Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Intoleransi Menebal di Jawa Barat: Negara Gagal Menjamin Perlindungan Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Republikasi dari GUSDURian

Pada 27 Juni 2025, Warga Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, melakukan aksi demonstrasi di rumah singgah yang diduga dijadikan rumah ibadah umat Kristiani dan tempat retreat pelajar Kristen di Sukabumi. Dalam tradisi Kristiani, khususnya dalam kegiatan pelajar Kristen ini, retreat adalah bagian dari rangkaian ibadah yang di dalamnya terdapat puji-pujian yang dinyanyikan bersama. Sangat disayangkan, masih ada warga yang merasa terganggu dengan kegiatan seperti itu, hanya karena berbeda agama. Dalam aksi tersebut, warga melakukan perusakan fasilitas di dalam rumah singgah, seperti memecahkan kaca, menghancurkan meja dan kursi di halaman rumah tersebut, hingga menurunkan kayu salib sebagai simbol keagamaan umat Kristiani.

Kami memandang peristiwa intoleransi telah mencederai semangat Pancasila, dan merusak makna hidup dan kehidupan bersama kita, hingga merusak makna kebhinekaan sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Pada dasarnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan dijamin keberadaannya melalui Undang-Undang Dasar 1945. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan termaktub dalam pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang tegas menyatakan bahwa Negara memberi jaminan kepada seseorang untuk bebas memeluk agama dan melakukan aktivitas peribadatan menurut agama dan keyakinannya, serta menjamin kebebasan dalam meyakini suatu kepercayaan berdasarkan hati nurani.

Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat kita masih memiliki sikap yang intoleran terhadap perbedaan agama/kepercayaan. Penolakan sebagian warga terhadap rumah singgah yang dituduh dijadikan sebagai tempat ibadah merupakan sikap intoleransi yang tidak berdasar, bertentangan dengan hukum, dan merusak citra bangsa sebagai negara Pancasila. Lebih disayangkan lagi, ekspresi intoleransi tersebut diejawantahkan melalui kekerasan dan perusakan terhadap rumah singgah tersebut, di mana hal ini sudah masuk sebagai perbuatan kriminal yang harus ditindak secara hukum.

Tindakan intimidasi dan persekusi yang dilakukan oleh warga Kampung Tangkil di Sukabumi, Jawa Barat, telah memperpanjang catatan kelam praktik kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Peristiwa intoleransi yang terus menerus terjadi dan dibiarkan akan semakin memperdalam ketakutan masyarakat dan mempersempit ruang-ruang penghormatan, saling menghargai terhadap perbedaan dalam ragam agama, kepercayaan dan keyakinan di Indonesia. Lebih lanjut, sikap intoleran yang masih menjamur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, telah melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif, dan tidak jarang berakhir pada tindakan ekstremisme. Peristiwa intoleransi mendorong munculnya sentimen sosial di tengah masyarakat.

Di sisi lain, pembiaran yang diperlihatkan oleh Pemerintah dan aktor keamanan negara, dalam hal ini pihak kepolisian, dalam peristiwa ini semakin menegaskan bahwa mereka tidak berdaya dan tunduk kepada kelompok-kelompok intoleran. Sikap Pemerintah semacam ini merupakan penyebab utama terjadinya pengulangan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat yang sering menempati posisi sebagai provinsi dengan tingkat toleransi yang rendah. Pemerintah memberikan sinyal ketidakberdayaan di hadapan kelompok-kelompok intoleran yang secara nyata bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan toleransi yang selama ini justru digaungkan oleh Pemerintah sendiri.

Kami menilai, aparat keamanan, terutama kepolisian, telah gagal mencegah terjadinya aksi vandalisme dan intoleransi atas nama agama tersebut. Kepolisian seharusnya dapat mencegah terjadinya aksi perusakan, karena berdasarkan informasi yang kami terima, kepolisian setempat sebelumnya sempat meminta klarifikasi kepada pengelola rumah singgah (villa) tentang kegiatan yang dilaksanakan di sana. Meski kepolisian per hari ini sudah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka atas perusakan, namun hal ini sudah menimbulkan trauma bagi para korban. Sementara itu, berdasarkan informasi yang kami terima, pejabat pemerintah setempat justru memperparah sikap intoleransi warga dengan mendukung penghentian kegiatan di rumah singgah tersebut.

Dalam konteks ini, sikap toleransi seharusnya diajarkan sejak dini dengan meruntuhkan segala prasangka yang tidak berdasar terhadap kelompok agama lain atau yang memiliki keyakinan/kepercayaan yang berbeda. Umumnya, dari sikap intoleransi ini hadir karena prasangka atau tuduhan bahwa kelompok yang berbeda sedang melakukan kegiatan yang merugikan kelompok agama lain, seperti tuduhan sedang melakukan kristenisasi atau lain sebagainya. Pada tahap ini, dialog antaragama atau keyakinan dapat menjadi jembatan terhadap prasangka tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, JISRA Indonesia mengutuk keras sikap intoleransi dan persekusi berdimensi agama yang dilakukan oleh Warga Kampung Tangkil, di Sukabumi, Jawa Barat. Kami meminta secara terbuka kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk hadir memberi perlindungan bagi setiap warga masyarakat secara sama dan setara dalam setiap aktivitas peribadatan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang diyakini setiap warga negara. Kami juga meminta kepada Kepolisian Daerah Jawa Barat untuk menginvestigasi dan menindak tegas pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dan tindakan persekusi terhadap umat Kristiani di Cidahu, Jawa Barat. Lebih jauh, negara perlu terlibat aktif dalam promosi toleransi, mengadakan pendidikan untuk mengelola dan memaknai perbedaan di kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, guru dan akademisi, dan orang muda, terutama di tingkat akar rumput.

Jakarta, 2 Juli 2025

JISRA Indonesia
(Imparsial, PeaceGeneration Indonesia, AMAN Indonesia, Yayasan Fahmina, Institut Mosintuwu, Jaringan GUSDURian, Nasyiatul Aisyiyah, Institut DIAN/Interfidei)