari sesuatu yang viral di media sosial dan mendorong tekanan publik. Ketiga, fatwa majelis keagamaan cukup sentral untuk menentukan terpenuhinya penodaan agama. Sebagai contoh, kasus Oklin Fia bagi MUI hanyalah perbuatan yang tidak pantas, bukan penodaan,” terang dia. Unsur ‘penodaan agama’ yang tidak jelas menjadikan peristiwa berbeda bisa disebut penodaan atau bukan penodaan agama.
Pasal 156 akan diganti pasal 300 KUHP 2023 dan Pasal 28 dan 45 dalam UU ITE dinyatakan tidak berlaku karena digantikan pasal 243. Dimensi pelanggaran dari kedua pasal ini sangat jelas sehingga penegakan hukum tidak perlu lagi mendengar saksi ahli, apalagi saksi yang hanya mewakili satu bentuk interpretasi keagamaan tertentu.
Mengamati kasus yang berjalan dan arah perubahan regulasi ini, Zainal merekomendasikan dua hal. Pertama, aparat tidak lagi menggunakan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku. Fakta perubahan pasal tersebut menunjukkan masih adanya masalah di dalam teksnya. Kedua, aparat tetap membuka ruang penafsiran, sehingga tak lagi bergantung pada saksi ahli. Aparat bisa merujuk, misalnya, Rencana Aksi Rabat dari OHCHR terkait unsur-unsur permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi atas agama.
Regulasi yang sudah diubah dengan harapan menjadi lebih baik pun masih menyisakan ruang interpretasi sepihak. Saat ini, akan ada perubahan cukup besar jika aparat mengikuti perubahan dalam KUHP. Pasal 4 PNPS juga digantikan 302 ayat 1. Namun, Asfinawati mewanti-wanti.
“Jika melihat kebiasaan penegak hukum saat ini, norma hukum yang seharusnya netral kerap ditafsirkan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas,” ungkap Asfin. Ia berharap perubahan ini jangan sampai ditafsirkan secara melenceng bahkan negatif, seperti menuduh seseorang melakukan hasutan padahal hanya menyampaikan ujaran pribadinya. Diksi-diksi perubahan regulasi tersebut perlu mengacu pada norma HAM dan prinsip umum dalam hukum pidana, yakni hukuman yang lebih ringan.
Nasib Kelompok Rentan
Yang paling terkena dampak dari pelanggaran KBB adalah kelompok rentan, seperti para penganut agama minoritas dan penghayat kepercayaan.
Hingga 2023 ini, dalam catatan Samsul Ma’arif, negara masih menunjukkan sikap paradoks terhadap KBB bagi penghayat. Memang terdapat kemajuan yang berarti terkait regulasi, tetapi kecenderungannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Ada dua putusan MK yang menyetarakan agama dan penghayat. Meski MK sempat menolak judicial review atas UU PNPS No. 1 Tahun 1965, tapi mereka memutuskan bahwa negara tidak punya hak untuk menentukan pengakuan atas agama tertentu,” kata Ancu, sapaan akrabnya. Ia menambahkan, dari sisi UU, masih terdapat ketakjelasan apakah penghayat sama dengan agama termasuk KBB yang melekat, sehingga perlindungan aparat masih menimbulkan kontroversi.
Dalam KUHP baru, misalnya, tertulis bahwa pemeluk agama dan penghayat kepercayaan menempati posisi yang sama. Perpres Penguatan Moderasi Beragama juga menempatkan penganut agama dan kepercayaan sebagai warganegara dengan hak setara. Meski begitu, “Perpres tentang Kemenag hanya mengurusi 6 agama. Perpres tidak mempertimbangkan 2 putusan MK, sehingga Baha’i, Yahudi, dan penghayat kepercayaan tidak mendapat perhatian dari negara,” kata dia. Senada dengan perpres KUB, Perpres Kemenag masih mempertentangkan agama dan kepercayaan.
