Ringkasan:
● Krisis lingkungan Indonesia mendesak karena rendahnya kesadaran moral masyarakat dalam merawat alam.
● Tokoh lintas agama memiliki kekuatan moral untuk menggerakkan kesadaran ekologis masyarakat.
● Kampanye lingkungan oleh pemuka agama mengubah isu ekologis menjadi gerakan moral dan spiritual lintas iman.
Oleh: Abdul Warits (Penggerak Komunitas GUSDURian Sumenep, Madura) | Republikasi dari GUSDURian
Krisis lingkungan di negara Indonesia akhir-akhir ini bukan lagi persoalan sepele yang harus dipandang “sebelah mata”. Pasalnya, mayoritas masyarakat masih belum menyadari arti penting dalam merawat alam dan lingkungan. Padahal, alam dan lingkungan merupakan keluarga terdekat kita di dunia ini. Kehadirannya bukan untuk dijauhi tetapi untuk didekati dan dirawat dengan sebaik-baiknya.
Kesadaran dalam merawat, menjaga, dan melestarikan alam dari berbagai hal merupakan tanggung jawab bersama, terutama dalam kesadaran moral menjaga alam sebagai bagian dari gerakan kemanusiaan untuk masa depan yang lebih baik. Jika ditilik, ada banyak sekali persoalan yang sedang mengintai seperti perubahan iklim, polusi, sampah, hingga kerusakan alam terjadi hampir di setiap penjuru dunia, termasuk di beberapa daerah di Indonesia.
Catatan hasil Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023 menyebutkan persoalan sampah di Indonesia semakin hari semakin mendesak. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan urbanisasi yang terus meningkat, produksi sampah nasional mencapai 34,63 juta ton pada 2024. Namun, hanya 44,85% atau sekitar 15 juta ton yang dikelola dengan baik; sisanya masih dibuang ke TPA terbuka atau mencemari sungai, laut, dan udara.
Sampah barangkali hanya masalah sepele dari pada persoalan-persoalan lingkungan yang lain seperti industri ekstraktif, konflik agraria, transisi energi, dan lain-lain. Akan tetapi, tanpa adanya kesadaran moral dan gerakan dari berbagai komunitas, unsur pemerintahan, kelompok pemuda dan lainnya, maka masalah sampah hanya akan terus menjadi masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Karenanya, salah satu unsur penting di dalam menggerakan kesadaran moral masyarakat adalah tokoh lintas agama. Sebab diyakini, agama memiliki kekuatan moral yang mampu menggerakkan jutaan hati manusia.
Peran tokoh lintas diharapkan kehadirannya di dalam memberikan kesadaran moral masyarakat di dalam menjaga dan merawat lingkungan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Gus Dur yang memandang keadilan ekologis sebagai bagian tak terpisahkan dari keadilan sosial dan spiritual. Sebagaimana adagium yang sering kita dengar dari Gus Dur, “Memuliakan alam dan seluruh makhluk ciptaan-Nya berarti memuliakan Penciptanya. Merusak dan menistakan alam berarti merusak dan menistakan Penciptanya.”
Masalah sampah hanya persoalan kecil, tetapi kesadaran moralnya adalah persoalan besar yang harus dipahami bersama di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, jika seruan moral menjaga lingkungan ini diabaikan, maka akan berdampak terhadap bencana lain seperti banjir yang sudah menjadi langganan, pencemaran lingkungan yang sering ditemui, belum lagi persoalan tata ruang pembangunan pemerintah di negara Indonesia yang harus mengeksploitasi tanah dan lingkungan sekitar. Maka penting tokoh lintas agama ini tidak hanya menyampaikan persoalan agama, tetapi juga diselipkan prinsip ḥifẓ al-bi’ah (perlindungan lingkungan), yang menegaskan kewajiban moral dan spiritual menjaga bumi demi generasi mendatang.
Kampanye lingkungan yang dilakukan oleh tokoh agama memiliki daya jangkau yang luar biasa. Ketika seorang ustaz, pendeta, biksu, atau rohaniawan berbicara tentang pentingnya menjaga bumi, pesan tersebut tidak hanya terdengar sebagai seruan ekologis, tetapi juga sebagai panggilan iman.
Agama pada hakikatnya mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam Islam, misalnya, manusia disebut sebagai khalifah fil ardh—pemimpin di muka bumi—yang bertanggung jawab menjaga keberlangsungan alam. Demikian pula dalam ajaran agama lain, seperti Kristen yang menekankan tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan, Hindu yang mengajarkan harmoni antara manusia dan alam, atau Buddha yang menanamkan kasih sayang terhadap seluruh makhluk hidup. Semua ajaran itu menunjukkan bahwa kepedulian terhadap lingkungan adalah bagian dari spiritualitas.
Meski begitu, kini masalahnya terletak pada tokoh lintas agama itu sendiri. Sebagian mereka terkadang masih menganggap masalah lingkungan sebagai bagian dari urusan aktivis, organisasi sosial, pemerintah, komunitas atau penggerak lingkungan dan lainnya. Mental tokoh lintas agama yang seperti ini akan semakin memperparah keadaan lingkungan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, peran tokoh agama dalam kampanye lingkungan, khutbah, ceramah dan kegiatan keagamaan lainnya menjadi salah satu jalan alternatif di dalam memperkuat moralitas iman masyarakat dan gerakan lingkungan. Karena, jika dikaitkan dengan ajaran moral dan spiritual, pesan pelestarian lingkungan menjadi lebih bermakna. Misalnya, ajakan untuk menanam pohon bisa dikaitkan dengan konsep sedekah jariyah, karena pohon yang tumbuh dan memberi manfaat adalah amal yang terus mengalir pahalanya.
Salah satu contoh konkret yang bisa dilihat oleh masyarakat ketika seorang ulama, pendeta, biksu, dan rohaniawan berdiri bersama menanam pohon. Tindakan ini tentu saja menjadi simbol persaudaraan spiritual lintas iman sekaligus inspirasi moral bagi masyarakat luas. Karenanya, ketika tokoh dari berbagai agama bekerja bersama untuk melindungi lingkungan, mereka sekaligus menumbuhkan rasa saling percaya dan solidaritas lintas iman. Bumi yang sama, udara yang sama, dan air yang sama menjadi simbol kesatuan umat manusia di tengah perbedaan. Maka, kampanye lingkungan lintas agama bukan hanya upaya ekologis, tetapi juga misi kemanusiaan dan perdamaian.
Maka dari itu, kampanye lingkungan oleh tokoh lintas agama bukan hanya perlu, tetapi mendesak. Di tengah krisis ekologi yang semakin parah, suara mereka dapat menjadi cahaya moral yang membimbing umat manusia menuju kehidupan yang lebih berkelanjutan, adil, dan damai. Bumi ini adalah rumah bersama—dan hanya dengan hati yang bersatu, rumah itu dapat tetap lestari. Alam bukan hanya ruang hidup, tetapi juga amanah Ilahi.
Melibatkan tokoh agama dalam kampanye lingkungan berarti memperluas gerakan ekologis dari sekadar aksi fisik menjadi gerakan moral dan spiritual. Dengan demikian, upaya menjaga bumi bukan hanya urusan para ilmuwan atau aktivis hijau, tetapi juga bagian dari ibadah dan tanggung jawab keimanan. Ketika tokoh agama turun tangan, pesan “mencintai alam berarti mencintai Tuhan” akan menjadi nyata dalam perilaku umat di kehidupan sehari-hari.
Editor: Andrianor











Leave a Reply