Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Menilik Tujuh Tujuan Ensiklik Laudato Si’: Seruan Menjaga Alam dan Merawat Kemanusiaan

Ringkasan:
● Ensiklik Laudato Si’ menetapkan tujuh tujuan global merawat Bumi dan martabat manusia.
● Krisis ekologis berakar dari tindakan manusia, sehingga solusi juga harus datang dari manusia.
● Perubahan radikal memerlukan kerja sama semua elemen, termasuk penolakan ormas agama terhadap tambang.

Oleh: Adin Fahima Zulfa | Republikasi dari GUSDURian

“Hampir tidak ada gunanya menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengakui bahwa akarnya adalah manusia.”

Kalimat di atas ditulis Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Ensiklik merupakan surat edaran yang ditulis Paus dan ditujukan kepada para uskup, umat Katolik, dan manusia di seluruh dunia. Ensiklik Laudato Si’ sendiri menyoroti kerusakan bumi yang semakin memprihatinkan.

Parahnya, kita terlalu sering menyebut bencana alam sebagai takdir Tuhan yang harus kita hadapi begitu saja tanpa introspeksi diri bahwa manusialah sumber masalahnya. Sikap berlebih-lebihan inilah yang seharusnya kita batasi. Paus Fransiskus menulis, “Jika akar masalahnya adalah manusia, maka kunci solusinya juga manusia.” Melalui ensiklik ini, Paus Fransiskus ingin mengajak seluruh umat manusia untuk bekerja sama merawat bumi sebagai rumah kita bersama.

Dalam laudatosiactionplatform.org dijelaskan bahwa ensiklik ini memuat tujuh tujuan besar yang isinya tidak hanya berbicara tentang alam, melainkan juga kemanusiaan. Ketujuh tujuan tersebut meliputi: tanggapan terhadap tangisan bumi, tanggapan terhadap tangisan orang miskin, ekonomi ekologis, penerapan gaya hidup berkelanjutan, pendidikan ekologi, spiritualitas ekologi, serta ketahanan dan pemberdayaan masyarakat.

Pertama, dalam tanggapan terhadap tangisan bumi, Paus menilai ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan, yaitu mengadopsi energi terbarukan dan langkah-langkah kecukupan energi, mencapai netralitas karbon, melindungi keanekaragaman hayati, mempromosikan pertanian berkelanjutan, dan menjamin akses air bersih bagi semua.

Kedua, terkait tanggapan terhadap tangisan orang miskin, Paus ingin menggugah kesadaran manusia bahwa tujuan mereka di dunia ini salah satunya adalah melindungi sesama manusia dan segala bentuk kehidupan di dunia. Kaum miskin dan rentan menjadi salah satu prioritas yang perlu diperhatikan, mengingat dampak perubahan lingkungan paling parah menimpa mereka.

Ketiga, isu sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan adalah hal yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam konteks ekonomi ekologis, Laudato Si’ menekankan tindakan nyata seperti transisi energi terbarukan dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab.

Keempat, Paus Fransiskus juga menyoroti penerapan gaya hidup berkelanjutan yang menekankan gagasan tentang gaya hidup yang berkecukupan dan tidak berlebih-lebihan. Gaya hidup ini mendorong umat agar lebih bijak dalam penggunaan sumber daya dan energi.

Kelima, poin pendidikan ekologi mencakup pemerataan pendidikan serta peningkatan kesadaran dan tindakan ekologis melalui jalur pendidikan. Keenam, spiritualitas ekologi diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ciptaan dan hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan bumi. Ketujuh, terkait ketahanan dan pemberdayaan masyarakat, upaya ini bertujuan mendukung komunitas agar aktif mengambil bagian dalam berbagai langkah menjaga alam dan sesama.

Tujuan-tujuan ini mencakup bukan hanya aspek alam, tetapi juga kemanusiaan, karena bagi Paus Fransiskus kedua hal tersebut setara, saling berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penulis juga ingin menyoroti bagaimana Paus Fransiskus tidak hanya menyinggung perilaku umat manusia sebagai individu, tetapi juga mengharapkan perubahan dari berbagai elemen masyarakat. Pelaku industri, pemerintah, para pemimpin negara, dan tentu para pemimpin agama harus bekerja sama dan membuat kebijakan radikal sesegera mungkin jika bumi ini ingin selamat.

Kini masyarakat sudah mulai melek krisis iklim. Di banyak daerah bermunculan inisiatif pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan, upaya menjaga kebersihan, dan pengurangan sampah plastik. Namun jika pelaku industri dan pemangku kebijakan justru saling berjabat tangan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya, mustahil bumi ini bisa bertahan lebih lama.

Menilik Laudato Si’ lebih dalam membuat penulis teringat kejadian beberapa waktu lalu saat pemerintah kita sibuk membagi-bagikan izin tambang kepada ormas keagamaan di Indonesia. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) atau para uskup Gereja Katolik se-Indonesia secara tegas menolak tawaran izin pengelolaan tambang. Spirit Laudato Si’ seolah telah terinternalisasi dan bukan hanya menjadi omong kosong di Indonesia.

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo, mengatakan, “Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya.” Pernyataan ini disusul Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang menolak mengelola tambang setelah mendapat masukan dari masyarakat adat agar tidak terlibat dalam industri ekstraktif pertambangan. PGI memilih untuk tetap teguh menjaga sikap kritis mereka dalam isu keadilan lingkungan.

Apakah penolakan itu berdasarkan motif agama? Bisa iya, bisa juga tidak. Namun yang jelas, peran pemimpin agama dalam menjaga alam dan kemanusiaan menjadi sangat krusial. Selain karena bumi ini sudah berada di ambang batas kerusakan, bukankah memang semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup tidak berlebih-lebihan dan menjaga keselarasan dengan alam?

Editor: Andrianor