Pertentangan itu menunjukkan kegamangan negara yang tampak partisan, sehingga penganut kepercayaan belum berani mengambil KTP dengan kolom Kepercayaan yang menjadikan mereka tidak mendapat layanan publik. Karena itu, Acu memberikan rekomendasi penyusunan Rancangan Perpres perlu berkoordinasi untuk menghindari pertentangan peraturan. Untuk mencapainya, pemerintah perlu merujuk Perpres 58, KUHP, dan putusan MK, agar semakin selaras sehingga hak warga semakin menguat.
Selain penghayat, yang juga menunggu kejelasan regulasi adalah kelompok agama minoritas, terutama mereka yang telah menjadi korban. “Di kalangan komunitas korban, tumbuh rasa tidak percaya atas keseriusan negara menjamin KBB. Kebijakan lama maupun yang disiapkan masih bersifat minimalis, sekadar untuk menjaga ketertiban, bukan menjamin hak sehingga masih ada risiko pelanggaran,” kata Firdaus Mubarik.
Kondisi ini membuat komunitas korban enggan melaporkan penyelesaian di luar jalur hukum, sehingga data situasi sebenarnya atas kebebasan mereka menjadi minim. Ketika komunitas ingin melakukan ibadah, mereka memperhitungkan kemungkinan penyerangan dan pembubaran sebagai risikonya. Ini menunjukkan kepercayaan rendah negara menjamin hak warganya.
Peningkatan Jelang Pemilu
Banyak penelitian menunjukkan serangan terhadap minoritas meningkat menjelang pemilu atau pilkada. Di tahun 2024 nanti, yang berlangsung bukan hanya Pemilu Presiden dan Legislatif di tingkat Nasional, tetapi juga Pilkada di level kabupaten dan provinsi, termasuk legislatifnya.
“Semua berlangsung nyaris serentak di waktu berdekatan, sehingga menjadi masa yang rentan kekerasan apabila ujaran kebencian dan diskriminasi digunakan dalam kampanye,” ungkap Muhammad Isnur.
Di antara kelompok rentan yang menjadi sasaran adalah penganut agama minoritas, bahkan tanpa pemilu pun nasib mereka sudah rentan. Temuan riset YLBHI sebelumnya seperti di 2014 dan 2019 menunjukkan angka serangan yang meninggi terhadap mereka. Di samping itu, menengok penanganan hukum di tahun sebelumnya, delik ujaran kebencian dipakai untuk mengkriminalisasi mereka yang kritis, bukan hanya minoritas tetapi oposisi.
“Jadi, perlindungan terhadap minoritas harus dilakukan sedini mungkin, bukan hanya menunggu represi negara. Pola penanganan konflik sosial juga harus dibaca seluas mungkin,” tambah Isnur. Merujuk data Safenet, UU ITE dipakai 60% oleh mereka yang berkuasa dan bermodal, sehingga masyarakat harus lebih giat melakukan pemantauan dan berkampanye penegakan HAM.
Dari sisi positif, tahun politik adalah momentum perubahan untuk mendorong para calon berada dalam garis tegak lurus dengan konstitusi, ketika berbicara soal KBB. Bukan hanya dalam visi dan misi, tetapi juga agenda bersama yang mereka rumuskan secara konkret dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. “Mereka juga harus berkomitmen mencabut regulasi diskriminatif, tetapi juga dibuat dengan baik dan partisipatif,” pungkas Isnur.
Membandingkan Tahun-tahun Sebelumnya
Dua jurnalis, Shinta Maharani dari Tempo dan Quin Pasaribu dari BBC, menanyakan perbandingan situasi KBB sekarang dengan masa-masa sebelumnya. Dalam konteks Pemilu, jawab Isnur, situasi KBB di tahun 2019 memang yang tertinggi, ekses dari kasus Ahok di 2016 yang bahkan sampai menghasilkan banyak persekusi. “Menjelang 2024, trennya lebih landai dan semoga tetap kondusif,” terangnya.
