Oleh Ismail Al-’Alam
Meski konflik bermotif agama banyak terjadi sejak Indonesia merdeka, upaya mengadvokasinya dengan istilah eksplisit Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) baru dimulai sekitar tahun 2005. Situasi ini diikuti penerbitan laporan KBB oleh beberapa lembaga, sejak tahun 2007. Pendekatan advokasi KBB pun makin diperkaya; bukan saja menekankan aspek hukum dan norma, tetapi juga pendekatan yang menekankan kepentingan seperti mediasi.
Hal ini disampaikan Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Zainal Abidin Bagir, dalam Bincang Buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama: Ketegangan dalam Ragam Pendekatan Advokasi bagi Kelompok Terpinggirkan, di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu, 10 Januari 2024.
Penyelenggara acara, Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, adalah penerbit buku ini, bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dan Koalisi Advokasi KBB Indonesia. Buku ini merupakan analisis dan refleksi 20 tahun advokasi KBB di Indonesia, yang terdiri dari lima bab.
Setelah bab pertama yang memaparkan sejarah advokasi KBB, dua bab berikutnya mengangkat studi kasus (GKI Yasmin dan mediasi Komnas HAM), diikuti dua bab terakhir yang merupakan refleksi lebih luas mengenai ketegangan antara pendekatan advokasi berbasis hak dan berbasis kepentingan.
Selain Zainal yang menjadi salah satu penulis buku, turut hadir penulis lain, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM Diah Kusumaningrum. Bincang buku ini juga mengundang dua pembahas, yakni pengacara publik LBH Yogyakarta, Kharisma W. Khusniyah, dan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli P. Sihombing, yang juga seorang aktivis KBB.
Meluasnya Pendekatan Advokasi
Penggunaan istilah advokasi KBB tak lepas dari dua kondisi khas Reformasi. Pertama, Amandemen UUD 1945, yang salah satunya memasukkan jaminan HAM sesuai dengan konteks HAM di tingkat internasional. Yang kedua adalah meningkatnya yudisialisasi, atau pemrosesan secara hukum, kasus-kasus terkait agama.
“Kemudian terjadi perluasan advokasi, dari yang awalnya pendekatan hukum ke pendekatan yang lebih meluas,” kata Zainal. Pendekatan advokasi yang sebelumnya hanya berbentuk tekanan pada pemerintah meluas menjadi kerja bersama pemerintah, seperti dengan beberapa Kementerian, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Zainal mengambil studi kasus GKI Yasmin untuk menunjukkan beberapa pergeseran pendekatan itu. “Di tahun 2006-2011, pihak GKI Yasmin menempuh jalur litigasi untuk menghadapi tuntutan penolak mereka. Meski mendapat legitimasi dari PTUN dan Ombudsman, langkah tersebut justru buntu,” terang dia. Hal ini tak lepas dari peran Walikota Bogor saat itu, Diani Ru’yat, yang dianggap melayani keinginan kelompok penentang gereja.
Pada awal kepemimpinan Bima Arya sebagai Walikota Bogor, meski mulai membuka kemungkinan negosiasi, perjuangan hak KBB di kasus ini juga belum menemukan titik terang. “Barulah di masa jabatan kedua Bima Arya kesepakatan bisa terjadi,” tambah Zainal. Hal ini tak lepas dari pelibatan Komnas HAM dan organisasi non pemerintah dalam memediasi GKI Yasmin dan pihak penolak.
Dari contoh ini, Zainal membuka diskusi tentang perluasan bentuk advokasi, dari ranah hukum yang berbasis hak ke ranah mediasi yang berbasis kepentingan. Apalagi regulasi agama di Indonesia masih condong ke pihak agama mayoritas atau arus utama. “Kalau berbicara HAM, kita harus berbicara hal yang lebih luas dari hukum,” terangnya.
Mediasi bukan Kompromi Semu
Merefleksikan dua bab terakhir dari buku yang dibahas, Diah Kusumaningrum menekankan pentingnya transformasi konflik sebagai cita-cita ideal, sehingga kita tidak boleh puas dengan cara-cara penyelesaian secara cepat. Ia juga memaparkan enam pijakan berpikir untuk meluruskan beberapa kesalahpahaman terkait pengelolaan konflik.