Angka kasus KBB pada kelompok kepercayaan juga landai, tapi rasa tidak aman dan kekhawatiran untuk mengekspresikan diri dan keyakinan mereka masih mengendap. “Meski tidak ada ujaran kebencian terhadap kelompok kepercayaan, tapi juga tidak ada perhatian (politisi terhadap mereka), sehingga mereka tidak banyak berharap dari proses pemilu,” tambah Ancu.
Karena laporan ini menjadi yang pertama dari Koalisi KBB Indonesia, ia tidak bisa dibandingkan dengan situasi tahun lalu. Namun, jika dibandingkan dengan laporan lain seperti dari YLBHI, secara umum tidak ada perubahan besar baik positif maupun negatif dari sisi peristiwa, seperti dalam kasus penodaan agama.
“Polanya sama, seperti diawali dengan isu viral di media sosial. Tetapi satu hal yang signifikan adalah dari segi regulasi adalah dalam KUHP, seperti pembatalan pasal 156 H dan pasal dalam UU ITE penting, meski dalam beberapa waktu ke depan masih mungkin bermasalah,” ungkap Zainal. Setidaknya, sudah terjadi perbaikan di tingkat normatif sehingga penafsiran dan implementasinya juga diharapkan bisa mengikuti.
Peristiwa di tahun sebelumnya juga masih berlarut terjadi di tahun ini, bahkan mungkin masih terdapat kasus yang tidak diangkat ke publik karena kelompok rentan menilainya berisiko. “Perkembangan menarik dari kasus GKI Yasmin perlu digarisbawahi. Pertama, Walikota Bogor baru tergerak menyelesaikan masalah dalam 5 tahun terakhir, karena dorongan Indeks Kota Toleran dari Setara Institute, ditambah kritik dan dukungan Komnas HAM dan beberapa LSM. Kedua, kasus selesai lewat mediasi, tapi mestinya mediasi sudah berlangsung sejak awal konflik terjadi, bukan sebagai pemadam kebakaran sehingga mempersulit proses,” tambah Ihsan.
Tahun ini, pemerintah juga sedang menyiapkan Rapepres KUB, tetapi tidak ada rembuk publik yang bukan hanya berlaku di antara majelis agama. Arah Raperpres itu juga sentralisasi, seperti telah disinggung sebelumnya. Upaya inisiatif masyarakat di tingkat kota/kabupaten dihilangkan, belum lagi masalah minimnya peran serta perempuan.
Hal yang sama terjadi juga pada korban yang situasinya tidak banyak berubah, seperti pada Jemaat Ahmadiyah Mataram dan Syi’ah Sampang. Ada dialog dan janji pemberian rumah atau pulang ke kampung halaman, tapi situasi masih sulit. Tapi, ada contoh keberhasilan dari daerah lain. “Di Sintang, Pemda bertanggung jawab sampai mengganti masjid. Di Lombok Timur, Bupati turun tangan menyelesaikan konflik, yang seharusnya menjadi urusan Mendagri di tingkat nasional karena terkait dengan status kewarganegaraan. Pola bagus di Bangka oleh Mendagri tidak diulang di tempat lain. Ini menunjukkan sosok yang menjabat juga berpengaruh (terhadap situasi KBB),” kata Isnur.
Di beberapa daerah, terang Firdaus, terdapat pula peningkatan ketegangan, meski masih bisa ditangani oleh komunitas korban. Kelompok rentan juga merasakan sehingga, jika terjadi insiden, akan lebih cepat meledak. “Semoga tren ini sesaat saja dan selesai setelah Pemilu,” harap Firdaus. Komunitas korban juga tidak melihat usaha penyelesaian kasus masa lalu, padahal Pemerintah seharusnya tidak hanya menilai kasus berdasarkan insiden, tetapi juga menyelesaikan kasus yang lama. “Sehingga negara tidak berutang masalah,” tambah dia.
Beberapa Pemda, ungkap Firdaus, memang bergerak cepat sehingga masalah selesai, tetapi sisanya didiamkan sampai usang. “Lambat laun, aktor-aktornya wafat, sehingga negara terkesan membiarkan,” tutupnya.
Unduh laporan di bawah ini
Leave a Reply