Pertama, konflik itu bersifat alamiah. Kedua, konflik perlu diarahkan menjadi produktif. Ketiga, konflik dapat dikelola dengan pendekatan kekuatan, hak, dan atau kepentingan. Keempat, konflik perlu ditransformasikan. Kelima, kelindan kepentingan antarpihak menjadi kunci transformasi konflik. Keenam, pentingnya kemampuan memadukan pendekatan, prinsip, dan keterampilan dalam menangani konflik.
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif, yang mendengarkan kepentingan semua pihak, adalah agenda penting bagi penegakan HAM. Inilah yang disebut pendekatan kepentingan. Tapi, yang harus dipahami, pendekatan ini bukan menghasilkan kompromi semu. Merujuk pada tiga pendekatan dalam pengelolaan konflik, menurutnya ada mitos bahwa pendekatan berbasis kekuatan menggunakan kekerasan, pendekatan berbasis hak identik dengan ranah pengadilan, dan pendekatan berbasis kepentingan pasti soal kongkalikong.
“Pendekatan kepentingan bukanlah kompromi yang hanya menghasilkan kondisi separuh menang dan separuh menang,” kata Diah Kusumaningrum. Kompromi seperti itu semu karena kepentingan para pihak tak terlayani seluruhnya, sehingga menyisakan ketidakpuasan yang masih bisa mencuat di masa depan.
Pendekatan kepentingan yang baik adalah ketika proses mediasi bisa mengaitkan kepentingan dan hak satu sama lain. Untuk sampai di tingkat itu, kita perlu mengupas konflik dengan lebih dalam. “Di balik tuntutan (para pihak yang berkonflik), terdapat kepentingan; di balik kepentingan, terdapat kebutuhan,” tambah Diah. Dengan mengupas lapisan inilah kita bisa memahami sikap dan konteks khusus di tiap-tiap konflik, termasuk upaya transformasinya.
Transformasi konflik mendorong kedua pihak yang kepentingannya tampak berseberangan untuk mencari solusi bersama yang berkelanjutan. “Bisakah kepentingan kita tidak eksklusif yang menguntungkan kelompok sendiri, tetapi justru menjamin hak kelompok lain?” tanyanya. Dengan transformasi konflik yang baik, mereka yang memiliki kepentingan berbeda akan mendapat fasilitasi yang baik. “Konflik bahkan menjadi produktif jika menjadi kesempatan pendorong keadilan sosial,” tambah Diah.
Sudut Pandang Advokat HAM
Langkah-langkah yang meluas dalam advokasi KBB ini perlu mendapat perhatian para advokat HAM. “Materi pelatihan advokasi masih terlalu awam dengan isu KBB. Meski terdapat pembagian advokasi litigasi dan non-litigasi, tetapi strategi dan keterampilannya seperti mediasi masih belum didalami,” kata Kharisma.
Berkaca dari pengalamannya sebagai advokat di LBH Yogyakarta, ia mengapresiasi buku ini. “Banyak lesson learned di dalamnya, yang menyadarkan kami bahwa perjuangan advokasi tidaklah mulai dari kondisi nol,” ungkapnya. Salah satu yang disorotinya adalah pengalaman mengadvokasi GPdI Immanuel di Sedayu, Bantul, di mana pendekatan hak menjadi strategi utama.
“Dengan promosi dan dukungan dari media, kami pada mulanya sangat bersemangat (dengan strategi ini), tetapi kemudian justru kondisi ini berbalik arah,” ungkapnya. Masyarakat jadi semakin menekan keberadaan GPdI yang tentu merugikan mereka, ditambah sikap Pemkab Bantul yang melayani kepentingan kelompok penolak.
Posisi advokat yang pasti memihak menjadi pertimbangan tersendiri bagaimana ia mengambil pelajaran dari analisis dalam buku. “Strategi tetap sama, yakni advokasi KBB, tetapi terdapat perluasan dalam menerapkannya,” ungkapnya. Ia pun menyebut kasus lain, yakni penolakan Gereja di Ngentak, Bantul, di mana mereka membangun komunikasi dengan pihak masjid penolak dan berakhir damai.
Uli Sihombing menekankan pentingnya menggali kepentingan para aktor dalam suatu konflik, termasuk dalam konflik keagamaan. “Kami harus bekerja keras dalam menemukan kepentingan tersembunyi, yang biasanya terdapat di dalam konteks politik dan ekonomi,” kata dia. Argumen teologis, dalam beberapa kasus, muncul dari para aktor untuk melegitimasi kepentingannya.
Para aktor tak melulu berada di dekat lokasi konflik, sehingga diperlukan kesabaran untuk dapat menjumpai mereka. “Dalam konflik sosial, aktornya bisa berlapis dan kami harus menggalinya, kalau perlu sampai ‘tujuh turunan,’” tambah Uli, untuk menggambarkan betapa kompleksnya keterlibatan para aktor dalam suatu konflik. Dengan pemetaan yang baik, tambah Uli, kita bisa melakukan pendekatan kepada para aktor secara informal terlebih dahulu agar mereka bersedia menempuh jalur mediasi.
Ia juga menjelaskan kewenangan Komnas HAM dalam urusan mediasi. “Untuk beberapa laporan penodaan agama, Komnas HAM mendorong penyelesaian melalui mediasi penal, yang tertulis pula di KUHP baru,” tambahnya.
Mediasi penal adalah proses mediasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang tidak dibahas di Bab 3 buku ini. Dengan menjadikan mediasi sebagai strategi, Komnas HAM menginginkan berkurangnya pemidanaan terhadap kasus-kasus KBB. Hal ini dipraktikkan di dalam pengaduan penodaan agama.
Meski demikian, ia mengakui perbedaan kadar kesulitan dalam penanganan berdasarkan kasus. Konflik rumah ibadah lebih mudah diselesaikan dibanding konflik sektarian, yang melibatkan kepercayaan. Alasannya, konflik rumah ibadah dan sejenisnya tergolong forum externum, yang berkaitan dengan urusan-urusan eksternal suatu agama. Di sisi lain, isu sektarian masuk ke dalam golongan forum internum, yang menyentuh aspek keyakinan seseorang di dalam hatinya.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Komnas HAM yang sudah menentukan kriteria pencapaian. “Tujuan dari penentuan kriteria tersebut bukanlah kesepakatan, melainkan jaminan atas hak-hak dasar yang bisa dihormati,” ungkapnya.
Di Mana Posisi Negara?
Salah satu peserta mempertanyakan apa peran negara dalam pendekatan berbasis kepentingan. Diah menegaskan bahwa negara harus menjadi fasilitator.
“Dengan menjadi fasilitator, pemerintah memberikan rasa aman pada parapihak berkonflik untuk leluasa mengupas lapisan demi lapisan pada suatu konflik,” ungkapnya. Tanpa rasa aman itu, seseorang mungkin merasa malu untuk menyampaikan pandangannya. Dengan perasaan aman, seseorang bisa membuka ruang untuk mendengar kepentingan satu sama lain, bukan sekadar desas-desus.
Pemerintah juga bisa membenahi aneka konteks konflik dan mencegahnya terulang di kemudian hari. Salah satu kata kuncinya adalah modal sosial. Ia mengambil contoh India. Dalam penelitian Ashutosh Varshney, melalui perbandingan, masyarakat Muslim dan Hindu di wilayah tertentu di India yang hidup dalam banyak perjumpaan satu sama lain lebih toleran, dibanding rekan mereka di wilayah lain yang hidup homogen sesuai agama masing-masing. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung modal sosial seperti itu.
Zainal mengambil sudut pandang berbeda, yakni soal hak. “Negara tetap menjadi pemenuh kewajiban, yang salah satunya adalah menjamin hak warga,” tegasnya. Apapun pendekatan yang dipilih dalam menangani suatu kasus KBB, atau berbasis hak atau berbasis kepentingan, negara harus berpegang pada pandangan bahwa hak harus terpenuhi.
Uli juga mengamini pernyataan ini. “Konstitusi kita menjunjung HAM. Dalam pendekatan kepentingan, negara perlu menggali apa kepentingan para pihak, tetapi tetap berdasarkan dan menjunjung HAM,” tambahnya. Ia mencontohkan, dalam kasus sengketa dan penolakan rumah ibadah, negara tetap harus menjamin hak beribadah setiap warga negara.
Buku bisa diunduh di sini dan video rekaman kegiatan bisa ditonton di sini.
Leave a Reply